Lalu terbayang bahwa lulusan sekolah nganu itu rata-rata diterima di PTN favorit/bergengsi, tambah pede saja.
Dulu, yang namanya sekolah swasta itu "buangan", sebab ke sanalah para murid yang tak diterima karena NEM/skornya kurang di sekolah negeri favorit. Mau sekolah aja sudah harus ngikut "natural selection" diukur dari seberapa tinggi nilaimu.
Apakah ada cacat dalam sistem yang dulu ini?
Oh tentu saja, mamen.
NEM kemudian bisa direkayasa dengan cara transaksi kunci jawaban atau lewat bisik-bisik dengan kenalan yang kerja di instansi ngonoh.
Apa sih yang ga bisa diupayakan di Indonesia?
Bikin donat dari mie goreng aja bisa.
Pada kesempatan inilah, orang tua yang berduit, bisa memasukkan anak-anak mereka ke sana. "Memasukkan" kemudian sedikit demi sedikit berubah menjadi "menitipkan" sebab banyak sekolah jenis ini tak ubah seperti day-care, saking lamanya anak di sekolah. Pilihan yang cocok buat orang tua yang dua-duanya pekerja.
Anehnya, keberadaan sekolah swasta bergengsi tak juga menyurutkan animo orang tua untuk menyekolahkan anak mereka ke sekolah negeri favorit.
Apa pasal?