Mohon tunggu...
Irma Ratna Ningsih
Irma Ratna Ningsih Mohon Tunggu... -

teacher - diary writer - amateur blogger

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Status Dulu, Baru Puisi

17 Januari 2014   11:17 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:45 111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1389931937393225883

Hey, tahu apa yang murid-muridku lakukan hari ini??

Kamis, 16 Januari 2014, 08:20. Jam pelajaran ketiga adalah Bahasa Indonesia. Kumasuki ruangan 41 siswa tersebut. Pagi ini aku mendapat giliran mengajar kelas VII A. Kuucapkan salam sebagai tanda permulaan pertemuan dengan mereka.

Hari ini tugasku mengulang sekilas pembelajaran pertemuan lalu dan berniat untuk membahas bab selanjutnya. Sudah sedikit mempersiapkan apa yang akan dibicarakan, namun tetap saja di tengah-tengah penjelasan, aku berpikir bagaimana strategi belajar yang menarik yang bisa kupakai.

Materi selanjutnya adalah menulis puisi, pengalamanku pada tahun ajaran lalu, mereka masih belum mampu untuk mengolah kata-kata. Lalu aku teringat pada salah satu akun jejaring sosial yang sedang mendunia, ya, facebook. Walaupun twitter tak kalah popular, tetapi facebook cukup terkenal dan mudah digunakan oleh kalangan anak muda, khususnya murid-muridku. Facebook menjadi ajang curhat yang ampuh bagi mereka.

Berpuisi berarti juga mencurahkan isi perasaan dalam bentuk kata-kata yang dirangkai dengan indah dengan menggunakan gaya bahasa. Terkadang mereka sulit jika harus langsung menulis sebuah puisi dalam bentuk baris, bait, bersajak, apalagi bermajas.

Untuk itu, sebuah ide tiba-tiba muncul di kepalaku, menggabungkan penggunaan facebook di kalangan muda yang menjadikannya ajang curhat meluapkan perasaan dengan pencurahan perasaan melalui puisi.

Aku kemudian menugaskan mereka untuk menyediakan selembar kertas, memberikan nama dan kelas pada sudut kiri atasnya. Pada bagian kosong lainnya, mereka kutugaskan untuk menulis besar-besar delapan huruf istilah asing itu, “FACEBOOK”.

Ada riuh yang cukup ramai ketika aku menorehkan kata facebook di papan tulis. Mereka heran, apa yang harus mereka lakukan dengan tulisan facebook sebagai judul?

Kemudian aku menambahkan kepada mereka untuk membuat kotak pada bagian kiri dimana itu adalah gambar diri layaknya sebuah akun asli. Aku membebaskan mereka untuk menggambar diri mereka sesuka hati. Mereka pun kembali berpikir apa yang akan mereka buat.

Lalu kuperintahkan mereka menulis status, ya, update status dalam bahasa mereka sendiri, tetapi tetap menggunakan bahasa Indonesia (bukan bahasa daerah atau asing).

“Tulis apapun yang kalian rasakan seperti kalian meng-update status kalian di facebook” perintahku.

“Tulis juga nama akun facebook kalian ya?” tambahku.

Kuminta kepada mereka agar menuliskan hari, tanggal dan waktu persis mereka menulis “status” tersebut. Akupun mendapati berbagai macam celotehan dan “protes” mereka mengenai tugas yang kuberikan ini.

“Bu, curhat boleh nggak, Bu?

“Bu, saya nggak punya facebook, jadi gimana dong, Bu?”

“Bu, malu ah, masa statusnya nanti dibaca Ibu.”

“Bu, saya facebooknya punya tiga, pakai nama yang mana ya, Bu?”

Aku tertawa geli mendengar celotehan-celotehan mereka, anak-anak, selalu begitu, ada saja hal yang membuatku tak bisa menyembunyikan senyum riangku, walau dalam keadaan sedih dan murung sekalipun.

Kuperhatikan aktivitas mereka ketika menulis status, tampak wajah-wajah ceria penuh canda, saling mengejek status satu sama lain, ada yang menutup kertas mereka rapat-rapat agar orang lain tak bisa membaca apa yang ditulisnya. Namun, ada juga yang masih kebingungan mau menulis apa.

Kuperhatikan pula apa yang ada dalam kotak di sudut kiri kertas mereka, ada yang menggambar emoticon senyum, gambar diri mereka dengan rambut berponi panjang bak anak band melayu total, dan ada yang sengaja menulis di kotak “Gambar Sasuke” tanpa menggambarnya.

Ingin tertawa rasanya melihat gambar-gambar tadi. Kemudian ku beralih pada isi status, ada yang masih menulis status dalam bahasa daerah yang kemudian kuminta untuk menggantinya dengan bahasa Indonesia, ada yang mengeluh, curhat, menulis pantun, bahkan ada yang merayu gurunya dengan “gombalan” seperti ini:

“Ibu Irma, tau nggak apa bedanya Ibu dengan garuda?

Kalau garuda di dadaku, kalau Ibu di hatiku “

Begitulah yang tertulis pada lembar kertas milik seorang siswa.

Rencanaku ke depan adalah ketika memasuki kelas pada pertemuan berikutnya, akan kubagikan lagi kertas facebook mereka, dan mereka akan kembali menulis status yang lain, mulai dari yang bebas dan umum sampai pada akhirnya “tematik” dan mencirikan puisi dengan bahasa indahnya.

Akan kutarik daya imajinasi mereka, memainkannnya dengan bebas dalam ruang pikiran mereka. Tak mengharap hasil yang sempurna tetapi yang terpenting adalah prosesnya. Strategi yang kuterapkan adalah salah satu strategi belajar bahasa yaitu strategi multiple intelligences, dimana setiap anak memiliki kemampuan masing-masing. Disini kulatih kemampuan visual, interpersonal dan verbal mereka.

Dan pada pertemuan berikutnya juga, mungkin akan kuiringi dengan musik klasik atau pop serta menampilkan beberapa gambar yang dapat menstimulasi otak mereka untuk meluapkan perasaan, bermain dengan kata-kata, lalu menyusunnya hingga indah dan bermakna.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun