Mohon tunggu...
Irsad Ahmad Ananda
Irsad Ahmad Ananda Mohon Tunggu... UIN SUNAN KALIJAGA

24107030044- Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga jurusan ilmu komunikasi yang sedang mencari jati diri lewat tulisan artikel. "kalau buku adalah jendela dunia, berarti jika ingin dikenal dunia maka jadilah penulis."

Selanjutnya

Tutup

Worklife

Gagal Tidak Selalu Jadi Guru Terbaikmu: Mungkin Bukan Jalanmu Dan Menyerah Itu Tidak Selalu Buruk

13 Juni 2025   21:19 Diperbarui: 13 Juni 2025   21:19 23
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
menyerah itu tidak apa apa jika kamu tau kalau kamu salah jalan Photo by Andrea Piacquadio: https://www.pexels.com/photo/woman-sitting-on-chair-while-

"Kegagalan adalah kesuksesan yang tertunda." Kita semua pasti pernah mendengar kalimat sakti itu. Sejak kecil, kita dijejali kisah-kisah heroik para penemu dan miliarder yang bangkit dari ribuan kali kegagalan. Thomas Edison dengan bola lampunya, Kolonel Sanders dengan resep ayamnya, semua menjadi bukti sahih bahwa pantang menyerah adalah kunci utama untuk membuka gerbang keberhasilan. Narasi ini begitu kuat tertanam di benak kita, seolah-olah setiap kegagalan adalah sebuah anak tangga yang, mau tidak mau, pasti akan membawa kita ke puncak.

Tapi, mari kita berhenti sejenak dan bertanya dengan jujur pada diri sendiri. Bagaimana jika kegagalan yang terus-menerus kita alami bukanlah sebuah ujian yang harus dilewati, melainkan sebuah rambu lalu lintas yang dengan tegas menunjukkan: "Putar Balik, Anda Salah Jalan"? Bagaimana jika sikap pantang menyerah yang kita agung-agungkan itu ternyata hanyalah bentuk lain dari keras kepala buta yang justru menjauhkan kita dari potensi sejati di jalan yang lain? Artikel ini tidak akan mengajak Anda untuk menjadi pesimis, melainkan mengajak untuk menjadi lebih realistis. Membahas seni untuk tahu kapan harus berjuang mati-matian, dan kapan harus mundur secara elegan demi meraih kemenangan di medan perang yang berbeda.

Di era media sosial saat ini, "perjuangan" telah menjadi sebuah komoditas yang laris manis. Kita setiap hari disuguhi konten tentang bangun jam 4 pagi, bekerja hingga larut malam, dan mengorbankan segalanya demi sebuah impian. Kultur kerja keras atau hustle culture ini tanpa sadar telah meromantisasi penderitaan. Gagal dan menderita seolah menjadi lencana kehormatan yang wajib dimiliki, sebuah bukti bahwa kita sedang berjuang dengan hebat. Akibatnya, banyak dari kita yang terjebak dalam siklus yang melelahkan hanya untuk membuktikan kepada dunia---dan diri sendiri---bahwa kita adalah pejuang tangguh, meskipun di dalam hati kita sudah tahu bahwa usaha yang dilakukan tidak lagi membawa ke mana-mana.

Masalahnya, narasi yang keliru ini seringkali gagal membedakan antara dua hal yang krusial: kegigihan  dan keras kepala. Kegigihan adalah kekuatan untuk bangkit dari kegagalan, belajar dari kesalahan, dan beradaptasi dengan strategi baru untuk mencapai tujuan yang realistis. Ia didasari oleh hasrat dan visi yang jelas. Sebaliknya, keras kepala buta adalah penolakan untuk menerima kenyataan. Ia adalah kondisi di mana kita terus menanduk tembok yang sama berulang kali hanya karena ego, rasa takut dicap sebagai pecundang, atau karena sudah "terlanjur" berkorban banyak, tanpa mau mendengarkan data atau sinyal kegagalan yang ada di depan mata.

