Mohon tunggu...
Irma Sagala
Irma Sagala Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Seorang penikmat demokrasi

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Kala Sakit, Saya Merenung; Apakah Saya Seorang Pendidik?

25 Januari 2014   21:56 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:28 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dua pekan terakhir, saya kurang sehat. Meskipun 1-2 hari sepekan tetap saya paksakan ke kampus, dan sesekali menghadiri rapat kegiatan sosial. Tentu berusaha dalam aura keceriaan seperti biasa (anggaplah demikian :D). Sakit sepertinya tidak terlalu serius. Selain tensi yang rendah, pada siang hari kondisi cukup stabil. Hanya kumat kalau pagi sebelum jam 9 dan sore antara jam 5 sampai jam 9 malam. Gejalanya suhu tubuh hangat dan seluruh badan terasa ngilu, terutama persendian. Saya penderita tifus dan malaria, tapi sepertinya bukan salah satu dari keduanya. Meski sudah lama, tetap saja saya ngeyel tidak ke dokter, karena saya trauma. Terlalu banyak alergi. Kejadian paling parah itu 6 tahun lalu. Waktu itu saya opname karena DBD. Hari kedua di RS, saya kejang di leher. Kepala dengan sendirinya muter 180 derajat, menghadap ke belakang. Tidak bisa dihentikan. Bertahan beberapa menit menghadap belakang, kembali normal menghadap depan. Tak lama kembali lagi muter, begitu seharian. Sakitnya bukan main. Tak perlu dicoba. Sampai menjelang Maghrib saya disuntik -entah apa- sampai tertidur pulas. Waktu itu, saya benar-benar sudah pasrah dengan ajal. Adik-adik saya sudah tegang. Sahabat-sahabat yang menunggui di RS juga sudah berdo'a mohon kemudahan jalan bagi saya jika memang sudah saat ajal (yang ini dapat pengakuan setelah saya sehat). Dokter panik, tanya macam-macam, dikira saya lagi stres atau habis kebentur kepala. Tes kalsium, mau dipasang slang oksigen, dan lainnya. Ribut dech pokoknya. Besoknya sempat kumat sebentar. Lalu saya di EEG (klo tak salah itu istilah pemeriksaannya).  Banyak betul kabel-kabelnya ditempelin ke kepala. Serem amat rasanya. Hari ketiga, Dokter ahli syarafnya bilang, efek alergi obat, kasus yang langka. Beghh... sebelumnya kan paling cuma bentol-bentol atau mual kalau alergi. Sejak itulah, saya makin phobia dengan segala urusan RS. Maka pilihan lain adalah memperbanyak istirahat saat sakit. Kebetulan sekarang sedang libur habis ujian semester.

Dalam istirahat yang cukup banyak itu, mungkin saya diberi kesempatan untuk  lebih banyak merenung. Merenung tentang beberapa kondisi yang tengah terjadi di sekeliling saya dan sesungguhnya sangat "menghentak" bagi saya. Kenapa menghentak? Karena yang tengah saya hadapi adalah hantaman nafsu dan emosi di lingkungan akademis bernama perguruan tinggi. Dalam ruang-ruang akademis yang saya sertai itu, terbetik dugaan kasus asusila terhadap perempuan. Pada tempat lain, riuh sikut-menyikut berebut potongan-potongan kecil proyek kampus. Lalu ada telunjuk mengacung-acung disertai caci-maki menuntut kebijaksanaan pemimpin memperhatikan urusan hidup dan kehidupan pendidik. Ya; pendiddik; yang sejenak seolah kehilangan ruh terdidiknya. Tak ketinggalan saling melempar cerca dan curiga sesama kolega, meragui rasa orang lain dan mengunggulkan rasa diri dalam kebersamaan mengokohkan eksistensi profesi. Semua itu begitu menohok kesadaran saya, sampai pada tingkat yang paling dalam. Saya menjadi demikian gamang menghadapinya. Mencoba memahami asal-sebabnya. Mencoba mencerna pesannya. Dan parahnya, saya temui diri saya berada dalam pusarannya, nyaris tanpa kata, tak berbuat apa-apa. Hanya terpana.

Mungkin ini hanya secuil masalah dalam ruang-ruang akademis saya. Di luar itu, ruang-ruang akademis lainnya tengah sibuk mengukir prestasi. Sibuk pula membangun karakter dan memberi kontribusi bagi ummat. Tapi tetap saja, kejadian-kejadian barusan mengusik hasrat ke-ego-an saya tentang idealisasi dunia akademis ini. Entah apakah dunia akademis ini memang tak seidealis yang saya konsepsikan. Ataukah memang, idealisme dunia akademis itu tengah diuji oleh zaman? Sungguh, saya bahkan tak berani membangun asumsi.

Dalam perenungan ini, 2 pertanyaan besar menggelayuti hati dan pikiran saya. Pertama adalah tentang integritas pribadi. Sebagai seorang yang berprofesi sebagai pendidik, sudahkan saya memiliki integritas kepribadian yang istiqomah selama ini? Sudahkah saya melaksanakan beban kerja Tridharma Perguruan Tinggi dengan sepenuh hasrat dan tanggung jawab, atau hanya sekedar melepas tuntutan tunjangan profesi? Sudahkah saya memberikan keteladanan akhlak dan kinerja pada mahasiswa, atau saya biarkan mereka tersesat dalam fenomena hedonisme dan permisifisme dunia? Sudahkah saya mempersiapkan bimbingan dan pendampingan terbaik bagi mahasiswa, atau saya hanya menuntut mereka menjadi cerdas dengan sendirinya sebagaimana saya merasa saya memiliki etos belajar yang baik? Ternyata, saya masih jauh dari semestinya. Bahkan, saat memeriksa hasil ujian dan tugas mahasiswa beberapa hari ini, saya semakin menyadari bahwa untuk membudayakan kejujuran dan sportifitas terhadap mahasiswa saja, saya belum berhasil. Saya tak sepenuhnya menyalahkan mereka, sebab bisa jadi ada kontribusi kelemahan dan kesalahan saya di dalamnya. Maka, layakkah saya menyandang profesi ini...???

Pertanyaan Kedua, yang sebenarnya juga berhubungan dengan pertanyaan pertama, adalah tentang kontribusi positif saya dalam ruang-ruang akademis ini. Dari begitu banyak lahan prestasi; dari beragam pula masalah yang menjangkiti; apa kontribusi yang sudah saya berikan? Pada tahap ini, saya tiba-tiba menjadi demikian malu. Jika profesi yang saya tekuni ini berwujud seorang ibu yang penuh kebersahajaan, maka saya akan malu menghadapnya saat ini. Meneliti seadanya, menulis sesekali, pengabdian masyarakat terbatas. Tapi saya masih saja merasa bahagia berada di jalan profesi ini. Entah dari mana datangnya bahagia itu, tanpa kemanfaatan yang besar untuk ummat. Lalu, dalam masalah-masalah yang turut juga saya perbincangkan, ternyata saya pun belum mampu memberikan kontribusi berarti. Saya mengeritik kebijakan pendidikan, tapi juga tak mampu memberikan konsep banding yang lebih baik. Sekedar kritik. Saya mengeluhkan sarana, tapi juga tak cukup inovatif untuk memberrdayakan apa yang ada. Lebih mudah mengeluh. Saya mencibir organisasi profesi yang tak kompak dan kurang "bergigi", tapi juga tak mampu menjadi perekat dan penggerak. Mencibir, sekedar agar tampak peduli. Itu baru mengakui sebagian saja. Achhh... Lalu apa gunanya saya bagi profesi ini...???

Perenungan dalam kondisi kurang sehat ini, mungkin menjadikan saya sedikit lebih sensitif dari biasanya. Entah kesadaran, entah karena ketakutan, yang membuat perenungan saya beberapa hari ini bermuara pada sebuah kalimat yang separuh bertanya, separuh berdo'a: "Ketika kelak saya sudah tiada, akankah kerja dalam profesi ini dapat menghantarkan saya pada rahmatNYA...??? #

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun