Kisah kelam hubungan antara petani dengan tengkulak adalah cerita klasik yang masih terus terjadi sampai sekarang. Padahal kita semua tahu, hubungan antara petani dengan tengkulak sering kali menempatkan petani kita sebagai korban ketidakadilan.
Panjangnya rantai penjualan produk pertanian membuat petani tidak merasakan keuntungan maksimal dari buah kerja mereka. Alih-alih, perantara dan pengepul serta tengkulak lah yang paling sejahtera dari seluruh rangkaian skema penjualan tersebut. Selama ini, hasil produksi petani harus melewati empat mata rantai sebelum sampai ke tangan konsumen.Â
Petani menjual ke pengepul di desa, dari situ dijual ke tengkulak yang memiliki akses kepada tengkulak level kecamatan, dari sini baru bisa sampai di pasar besar. Oleh karena itu, perlu adanya suatu sistem yang dikembangkan untuk mengatasi masalah tadi. Sehingga petani kita bisa betul-betul merasakan, nikmatnya buah dari keringat mereka.
Sejauh ini, sudah ada upaya dalam bentuk pengembangan koperasi petani di daerah yang tujuannya memotong mata rantai distribusi produk pertanian. Koperasi petani di daerah akan berfungsi menjadi penghubung antara petani dengan konsumen. Jadi, dari yang semula petani menjual kepada pengepul atau tengkulak bisa langsung jual ke koperasi.
Selain koperasi, ada juga cara lain untuk memangkas rantai penjualan produk tani. Yakni dengan pemanfaatan teknologi berupa startup atau perusahaan rintisan di bidang digitalisasi pertanian, seperti TaniHub dan Eragano.
Hadirnya startup tersebut, secara tidak langsung telah memotong rantai distribusi yang panjang. Makanya diharapkan akan menjaga stabilitas harga dengan baik. Lebih jauh, petani diharapkan bisa mendapatkan keuntungan yang lebih besar dari sebelumnya. Dengan bantuan tersebut, besar harapan kita agar para petani di Indonesia mampu berdaya saing.
Tapi niat mulia tersebut sepertinya masih jauh panggang dari api. Karena masih banyak petani yang ogah memanfaatkan aplikasi penghubung tersebut. Ada beberapa alasan yang melatarbelakangi kurang maksimalnya pemanfaatan teknologi tersebut. Misalnya karena ada kekhawatiran pada pengelolanya. Para pengelola aplikasi itu dianggap kurang memiliki latar belakang sektor pertanian yang mumpuni. Sehingga, tidak mampu menyelesaikan persoalan secara menyeluruh.