Lalu, bagaimana cara kita membedakan kapan kita sedang diuji oleh tantangan dan kapan kita sedang diberi sinyal untuk berhenti? Jawabannya terletak pada kesadaran diri dan keberanian untuk jujur melihat situasi. Seringkali, ego kita menjadi penghalang terbesar untuk mengakui bahwa kita mungkin telah salah memilih jalan. Mengenali tanda-tanda ini bukanlah bentuk kepesimisan, melainkan sebuah kalibrasi ulang yang cerdas. Ini adalah tentang menggunakan kegagalan bukan sebagai cambuk untuk terus berlari ke arah yang salah, melainkan sebagai kompas untuk mengarahkan kita ke jalur yang lebih menjanjikan.

Ada beberapa sinyal nyata yang bisa kita perhatikan. Pertama, stagnasi total; ketika Anda sudah mengubah strategi, mencari ilmu baru, dan mencoba berbagai pendekatan, namun jarum kemajuan tidak bergerak sedikit pun. Kedua, energi yang terkuras habis hingga ke akarnya; saat perjuangan tidak lagi memberikan percikan semangat, melainkan hanya menyisakan kelelahan fisik dan mental. Anda melakukannya hanya karena kewajiban, bukan lagi karena kecintaan. Ketiga, Anda secara konsisten mengabaikan sinyal dari luar, baik itu masukan dari para ahli, data yang tidak mendukung, maupun respon pasar yang dingin. Terakhir, ketika biaya yang Anda bayar baik itu waktu, finansial, kesehatan, maupun hubungan sosial sudah terasa jauh lebih besar dan tidak sepadan dengan harapan keberhasilan yang semakin memudar.

Di masyarakat kita, kata "menyerah" seringkali memiliki konotasi negatif yang kuat; ia identik dengan kelemahan, keputusasaan, dan kekalahan. Padahal, jika kita melihat dari kacamata strategi, keputusan untuk berhenti dari jalan yang buntu adalah salah satu tindakan paling cerdas dan berani yang bisa dilakukan seseorang. Ini bukanlah tentang lari dari tantangan, melainkan tentang memiliki kebijaksanaan untuk tidak membuang sumber daya paling berharga yang kita miliki waktu, energi, dan fokus ke dalam lubang tanpa dasar. Berhenti dari situasi yang salah adalah bentuk penghormatan tertinggi pada diri sendiri dan potensi masa depan kita.

Lihat saja kisah berdirinya Instagram. Sebelum menjadi raksasa media sosial berbasis foto, para pendirinya membuat aplikasi bernama Burbn yang fiturnya terlalu rumit dan gagal menarik minat pengguna. Alih-alih keras kepala mempertahankan produk gagal mereka, mereka melakukan pivot: membuang semua fitur yang tidak perlu dan fokus pada satu hal yang disukai pengguna, yaitu berbagi foto. Keputusan "menyerah" pada ide awal Burbn inilah yang justru melahirkan kesuksesan masif Instagram. Kisah ini mengajarkan kita bahwa pivot bukanlah kekalahan, melainkan sebuah realokasi sumber daya secara cerdas menuju peluang yang lebih baik, yang mungkin tidak akan pernah kita lihat jika kita terlalu sibuk menanduk tembok.

Pada akhirnya, kegagalan memang seorang guru, namun pelajaran terbaik yang ia tawarkan bukanlah selalu tentang "coba lagi". Terkadang, pelajarannya yang paling berharga adalah "coba yang lain". Memaknai kegagalan tidak lagi sebatas menguji seberapa kuat kita bisa bertahan, tetapi seberapa bijak kita dalam membaca data dan sinyal yang ada. Membedakan antara kegigihan dan keras kepala buta, serta mengenali kapan harus berbelok arah, bukanlah sebuah tanda kekalahan. Justru, itu adalah bentuk tertinggi dari keberhasilan strategis dan penghormatan pada diri sendiri. Karena keberhasilan sejati bukanlah tentang mencapai puncak dengan segala cara, melainkan tentang menemukan puncak yang tepat yang memang ditakdirkan untuk kita daki. Meninggalkan jalan yang salah adalah satu-satunya cara untuk memberi ruang bagi kita untuk menemukan jalan yang benar.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun