Mohon tunggu...
Irma Sagala
Irma Sagala Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Seorang penikmat demokrasi

Selanjutnya

Tutup

Humor

Aku dan Gelar Kehormatan “Presiden GDI”

1 April 2015   02:52 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:42 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humor. Sumber ilustrasi: PEXELS/Gratisography

Tidak banyak orang di negeri ini yang menyandang gelar Presiden, tentu saja selain jabatan Presdir di perusahaan-perusahaan. Tapi, sejak hampir 2 tahun terakhir, saya beruntung menyandang gelar itu dari Grup Dosen Indonesia, sebuah grup facebook yang berisi hampir 14 ribu anggota. Karena ini sebuah gelar yang tak biasa, maka saya tergerak menulisnya. Bukan karena sekedar ingin narsis, namun dalam proses melekatnya gelar itu, saya menemukan banyak pelajaran. Tentu saja, pelajaran itu tidak akan saya bincangkan dengan analisis teori politik, sebab itu terlalu berat dan tidak sesuai dengan “ruh” penobatan gelar itu. Baiklah, saya memilih gaya berkisah humor saja.

Saya mulai dengan menceritakan sejarah singkat penobatan. Pertama kali mendapat gelar itu, jangan bayangkan ada semacam voting atau SK penunjukan yang diikuti oleh pesta selamatan. Andai saja ada pesta selamatan, pastinya saya lebih suka model pesta taman, lebih alami dan menyegarkan. Tapi sepeti saya bilang, tidak seperti itu kisahnya. Gelar itu saya terima secara tiba-tiba, dianugerahkan secara langsung dan terbuka oleh seorang anggota grup. Sebagai salah seorang admin, saya cukup aktif “memonitor” kegiatan grup, bahkan postingan saya tentang kolom perkenalan anggota tersemat lama di jajaran paling atas wall grup. Sampai-sampai seorang anggota menjadikannya joke juga di Kompasiana waktu itu. Sangat mendadak, dengan nada sindiran rekan tersebut menyampaikan suatu hal kepada saya dengan menyebut saya Presiden! Begitu saja!

Selanjutnya, sekitar 20an rekan segera bergabung untuk mencandain saya. Seolah kompak ikut “membai’at”, istiah sakralnya. Sebagiannya bermaksud menyindir balik sang pemberi gelar, sebagian lainnya memang merasa tertarik dengan gelar itu. Walaupun, saat itu belum musim Pemilu. Jadilah panggilan Ibu Presiden mulai populer melekat pada saya. Semakin hari semakin populer. Semakin banyak yang menggunakannya. Anehnya, sebagian rekan-rekan memanggil saya dengan gelar itu sambil bertanya-tanya, kenapa saya digelari Presiden. Saking seriusnya gelar itu, beberapa rekan lalu menjadi demikian takzim kepada saya. Tak jarang yang tertipu dengan sendirinya, menganggap saya dosen senior, seorang profesor, pejabat tinggi di kampus, kolega level kementerian dan sejenisnya. Sampai-sampai ada yang bertanya pada rekan yang sudah sering bertemu saya: “Bu Pres itu aslinya bagaimana ya? Perwajahannya serius kah?......?” Benar-benar membuat saya mati gaya! Saya, hanya seorang dosen muda yang juga berjiwa muda sepanjang masa!

Awalnya saya risih. Jujur. Tapi lama-lama saya mulai menikmatinya. Ternyata gelar itu menguntungkan. Kalau sudah bicara untung, tentu menjadi menarik bukan? Saya pun semakin suka berusaha tampil bijaksana dalam komentar-komentar saya. Saran-saran saya cukup diterima sebagian rekan-rekan. Tentu saja ada yang tidak suka. Sebagaimana layaknya Presiden di semua negara, tidak ada yang sempurna. Beberapa kali saya memberikan instruksi mendadak untuk mengumpulkan beberapa bahan administrasi bahkan untuk kopdar, direspon cepat dan serius oleh rekan-rekan yang ingin membentuk organisasi. Begitulah gelar Presiden semakin saya nikmati. Apakah ada yang tertarik mencobanya? Presiden di antara para dosen lho.

Begitulah ceritanya. Sekarang, saya akan berkisah tentang beberapa pelajaran yang saya temukan dalam menyandar gelar itu. Pertama, saya terkesan dengan gaya sindir-menyindir. Entah ini memang tradisi inheren dalam beberapa budaya bangsa, atau bagaimana, saya juga tidak tahu kajian Antropologi atau Sosiologinya. Tapi, urusan sindir menyindir sangat lumrah kita temui dalam keseharian, termasuk di lingkungan kampus. Tentu saja, bahasa di dunia akademik sedikit lebih “berkelas”. Dalam fenomena sindir menyindir ini, banyak efek yang bisa terjadi. Tergantung cara kita menyikapinya. Awalnya saya kesal dengan rekan tersebut, yang memang belum saya kenal baik. Tapi, nuansa pembelaan dalam irama canda yang diberikan oleh rekan-rekan lain, justeru menghadirkan efek yang berbeda. Sebuah hal tidak menyenangkan ternyata bisa diubah menjadi sesuatu yang menguntungkan, minimal menyenangkan. Belakangan, rekan tersebut malah menjadi salah satu rekan baik saya di grup. Ternyata memang, berdamai dan bersaudara itu lebih menguntungkan. Apalagi, interaksi dunia maya memang harus diakui cukup terbatas. Ah, semoga suatu saat benar-benar bisa mengadakan pesta taman untuk kopdar dosen se-Indonesia. Tapi, kira-kira berapa biayanya ya...?

Kedua, saya tertarik pada proses pembiasaan. Ternyata dampak kebiasaan itu luar biasa. Meskipun awalnya bercanda dan tidak terencana, namun karena terbiasa gelar itu menjadi sangat familiar. Bahkan, rekan-rekan yang sama sekali tidak tahu sejarahnya pun ikut beradaptasi, membiasakan diri dengan gelar itu. Begitulah kebiasaan. Kalau sudah terbiasa dan menjadi lumrah, tidak paham pun ya dilakukan. Dan itu secara spontan. Kalau sudah spontan susah hilangnya. Tentu saja kebiasaan memanggail gelar itu di grup tidak bahaya, bahkan seperti saya bilang itu menyenangkan saya. Presiden Jokowi juga tidak akan protes. Toh saya hanya di dunia maya dalam komunitas yang kecil sekali. Tapi bisa dibayangkan, jika kemudian para dosen di grup itu kemudian terbiasa saling berdebat kusir, saling serang peribadi. Memang sulit untuk terus menahan diri. Apalagi sepanjang zaman Pilpres hingga tren “evaluasi kinerja” saat ini. Saya juga kadang sampai menggigit gigi. Keras. Gemerutuk. Makanya kadang juga ikut “bertarung”. Tapi, semoga tak sampai menjadi terbiasa. Lalu membudaya. Ah, bakal jadi seperti apa.

Ketiga, yang menarik juga adalah pencitraan. Kadung bergelar Presiden, saya secara perlahan mulai semakin merasa pencitraan itu penting. Gelar Presiden itu seperti memiliki kekuatan magnet raksasa. Saya semakin tersugesti menjadikan diri sebagai Presiden yang bijaksana, berdedikasi, profesional dan humoris. Sepertinya jika punya Presiden yang begitu akan menyejahterakan rakyat. Tapi, lama-lama saya menyadari bahwa pencitraan, sampai batas tertentu, tak banyak berguna. Pencitraan itu modalnya besar. Dan, dari yang saya temukan, modal terbesar pencitraan adalah nurani. Saya mulai menemukan, kadang harus menekan nurani agar tak disebut Presiden diktator, apalagi fundamentalis. Kadang saya secara sadar membohongi nurani saya ketika harus mengaku sanggup, padahal saya tidak dalam kompetensi itu.

Ketika mencoba sesekali berkontemplasi, saya sedikit mulai menyadari bahwa kepemimpinan bukan tentang kesempurnaan orang-seorang. Kepemimpinan adalah tentang kerjasama, tentang sitem dan komitmen bersama. Obsesi menjadi pemimpin terkultus itu melelahkan, kalau tidak ingin dikatakan egois. Kalau dipikir-pikir, profesi dosen mengemban tugas kepemimpinan yang besar. Jika kampus salah urus, mau jadi apa generasi yang dilahirkannya? Itu jika kita masih yakin pendidikan formal itu penting loh ya. Semoga anggota grup yang banyak itu sukses menjadi pemimpin-pemimpin yang tak tergiur pencitraan. Tak perlu sibuk berusaha menjadi paling menonjol, melainkan yang paling banyak berkontribusi. Saya mulai menyesal telah terseret magnet gelar kehormatan. Semoga jalan taubat masih terbuka.

Keempat, tentang persahabatan. Bahkan, seorang Presdien pun butuh sahabat, apalagi dosen. Atau jangan-jangan memang Presdien lebih butuh sahabat ketimbang dosen? Anggaplah sama-sama butuh sahabat. Sahabat sejati. Sahabat yang bahkan marahnya pun kita tunggu. Sebab kita yakin kalau dia marah sekalipun adalah untuk kebaikan kita. Tentu saja, hadiahnya juga sangat ditunggu. Namanya juga sahabat. Berkenalan dengan banyak rekan di grup memberikan warna yang sangat berarti dalam hidup saya. Sebagiannya sudah bertatap muka, sebagiannya baru saling dengar suara, sebagiannya bahkan hanya kenal di dunia maya. Bertukar informasi, saling bantu bahkan finansial, saling berkirim souvenir, juga saling menasehati, bahkan sampai ada yang bela-belain nelpon dari Australia karena saya ngidam pengen tau rasanya ditelpon dari luar negeri. Ternyata mau ditelpon dari mana saja, suasananya gak jauh beda. Ada yang juga penasaran coba? Jika mengingat indahnya persahabatan yang terbentuk, gelar Presiden itu menjadi tak berharga. Saya menjadi lebih senang dipanggil “dedek” oleh para sahabat senior itu. Andai semua orang bisa merasakan indahnya persahabatan, tentu saja, semua orang tak kan silau oleh kedudukan apalagi sekedar memelihara ego dan pencitraan.

Demikianlah sebagian pelajaran yang saya temukan bersama gelar kehormatan “Presiden Grup Dosen Indonesia”.  Agar tak “terkecoh”, saya kembali ingatkan bahwa saya hanya seorang dosen biasa, dosen muda yang selalu berjiwa muda, dan berharap bisa turut berkontribusi untuk pendidikan di negeri ini. Salam dan senyum untuk anda semua ^_^

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humor Selengkapnya
Lihat Humor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun