Dilema Makan Siang Gratis: Ketika Prioritas Pendidikan Terabaikan
Program makan siang gratis yang menjadi janji kampanye Prabowo Subianto kini mulai direalisasikan. Namun implementasinya justru memunculkan tanda tanya besar di masyarakat.
Ketidaksiapan pelaksanaan program ini menimbulkan berbagai masalah. Dari aspek teknis hingga dampak sosial ekonomi, banyak hal yang tampaknya belum dipertimbangkan secara matang.
Perdebatan muncul terkait skala prioritas: makan siang gratis atau pendidikan berkualitas? Pertanyaan ini semakin relevan ketika ada indikasi pemangkasan anggaran pendidikan untuk mendanai program tersebut.
Politisi PDIP Adian Napitupulu mengkritisi tajam kebijakan ini. Ia mempertanyakan nasib infrastruktur pendidikan yang rusak jika anggaran dialihkan untuk program makan siang gratis.
Kekhawatiran lain muncul terkait potensi PHK di BUMN akibat pengalihan anggaran. Hal ini bisa menciptakan paradoks: anak mendapat makan siang gratis, tapi orang tua kehilangan pekerjaan.
Di tengah pro dan kontra, muncul pertanyaan tentang efektivitas program ini. Apakah makan siang gratis benar-benar solusi untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat?
Fenomena menarik terjadi di Papua. Pelajar di sana justru menolak program makan siang gratis. Mereka lebih memilih peningkatan kualitas pendidikan daripada bantuan yang sifatnya konsumtif.
Sikap pelajar Papua ini merefleksikan pemikiran kritis. Meski Papua kaya sumber daya alam namun masih tertinggal, mereka memahami bahwa pendidikan adalah kunci kemajuan.
Seperti dikatakan Anies Baswedan, aset terbesar bangsa adalah SDM terdidik. Pernyataan ini memperkuat argumen bahwa investasi di bidang pendidikan lebih strategis dibanding bantuan konsumtif.
Analogi memberi ikan versus kail sangat tepat dalam konteks ini. Makan siang gratis memang membantu jangka pendek, tapi pendidikan berkualitas memberi bekal kemandirian seumur hidup.