Mohon tunggu...
Iron Fajrul
Iron Fajrul Mohon Tunggu... Pengacara dan dosen

Pembaca dan pelintas semesta

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Mistik, Massa, dan Negara : Geneologi Kekerasan di Ruang Publik

21 Agustus 2025   11:47 Diperbarui: 21 Agustus 2025   12:02 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Peta Konsep : Logika Mistis, Kesadaran Kolektif dan Kekerasan Massal (sumber foto penulis)

"The state is that great fiction by which everyone tries to live at the expense of everyone else." - Frdric Bastiat

PENDAHULUAN

Fenomena kekerasan massal di ruang publik yang akhir-akhir ini terjadi di Indonesia dimulai dari bentrokan antarkelompok, persekusi berbasis identitas, hingga kerusuhan dalam demonstrasi yang menunjukkan bahwa tindak kekerasan tidak semata-mata lahir dari motif kriminal individual, melainkan merupakan hasil dari dinamika kolektif yang kompleks. Dalam peristiwa-peristiwa tersebut, ruang publik berubah menjadi arena di mana simbol, emosi, dan narasi bercampur, lalu meledak dalam bentuk aksi kekerasan yang memperoleh justifikasi sosial bahkan, dalam beberapa situasi menjadi toleransi politik.

Dalam kajian sosiologis dan antropologis adanya logika mistis sering bekerja di balik eskalasi konflik, di mana narasi sakral-profan digunakan untuk membelah realitas sosial menjadi "kita" dan "mereka". Narasi ini kemudian diperkuat oleh kesadaran kolektif yang terwujud dalam ritus, slogan, dan simbol bersama, sehingga massa merasakan kohesi emosional yang meneguhkan keberadaan mereka sebagai satu tubuh sosial. Proses ini diperluas melalui Fusi Identitas, di mana batas antara individu dan kelompok larut, menjadikan pengorbanan diri atau tindakan kekerasan ekstrem tampak wajar demi keselamatan komunitas yang lebih besar.

Pada level psikologis, Teori Contagion dari Gustave Le Bon menjelaskan bagaimana emosi dan perilaku dalam kerumunan menyebar secara cepat, menciptakan atmosfer "kepatuhan tanpa refleksi" yang mempercepat eskalasi kekerasan. Di sisi lain, dalam konteks politik dan hukum, kondisi krisis yang melatari peristiwa tersebut sering membuka ruang bagi apa yang disebut Giorgio Agamben sebagai state of exception, yaitu keadaan ketika aturan hukum formal ditangguhkan demi alasan keselamatan publik. Ironisnya, ruang pengecualian ini justru dapat menormalisasi kekerasan di ruang publik, baik oleh aparat maupun oleh massa, dengan klaim demi menjaga keteraturan.

Keterhubungan antara dimensi simbolik (logika mistis), sosial (kesadaran kolektif), psikologis (contagion), identitas (fusi identitas), dan legal-politik (state of exception) menunjukkan bahwa kekerasan massal di ruang publik di Indonesia tidak dapat dipahami sekadar sebagai "amukan spontan" atau "gangguan ketertiban". Sebaliknya, wujudnya adalah hasil dari interaksi kompleks antara mitos, emosi, identitas, dan kuasa politik yang saling menguatkan. Oleh karena itu, analisis terhadap kekerasan massal di Indonesia menuntut pendekatan multidisipliner yang menyingkap bagaimana simbol-simbol sakral, ritus komunal, dan praktik politik membuka ruang legitimasi bagi lahirnya kekerasan yang destruktif dalam kehidupan berbangsa.

GENEOLOGI KESADARAN KOLEKTIF DAN KEKERASAN

Interaksi antara logika mistis, kesadaran kolektif, dan konfigurasi ruang sosial itu sendiri mewujudkan kekerasan di ruang publik. Pertama, logika mistis mengacu pada cara berpikir yang menautkan sebab-akibat pada daya non-empirik seperti mana, mitos, atau aura sakral, sehingga kebenaran ditentukan oleh koherensi kosmologis dan simbolik, bukan semata verifikasi empiris (Eliade 1957/1991; Cassirer 1946/1955; Tambiah 1990). Kedua, kesadaran kolektif berfungsi sebagai kumpulan makna bersama yang menata moralitas komunitas, terutama melalui ritus, totem, dan narasi yang mengikat emosi dan solidaritas (Durkheim 1912/1995; Collins 2004). Ketiga, ruang publik adalah arena tampilnya opini, identitas, dan aksi, baik dalam bentuk fisik maupun digital, yang seharusnya diatur oleh norma dan hukum, tetapi juga sering menjadi medan kontestasi simbolis dan performatif (Habermas 1962/1991; Butler 2015).

Saling terhubungnya hal tersebut di atas melalui mekanisme ritual dan simbolik. Ritus menciptakan intensifikasi emosi bersama (effervescence), yang memperkuat solidaritas komunal (Durkheim 1912/1995; Collins 2004). Logika mistis berperan sebagai "kompresor makna" yang menyederhanakan realitas sosial ke dalam oposisi biner dalam frasa murni/najis, kawan/lawan, sakral/profan (Douglas 1966/2001; Cassirer 1946/1955). Proses ini sering berujung pada sakralisasi identitas tertentu dan eksklusi pihak lain sebagai "pencemar" atau "ancaman", yang dalam situasi krisis dapat bertransformasi menjadi legitimasi kekerasan (Girard 1972/1977). Di ruang publik, dinamika kerumunan mempercepat penularan afek melalui imitasi dan kepatuhan simbolik, sebagaimana digambarkan oleh teori contagion Le Bon (1895/2002) dan refleksi Canetti (1960/1984).

Kekerasan di ruang publik dapat dipahami sebagai hasil dari rantai sebab dari krisis dan ambiguitas memicu pencarian makna, dimana logika mistis menawarkan narasi kosmologis sederhana, kemudian ritus kolektif mengaktifkan kesadaran emosional bersama dan oposisi sakral-profan menghasilkan kambing-hitam; kerumunan fisik maupun digital mengonsolidasikan energi afektif dan akhirnya lahir tindakan koersif yang diberi legitimasi moral (Girard 1972/1977; Douglas 1966/2001; Canetti 1960/1984). Fenomena ini menunjukkan bahwa kekerasan bukanlah sekadar ledakan irasional, melainkan terwujudnya rasionalitas sakral yang bekerja dalam horizon kolektif.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun