Seperti yang saya duga, bus itu lantas berhenti di depan Plaza Indonesia dan mengoper penumpangnya yang hanya 10 ekor ke bus 213 lain. Rupanya dua bus 213 yang diajak berbalap tadi sudah raib entah ke mana.
Sudah ada bus 213 lain yang ngetem di depan Plaza Indonesia. Penuh penumpang. Kami yang diturunkan hanya misuh-misuh. Sudah diajak sport jantung, eh ending-nya hanya untuk dipindahkan ke bus lain. Supir dan kernet cuek bebek. Mereka lantas melingkari Air Mancur HI, kembali ke arah Grogol. Halah!
Biasanya, dari Plaza Indonesia, bus 213 akan masuk ke Jalan Imam Bonjol, kemudian saya akan turun di depan Rumah Sakit Sint Carolus di Salemba, lalu melanjutkan perjalanan dengan bajaj menuju rumah. Tapi, malam itu, sudah badan panas dingin, kaki gemetar, saya tidak mau lagi naik bus. Saya menyetop taksi. Bokek tak apa, bisa bayar ongkosnya di rumah.
Saya tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi ketika bus balapan tadi mengakibatkan kecelakaan lalu lintas. Wuh, pasti bakal ramai.
Kini, bus 213 tinggal kenangan. Bus itu dan semua trayek lainnya sudah dilebur ke dalam TransJakarta dan semua bus yang berhubungan. Tidak ada lagi balapan bus-bus buluk di jalan protokol. Semuanya aman.
Sekarang, saya kangen naik bus kota zaman dulu. Bus yang pernah menjadi andalan untuk nyaris semua penduduk Jakarta. Tinggal kenangan semuanya.