bus kota zadul (zaman dulu). Bus kota di Jakarta, pra-TransJakarta, sungguh eksotis. Jauh dari kata mewah, tapi ngangeni.
Semenjak saya tak lagi bekerja, di rumah saja, ada satu aktivitas yang tidak lagi saya lakukan, yaitu naik bus. Bukan bus masa kini ya alias TransJakarta, melainkanSaya mulai naik bus ketika kuliah. Bus kota adalah moda transportasi yang saya gunakan ketika berkuliah di Depok, selain kereta rel listrik atau KRL. Belum ada kereta commuter pada akhir 1980-an dan awal 1990-an.
Untuk ke Depok, ketika itu, jika ingin naik bus, maka saya akan mengawalinya di depan Stasiun Gambir. Naik bus PPD bernomor 806. Bus itu berhenti di Pasar Minggu dan saya akan menyambungnya dengan angkot yang namanya Miniarta menuju Depok.
Ketika bus ke Depok mulai banyak, ada bus PPD Patas AC bernomor 43. Bus itu bertrayek Pasar Baru-Depok. Tapi, adanya bus itu ketika saya sudah mulai jarang ke Depok, karena sudah memasuki tahun-tahun akhir kuliah. Tapi, tak apa. Saya naik dari Pasar Baru, turun di Pondok Cina, letaknya setelah Stasiun UI. Dari Pondok Cina, saya tinggal berjalan kaki menuju fakultas saya, FMIPA.
Semakin kemari, semakin banyak bus yang menuju Depok. Trayeknya pun sangat beragam. Pendeknya Depok digempur oleh berbagai jenis bus dari berbagai PO, dari berbagai jurusan. Tapi, saya tidak lagi menjadi pelanggan, karena saya sudah lulus.
Ketika bekerja, trayek bus saya sudah berubah. Karena kantor saya ada di Palmerah, maka bus yang paling dekat bisa dari Slipi, bisa juga dari Jalan Tentara Pelajar alias Arteri yang lewat di depan kantor Kompas Gramedia.
Dari sekian banyak bus yang saya naiki, yang paling berkesan adalah bus PPD bernomor 213, Kampung Melayu-Grogol. Bus itu benar-benar tumpangan sejuta umat. Supir dan kernetnya paling bahagia kalau bus yang dikawalnya dipenuhi dengan puluhan kepala. Bahkan, sampai tergantung di pintu.
Saya hanya naik bus itu untuk pulang, terutama ketika sedang bokek, tidak punya uang buat naik taksi. Haha.
Bus berwarna putih dengan garis-garis merah di sana-sini bukan main larisnya. Biasanya kalau pulang malam hari, sekitar pukul 8 malam, saya menunggu di Slipi. Biasanya ada bus 213 yang kosong sedang ngetem atau tunggu saja sampai ada yang kosong. Saya tidak mau naik bus yang penuh, harus berdiri. Paling anti.
Suatu ketika, saya menunggu bus 213 kosong. Eh, tidak perlu menunggu lama, datanglah busnya. Saya selalu duduk paling depan, jika memungkinkan. Saat itu, saya kebetulan dapat di baris paling depan.