Kami adalah penganut self-medicated, kecuali untuk mama. Sebisa mungkin, tidak perlu ke dokter, kalau memang bisa ditangani sendiri. Saya yakin, andai dokter langganan saya membaca ini, saya akan dimarahi.
Adik saya sudah membeli obat flu yang ampuh, kami tahu itu dari dokter yang merawat mama. Saya tidak akan menyebut nama obat itu. Kapsul itu besar ukurannya, dengan panjang sekitar 2 cm. Kapsul transparan berisi ratusan bola-bola kecil di dalamnya. Kapsul itu bersifat slow release, diminum tiap 12 jam.
Saya menambahnya dengan obat batuk yang sayangnya tidak ada lagi dalam bentuk sirup untuk dosis orang dewasa, hanya dalam bentuk tablet. Diminum tiga kali per hari.
Saya mulai minum obat-obat itu pukul 12 siang Jumat, kelar makan siang. Oh iya, saya juga berbekal Troches (kalau yang ini sebut merek tak apa ya). Saya mengulum Troches sesuai dosis, enam tablet per hari.
Sabtu, 30 Juli
Rasanya, hari ini adalah kondisi terberat. Soalnya ditambah dengan sakit kepala. Saya juga mulai ragu apakah ini hanya benar-benar flu berat dan bukan Covid-19.
Tapi, kalau dilihat dari gejala yang saya alami, saya menguatkan diri bahwa itu bukan Covid-19. Apalagi saya masih bisa merasakan makanan yang saya santap.
Saya ingat nasihat almarhum bapak. Beliau mengatakan saat sakit, makan jangan berkurang. Kalau bisa porsinya bertambah, walau rasa badan tak karuan. Dengan makan, kita akan punya tenaga , terutama untuk sembuh. Selain itu, makan juga memberi dasar di lambung untuk menerima obat. Sebab, semua obat itu hanya boleh dikonsumsi setelah makan.
Karena saya tidak mengalami masalah dengan indra perasa, saya tetap bisa makan dengan lahap. Tastebuds saya masih berfungsi dengan okay.
Minggu, 31 Juli
Pagi-pagi, saya bangun untuk subuh. Pada saat itu, saya merasa sangat nyaman. Tidak ada lagi ingus yang mengalir atau menyumbat hidung saya. Batuk masih ada, tak separah sehari sebelumnya.