Mohon tunggu...
Dian S. Hendroyono
Dian S. Hendroyono Mohon Tunggu... Life is a turning wheel

Freelance Editor dan Penerjemah Kepustakaan Populer Gramedia | Eks Redaktur Tabloid BOLA | Eks Redaktur Pelaksana Tabloid Gaya Hidup Sehat | Eks Redaktur Pelaksana Majalah BOLAVAGANZA | Bekerja di Tabloid BOLA Juli 1995 hingga Tabloid BOLA berhenti terbit November 2018

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Arti Piala Dunia untuk Tim Nasional Qatar

25 November 2022   12:00 Diperbarui: 27 November 2022   02:00 1690
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tim nasional Qatar pada penampilan perdana mereka di Piala Dunia, 20 November 2022. (Sumber: Ayman Aref/NurPhoto via Getty Images)

Tim nasional Qatar boleh saja sudah tampil sebanyak 10 kali di Piala Asia, dengan menjadi juara pada 2019. Sama sekali tidak buruk untuk sebuah tim nasional yang pertama kali melakukan pertandingan resmi pada 27 Maret 1970.

Tapi, Piala Dunia lain levelnya. Biasanya, tuan rumah dipilih dari negara-negara yang tim nasionalnya sudah pernah menjadi juara, atau paling tidak sudah pernah lolos. Qatar lain perkara. Tidak heran kalau lantas Piala Dunia 2022 ini disebut kontroversial ketika Qatar terpilih menjadi tuan rumah.

Bahkan, Business Review, tanpa tedeng aling-aling, menyebutkan bahwa Qatar menyediakan 880 juta dolar AS sebagai uang suap, yang mestinya bersifat rahasia. Itu menurut penelitian mereka. 

Sebanyak 400 juta diserahkan saat proses pemilihan, sementara sisanya diberikan setelah Qatar dipastikan menjadi tuan rumah. Jelas saja, uang suap itu di luar dari biaya sebanyak 220 miliar dolar yang dipakai untuk membangun berbagai infrastruktur.

Sejak itu, Qatar menerima banyak "hujatan" dari berbagai sisi, yang paling mutakhir datang dari orang yang memberi mereka kesempatan untuk menjadi tuan rumah, yaitu eks presiden FIFA, Sepp Blatter.

Pada 8 November lalu, Blatter mengatakan bahwa menunjuk Qatar sebagai tuan rumah Piala Dunia adalah sebuah "kesalahan" dan "pilihan yang buruk". Blatter juga terus menegaskan bahwa keputusan itu adalah akibat dari tekanan politik terselubung.

Blatter mengatakan Piala Dunia 2022 diberikan kepada negara di Jazirah Arab itu karena "ulah" eks presiden UEFA, Michel Platini, yang berada di bawah tekanan presiden Prancis ketika itu, Nicolas Sarkozy.

"Untuk saya, sudah jelas bahwa Qatar adalah sebuah kesalahan, pilihan yang buruk. Ketika itu, di Komite Eksekutif, sudah disepakati bahwa Rusia menjadi tuan rumah Piala Dunia 2018 dan Amerika Serikat untuk Piala Dunia 2022. Itu adalah pernyataan damai untuk dua lawan politik menjadi tuan rumah Piala Dunia secara beruntun," kata Blatter, kepada surat kabar Swiss, Tages-Anzeiger.

Blatter tidak menyebut Qatar pilihan yang buruk karena kontroversi hak asasi manusia, melainkan karena: "Negara itu sangat kecil. Sepak bola dan Piala Dunia terlalu besar untuk Qatar."

Yeah well, Piala Dunia 2022 sudah bergulir dan tim nasional Qatar sudah menjalani partai pembuka dengan berantakan. Mereka kalah dari Ekuador 0-2, 20 November lalu. Qatar membuat rekor baru: Tuan rumah kalah pada partai pembuka. Memalukan? Yah, demikianlah adanya.

Ketika terpilih sebagai tuan rumah Piala Dunia, pada Desember 2010, Qatar tidak punya sejarah sepak bola. Bahkan, mereka membangun tim nasional sembari membangun negara. Dari nol.

Qatar menyadari bahwa mereka tidak hanya harus membangun hotel, stadion, jalan raya, sistem kereta metro, namun juga membuat sebuah tim nasional yang kompeten, yang tak akan tampil memalukan pada ajang sebesar dan sepenting Piala Dunia.

Bandingkan sajalah dengan Indonesia. Negeri kita ini memiliki penduduk lebih dari 270 juta jiwa. Namun, untuk mencari pemain yang mumpuni yang bisa membuat tim nasional Indonesia menjadi sebuah tim yang kompeten, sulitnya bukan main. Indonesia bahkan harus mencari pemain-pemain keturunan Indonesia yang banyak bermain di liga-liga Eropa untuk dinaturalisasi.

Qatar jelas lebih parah. Penduduknya tidak lebih dari 3 juta orang. Penduduk asli, berdarah Qatar, hanya 300 ribu orang. Sisanya pendatang. Dari jumlah itu, berapa orang yang berminat menjadi pemain sepak bola? Atau begini, berapa orang yang kompeten untuk dipilih memperkuat timnas Qatar?

Qatar pun menempuh jalan pintas: Naturalisasi pemain.

Menurut situs Pulse, bahkan sebelum mengajukan diri sebagai calon tuan rumah, Qatar telah melakukan proses naturalisasi pemain secara agresif, menawarkan kewarganegaraan untuk pemain-pemain berbakat yang bisa membantu Qatar membuat cetak biru tim nasional.

Dengan mengeluarkan banyak sekali uang, pada 2004, hanya dalam waktu satu pekan, Qatar mencoba untuk menaturalisasi tiga pesepak bola Brasil: Ailton, Dede, dan Leandro. Usaha itu membuat geram FIFA. 

Demikian geramnya, sampai FIFA mengubah regulasi tentang naturalisasi dengan menambahkan di statuta bahwa pemain yang bisa menjadi warga sebuah negara adalah mereka yang sudah tinggal di negara selama 10 tahun.

Setelah rencana naturalisasi bubar, keluarga kerajaan pun putar otak lagi, menempuh jalan yang lebih rumit, dan berdirilah sebuah proyek yang diberi Aspire Academy. Akademi itu melatih atlet-atlet Qatar dengan teknologi dan berbagai sumber daya terbaik yang bisa dibeli dengan uang mereka.

Sejenak kemudian, sebagai cabang dari program sepak bola akademi itu, maka diluncurkanlah Aspire Football Dreams. Program itu dibuat untuk menemukan bakat-bakat sepak bola tersembunyi yang ada di semua kota dan pedesaan di seluruh dunia.

Program itu dimulai pada 2005 dengan beberapa kamp pelatihan di Afrika. Sejak itu, program tersebut melebar ke Amerika Latin dan Asia Tenggara. Aspire Football Dreams sebenarnya juga memakai jalan naturalisasi, namun dengan embel-embel "beasiswa" untuk beberapa pemain untuk belajar di Qatar, sehingga bisa menghindari aturan 10 tahun residensi dari FIFA.

Usaha itu terbayar dengan Qatar menjadi juara Piala Asia untuk pertama kalinya pada 2019. Qatar dilaporkan juga menyewa 600 ribu suporter untuk menyemangati tim nasional. Jumlah itu dua kali lipat dari jumlah penduduk asli Qatar.

Lalu, untuk Piala Arab 2021, yang digelar di Qatar dan dijadikan turnamen uji coba satu tahun sebelum Piala Dunia, tim nasional Qatar memasukkan 17 pemain naturalisasi dalam skuat yang berisi 23 pemain. Beberapa dari mereka juga sudah memperkuat Qatar ketika menjadi juara Piala Asia 2019 di Uni Emirat Arab.

Mereka terdiri dari pemain Sudan (7 orang), Mesir (1), Irak (2), Bahrain (1), Yaman (2), Ghana (1), Aljazir (2), dan Cape Verde (1). Jadi, ada delapan bangsa yang mengisi tim nasional Qatar untuk Piala Arab 2021. Saat itu, Qatar menduduki tempat ketiga, setelah mengalahkan Mesir pada perebutan tempat ketiga melalui adu penalti.

Bassam Al-Rawi, bek Qatar berdarah Irak. (Visionhaus/Getty Images)
Bassam Al-Rawi, bek Qatar berdarah Irak. (Visionhaus/Getty Images)

 Tentu saja, Mesir yang tampil di Piala Arab itu bukanlah Mesir yang diperkuat oleh pemain macam Mohammed Salah. Isinya adalah pemain-pemain yang berlaga di Liga Mesir.

Sudah pasti, untuk skuat Piala Dunia 2022, pelatih Qatar asal Spanyol, Felix Sanchez, juga memasukkan sebagian dari pemain-pemain naturalisasi itu. Tercatat 15 pemain berdarah asing dimasukkan Sanchez untuk melengkapi 26 pemain untuk Piala Dunia 2022. Mereka adalah:

  • Kiper

Meshaal Barsham (Sudan)

  • Bek

Musab Kheder (Sudan), Bassam Al-Rawi (Irak), Ismaeel Mohammad (Sudan), Abdelkarim Hassan (Sudan), Assim Madibo (Sudan), Pedro Miguel (Cape Verde)

  • Gelandang

Karim Boudiaf (Aljazair), Boualem Khoukhi (Aljazair), Ali Assadalla (Bahrain), Abdelaziz Hatem (Sudan)

  • Penyerang

Akram Affif (Yaman), Ahmed Alaaeldin (Mesir), Almoez Ali (Sudan), Mohammed Muntari (Ghana)

Setelah Piala Dunia kelar, Qatar sudah punya rencana untuk meneruskan Aspire Academy. Bahkan, mereka telah menunjuk eks pemain nasional Australia, Tim Cahill, sebagai Chief Sports Officer.

Awalnya, Cahill ditunjuk menjadi Global Qatar Legacy Ambassador pada Februari 2020, dengan tugas untuk bekerja dalam program Generation Amazing, sebuah program pelatihan sepak bola untuk komunitas-komunitas miskin. Juga untuk mempromosikan Piala Dunia 2022 di Qatar.

Kini, Cahill tinggal secara permanen di Qatar untuk menjalankan tugasnya di Aspire Academy.

Empat pemain sebelum Cahill yang dipilih Qatar untuk menjadi duta Legacy Global Qatar adalah Xavi Hernandez, Samuel Eto'o, Cafu, dan yang paling baru adalah Ronald de Boer.

"Piala Dunia adalah jembatan penting untuk perubahan sosial di Qatar. Untuk saya, itu adalah aspek paling penting dari program Legacy -- memperbaiki negeri menjadi tempat yang lebih baik untuk generasi selanjutnya," kata De Boer, eks pemain nasional Belanda, seperti dikutip dari situs Qatar 2022.

Piala Dunia 2022 bisa jadi akan dipakai Qatar untuk batu pijakan menuju penampilan di turnamen sejenis berikutnya. Qatar memang masih "gamang" sebagai salah satu peserta Piala Dunia 2022. Namun, Qatar punya semua jenis kekuatan, termasuk uang, untuk membuat sebuah tim yang kompeten di Piala Dunia suatu hari nanti.


Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun