Mohon tunggu...
Irma Sagala
Irma Sagala Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Seorang penikmat demokrasi

Selanjutnya

Tutup

Catatan

“Brondong”, Bo’....! (Kepada Perempuan dalam Penantian 7)

29 Desember 2013   02:12 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:23 340
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Siapa bilang pilihan menikah dengan perempuan berusia lebih tua itu menjadi dilema hanya bagi laki-laki? Sebagian perempuan -sama halnya juga dengan sebagian lelaki- juga merasakan dilema jika dihadapkan pada pilihan menikah dengan laki-laki yang lebih muda. Ini penggalan lain diskusi saya dengan teman yang saya sebutkan pada episode sebelumnya. Sedikit nyeleneh ya, pilihan judul episode kali ini...? Ya... saya pun tersenyum saat menuliskannya, sepintas terbayang lambaian tangan waria sambil mengucapkan kata itu. "Brondong, bo'..!". Hahaha... akhirnya saya tertawa.

Konon, ada beberapa argumentasi kenapa umumnya laki-laki enggan menikah dengan perempuan yang lebih tua. Pertama, alasan peluang memperoleh keturunan. Untuk alasan ini saya sangat memaklumi dan memang salah satu tujuan pernikahan adalah untuk memperoleh keturunan yang baik. Dalam kajian hukum Islam, di antara maqashid syariah adalah memelihara kehormatan dan juga keturunan. Ditinjau dari ilmu terkait reproduksi, alasan ini juga sangat dimaklumi sebab masa fertilitas perempuan itu stabil sampai usia sekitar 35 tahun, dan mulai menurun setelah usia 40 tahun. Jadi, manusiawi dan masuk dalam timbangan syar'i saya pikir. Tapi kita juga tentu sama-sama mafhum bahwa urusan memperoleh keturunan juga adalah urusan amanah dari Allah. Ummul mukminin Khadijah melahirkan anak-anak shalehah juga pada usia lebih 40 tahun. Sedangkan ibunda Aisyah yang lebih belia tidak diberikan Allah amanah yang sama. Bercermin pada kisah pernikahan-pernikahan Rasulullah memang benar-benar mengantarkan kita pada lautan hikmah tak bertepi.

Dalam kehidupan saat ini, berbagai permasalahan keturunan juga kita temui dalam banyak sekali varian kasus. Seminggu lalu saya mendengarkan diskusi 2 orang rekan di kantor tentang memperoleh keturunan. Beberapa kisah teman-teman lain sempat mereka bicarakan. Bahkan ada yang sudah lebih 20 tahun menikah, belum juga memiliki keturunan. Saat itu, saya hanya berpikir, "Begitulah hidup, selesai 1 fase masalah, akan selalu ada masalah lainnya. Sebelum menikah, orang selalu bertanya kapan menikah, setelah menikah juga akan kembali ditanya kapan punya anak, begitu seterusnya". Selain urusan umur -dan takdir Allah tentunya- kesehatan reproduksi adalah hal yang harus selalu diperhatikan oleh siapapun yang ingin memiliki keturunan. Sehingga, secara ilmiah resiko tidak memiliki keturunan bisa diminimalisir. Intinya, meskipun secara rasional peluangnya lebih kecil, tapi tidaklah harga mati.

Alasan kedua adalah tradisi. Tradisi umum masyarakat Indonesia masih sangat tabu dengan pernikahan dimana usia calon suami lebih muda dibanding calon isteri. Berbeda 180º jika calon isteri lebih muda, kesannya lebih "prestisius". Kadang, terpikir kenapa demikian tidak adil? Tapi, itukan mungkin hanya pemikiran saya. Repotnya, kalau sudah berurusan dengan tradisi, maka kita dihadapkan pada demikian banyak pertimbangan, ya hubungan dengan keluarga besar-lah, gunjingan masyarakat sekitar-lah, dan sebagainya. Pernah ada kisah sedikit lucu sekaligus miris yang dialami seorang sahabat saya sekitar 10 tahun lalu. Muslimah ini termasuk "idola" di kalangan muslimah yang mengenalnya. Cerdas, aktif, ber-duit dan jelasnya shalehah. Meski usianya sudah menjelang 30 tahun waktu itu, parasnya imut, masih layak dianggap mahasiswa tahun-tahun awal. Waktu itu, beliau menjalani proses ta'aruf dengan laki-laki yang lebih muda beberapa tahun. Ketika sesi berkenalan dengan keluarga si calon, awalnya semua berjalan lancar. Calon mertua dan keluarga tampak senang. Sampai kemudian terjadilah kesalahan kecil namun berakibat fatal. Ketika bicara dengannya, karena sebelumnya terbiasa, si lelaki tetap memanggil "kakak". Sontak keluarga kaget dan bertanya berapa umur calon menantu. Ternyata, selama ini perbedaaan umur tidak terkomunikasikan dengan keluarga. Akhirnya, keluarga menolak dan semuanya berakhir.

Meskipun tabu di Indonesia, kecuali di beberapa kota besar, pasangan perempuan lebih tua dari laki-laki tampaknya tidaklah tabu di negara-negara Barat, dan juga di negara-negara Arab. Sebelum menulis episode ini, saya sempat membuka-buka kembali referensi kisah-kisah sahabat Rasulullah. Jarang sekali saya temukan rincian umur saat menikah dibahas dalam beberapa referensi yang ada. Tapi sekedar bahan analisis saya tuliskan kisah salah seorang shahabiyah Rasulullah yang dikenal dengan julukan isteri para syuhada, Atika binti Zaid. Meski saya tak berhasil menemukan tahun lahir beliau tapi kita bisa mencoba membandingkan umur suami-suami beliau. Atika pertama sekali menikah dengan Abdullah bin Abu Bakar. Setelah Abdullah syahid, Atika menikah dengan Umar bin Khattab yang umurnya lebih muda 9 tahun dari mertua pertama Atika (Abu Bakar). Setelah Umar syahid, Atika menikah dengan Zubair bin Awwam, suami adik iparnya, Asma binti Abu Bakar. Zubair sendiri lebih muda 13 tahun dari Umar, suami keduanya. Setelah Zubair wafat, dalam usia 50an tahun, Atika menikah dengan Husein bin Ali bin Abi Thalib, cucu Rasulullah SAW. Lihatlah bagaimana Atika memiliki 4 orang suami dari usia yang berbeda jauh. Abdullah dan Zubair mungkin sebaya, tapi Umar jauh lebih tua dari mereka, sedang Husein jauh lebih muda dari mereka. Jika dibandingkan dengan usia Rasulullah, Umar lebih muda 10 tahun dan Husein lebih muda 55 tahun dari Rasulullah. Tidakkah ini menarik?

Pertanyaannya adalah, jika pun usia calon isteri lebih tua, tapi padanya terdapat suatu keutamaan sebagaimana diajarkan Rasulullah dalam sunnahnya, kenapa menjadi demikian tabu dalam tradisi kita yang mayoritas muslim? Untuk kondisi ini, komunikasi intensif dengan keluarga besar menjadi salah satu solusi yang sangat layak dicoba. Tradisi memang tak akan berubah secara tiba-tiba dan dramatis, tapi perlahan tetap bisa berubah.

Ketiga, adalah alasan keindahan fisik; semakin tua, semakin tak cantik. Saya jadi ingat candaan populer di kalangan aktivis-aktivis dakwah kampus zaman awal saya kuliah dulu. Waktu itu awal tahun 2000an, saat tema menikah dini menjadi populer. Dalam candaan itu disebut bahwa para aktivis muda umumnya mencari calon isteri yang tinggi, berkulit putih, berparas cantik, dan bahkan ada yang menyebut kriteria tertawanya renyah. "Parah! Tertawa saja sudah seperti kue. Apa sebelum nikah harus uji tertawa dulu?", begitulah tanggapan saya ketika mendengar kisah itu. Ungakapan "Don't judge a book by the cover", tampaknya tak berlaku bagi kelompok ini. Meskipun kriteria ini termasuk 1 dari 4 kriteria memilih pasangan yang diajarkan Rasulullah, tapi pada prakteknya tidak menjadi pertimbangan utama Rasulullah dalam menikahi sebagian dari isteri-isteri beliau. Setelah ibunda Khadijah wafat, perempuan yang mendapat anugerah menjaid isteri Rasulullah dan merawat anak-anak beliau adalah ibunda Saudah binti Zam'ah. Meski tidak terkategori cantik, tapi beliau dikenal dengan keikhlasan dan kemurahan hatinya. Sampai-sampai ibunda Aisyah yang pencemburu pun kehilangan rasa cemburunya khusus kepada beliau. Membahas alasan ini, saya hanya bisa tersenyum tipis saja, benar ini sangat manusiawi dan diperbolehkan. Walaupun mungkin perlu dipertimbangkan kembali jika alasan ini dijadikan pertimbangan utama dalam memilih. Toh, kata Rasulullah, jika ingin beruntung maka utamakanlah kriteria agama.

Namun, tak semua juga laki-laki enggan menikah dengan perempuan yang lebih tua. Saya banyak memiliki teman-teman yang menjalani pernikahan seperti ini dalam keharmonisan. Salah seorang rekan kerja saya (perempuan) beberapa tahun lalu, menikah dengan laki-laki yang 9 tahun lebih muda. "Mas", demikian dia memanggil suaminya, yang kadang sengaja dengan sangat romantis. Sahabat lainnya dalam sebuah organisasi (laki-laki), menikah dengan senior kami yang lebih tua 3 tahun. Kadang-kadang, jaim sekali sahabat saya itu di depan isterinya. Saya pun kadang tertawa melihatnya, mengingat saya paham betul karakter asli sahabat saya itu. Kadang memang terukir kisah-kisah lucu, tapi itulah warna pelangi yang mereka pilih dalam bahtera rumah tangganya. Bahkan, ada seorang senior saya di sebuah organisasi lain (perempuan) yang menikah dengan yuniornya di organisasi. Dengan sumringah dia pernah berkisah, "Kalau lagi sebel, kadang saya akan memanggil suami dengan kata dek, lalu kami akan tertawa", katanya. Tak tanggung-tanggung, pasangan ini malah dikenal di kalangan rekan-rekannya sebagai pasangan romantis yang sering memberi pelatihan keluarga sakinah secara berpasangan. Di luar kisah yang saya tulis, bisa jadi ada kisah-kisah gagal, tapi setidaknya banyak contoh yang sukses. Sunnah alam.

Sejujurnya, saya tertarik dengan tausiyah seorang ustadz yang diceritakan sahabat saya tadi dalam diskusi. Taushiyah yang diakuinya juga menginspirasinya dalam pencarian jodoh yang alhamdulillah telah bertemu dalam ijab-qabul beberapa hari lalu. Baiklah saya kutipkan taushiyah tersebut.

"Ingin isteri yang lebih muda, belajarlah dari rumah tangga Rasul dengan Aisyah. Romantis memang, menyenangkan, cantik, tapi Aisyah sebagai perempuan muda pencemburu degan isteri yang lebih tua. Lihatlah rumah tangga Rasul degan Khadijah, romantismenya berbeda degan yang tadi, juga tak secantik Aisyah, kehidupannya tak seperti bagaimana riangnya bersama Aisyah. Tapi lihat kesabarannya, lihat keibuannya, lihat jua pengorbanannya. Meski Aisyah juga berkorban banyak, tapi tetap tak mampu mengalahkan Khadijah. Lihat juga konflik yang pernah ada. Karena cantik dan mudanya Aisyah, Rasul pun sempat terhasut oleh fitnah, apalagi kita yangg insan biasa. Tapi lihat bagaimana tingkat kesetiaan Khadijah. Bukan tak ada lelaki yang juga ingin memperistri beliau, tapi Rasul merasa nyaman dan tenang dari seorang Khadijah".

Sebuah taushiyah yang sangat indah saya pikir. Walaupun tentu saja realitas sekarang tidak selalu seperti perbandingan dalam taushiyah ini. Semua kembali lagi pada sosok seperti apa yang kita temui dalam kehidupan kita. Tua atau muda, sama-sama memiliki potensi fujur dan taqwa sebagaimana diisyaratkan Allah untuk seluruh manusia dalam QS. Asy-Syams: 8.

Lalu, apa alasan sebagian perempuan juga enggan menikah dengan laki-laki lebih muda? Alasannya juga tidaklah tunggal. Di antaranya adalah tingkat keyakinan terhadap kepemimpinan laki-laki berusia muda. Sebagai makmum dalam rumah tangga, perempuan itu mengharapkan imam yang lebih dewasa, mampu memimpin dengan arif-bijaksana juga penuh kasih-sayang dan perhatian. Meski tak semua, setidaknya kekurang-dewasaan laki-laki muda banyak ditemui. Mungkin inilah rahasianya kenapa perbedaan usia dalam pernikahan bukan permasalahan pelik di kalangan para sahabat Rasulullah. Sebab, para sahabat Rasulullah memiliki jiwa kepemimpinan tak mumpuni. Ali bin Abi Thalib, Hanzholah, Mush'ab bin Umair, adalah sedikit dari tokoh-tokoh muda pengukir tinta emas sejarah. Selain alasan itu, ada juga alasan yang cenderung melankolis; perempuan takut kehilangan. Kecenderungan perempuan yang lebih cepat terlihat tua serta alasan lainnya, memberikan kekhawatiran perempuan akan kehilangan suaminya. Walaupun, sebenarnya yang tua juga belum tentu setia. Sampai-sampai ada istilah "Tua-tua keladi, makin tua makin menjadi". Mungkin juga masih ada alasan lain di luar ini yang belum saya temukan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun