Mohon tunggu...
Vinofiyo
Vinofiyo Mohon Tunggu... Lainnya - Buruh negara

Pria

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Agama Sumber Konflik di Indonesia?

15 Februari 2020   11:33 Diperbarui: 15 Februari 2020   11:40 136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Keamanan. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Pixelcreatures

Istilah konflik berasal dari bahasa Latin configere yang berarti saling memukul. Secara sosiologis konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya. Konflik yang terkontrol akan menghasilkan integrasi, sebaliknya integrasi yang tidak sempurna akan menghasilkan konflik.

Konflik biasa terjadi dalam kehidupan manusia baik selaku pribadi, kelompok dan bahkan negara. Konflik akan meluas jika tidak ada titik temunya. Akibat paling besar adalah terjadinya perang yang kadang terjadi dalam skala besar dengan kehancuran yang juga sangat besar. Konflik tidak terjadi sendirinya dan tentu ada penyebabnya. Salah satu penyebab konflik yang saat ini mengemuka termasuk di Indonesia disebut-sebut adalah karena agama.

Sejarah mencatat pernah terjadi Perang Salib antara kekuatan dari Timur (Islam) melawan melawan kekuatan Barat (Kristen). Meskipun sejatinya sebuah perang yang memperebutkan wilayah, namun semangat perang tersebut menjadi pertarungan antara dua agama besar di dunia. 

Pada 1095 Paus Urbanus II pergi ke pertemuan Gereja di Perancis dan mendorong orang Eropa agar berperang suci melawan orang Turki Seljuk. Orang Turki adalah Muslim dan menguasai Palestina, tanah suci  bagi Muslim, Yahudi dan Kristen. Tampaknya Turki juga dipandang mengancam orang-orang Kristen di sisa-sisa bagian Timur Imperium Romawi yang berada diantara Eropa dan Palestina. Demikian disajikan oleh James C. Davis dalam The Human Story. Sulit untuk meyakni bahwa ini adalah pertentangan antara agama dan justru kesan yang mengemuka adalah perebutan wilayah terutama dikaitkan dengan romantisme kejayaan Imperium Romawi dahulunya. 

Dari sejarah konflik yang membawa agama, sulit untuk memastikan bahwa memang perbedaan agama adalah motifnya. Ketika Raja Inka Atahuallpa bertemu dengan Fransisco Pizzaro di kota Camajarca (dataran tinggi Peru) pada 16 November 1532, Pizzaro menuntut Attahuallpa untuk mengikuti agamanya dan tunduk pada kuasa Kerajaan Spanyol dan penolakan Attahuallpa menyebabkan ia kemudian ditawan oleh si penakluk Spanyol itu. Pada akhirnya maksud sebenarnya dari Pizzaro  terlaksana yaitu merampas emas dan menguasai wilayah bangsa Inka, sebagaimana disarikan dari buku Guns, Germs & Steel yang ditulis oleh Jared Diamond.

Perang Salib dianggap sebagai perang terakhir yang membawa sentimen keagamaan antara dua agama yang pemeluknya terbanyak di dunia. Perang besar berikutnya yaitu Perang Dunia I merupakan perebutan kekuasaan negara dan dinasti di Eropa dan Perang Dunia II yang merupakan perang paling mematikan dan memakan korban  puluhan juta jiwa adalah perang antara fasisme disatu sisi melawan paham demokrasi disisi lain yang sementara bersekutu dengan ideologi komunisme. 

Setelah selesai Perang Dunia II diperkirakan akan terjadi Perang Dunia III yang kali ini akan melibatkan paham demokrasi (blok Barat) melawan komunisme (blok Timur) disisi lain. Ancaman kehancurannya lebih besar karena akan melibatkan senjata pemusnah massal dan syukurlah patron komunisme (Uni Soviet) sudah tumbang meski tidak tertutup akan terjadi lagi konflik besar dimasa yang akan datang. Entah antara pihak apa yang akan berhadapan tetapi jelas bukan karena masalah keagamaan.

Dahulu saat Republik Indonesia belum ada, agama-agama masuk ke Indonesia secara bergantian. Ketika sebuah agama baru masuk dibawa ke Nusantara, terjadilah interaksi secara damai antara pemeluk agama yang sudah ada dengan pembawa agama baru. Ada yang bertahan dengan kepercayaan lama dan ada yang kemudian beralih memeluk agama baru. Hampir tidak ada goncangan yang berarti, proses terjadi secara alami di tengah masyarakat.  Kalaupun sejarah di Indonesia mencatat terjadi perang antara kerajaan-kerajaan yang berbeda secara keagamaan, hal itu tidak lebih dari perebutan wilayah maupun persaingan dagang.

Kenyataan yang indah itu masih terjadi sampai sekarang. Datanglah ke Sipirok, sebuah kota kecil yang dingin di lembah gunung Sibual-buali. Sipirok yang sekarang merupakan ibu kota Kabupaten Tapanuli Selatan sejak dahulu hingga sekarang tetap dalam harmoni kebersamaan dimana masjid dan gereja berdampingan. Bukan sekedar simbol tetapi memang masyarakatnya menyatu dan saling tolong menolong tanpa memandang agama sebagai  faktor pembeda.

Bagi yang pernah berkunjung atau sekedar lewat di Sipirok, mungkin beranggapan bahwa suasana sejuk kota ikut mendatangkan kesejukan bagi warganya. Karena itu teruskanlah perjalanan ke Kota Langsa, sebuah kota yang dahulu merupakan ibu kota Kabupaten Aceh Timur dan sekarang sudah berdiri sendiri. Hawa panas adalah ciri yang menunjukkan bahwa kota ini berada di dataran rendah. Suasana panas juga melingkupi kota ini sewaktu zaman Darul Islam maupu konflik dengan Gerakan Aceh Merdeka.

Namun tidak ada suasana panas kalau menyangkut soal keagamaan. Gereja dan mesjid berdampingan, begitu juga penduduknya yang berbeda agama menjalankan ibadah dengan tenang tanpa gangguan meski di Provinsi Aceh berlaku penerapan syariat Islam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun