Mohon tunggu...
Irin Prihartanti
Irin Prihartanti Mohon Tunggu... Mahasiswi

Grow

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Edisi Sungkeman Lebaran dalam Bungkus Budaya Jogja

22 April 2025   20:46 Diperbarui: 22 April 2025   20:49 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada 31 Maret 2025, masyarakat muslim merayakan hari kemenangan  atau idul fitri. Bagi masyarakat muslim Indonesia, masa tersebut digunakan untuk berkumpul oleh sanak keluarga. Mereka yang mengemban tugas  mencari kepingan rezeki di perantauan diperkenankan untuk pulang sejenak untuk menyambut Idul Fitri bersama keluarga, istilah ini dikenal masyarakat Indonesia dengan sebutan mudik. Namun, disamping itu ternyata ada mereka yang tidak bisa pulang bertemu keluarga atas tuntutan kerja atau faktor lainnya. 

Lebaran di Kota Jogja masih terlihat kental pada budaya jawanya, hal tersebut tergambar dalam Desa Jetak, Bambanglipuro, Bantul. Perjalanan mudik yang ditempuh kurang lebih dua jam dari Kab. Semarang- Bantul dengan kendaraan bus, waktu menunjukan h-3 lebaran . Suasana lebaran sudah terlihat pada trotoar jalan mulai dari pedagang yang menjual baju lebaran, menjajakan ketupat dan hiasan lebaran yang menghiasi dinding toko-toko. Tidak lupa slogan  senyum, sapa dan salam antar masyarakat yang juga menghiasi interaksi dalam kehidupan. 

Persiapan sebelum hari h-lebaran salah satunya menyiapkan jajanan ringan seperti membuat tape, menggoreng emping dan tidak terlepas adanya kembang gula (permen) yang menjadi serbuan anak-anak. Persiapan memasak besar juga terlihat seperti membuat opor dan sambal hati dan kentang. Persiapan tersebut dilakukan untuk menyambut pasca puasa yang nantinya akan disantap bersama sanak keluarga dan dihidangkan untuk tamu yang datang. 

Memasuki hari idul fitr ketika matahari muncul diimbangi hamparan sawah jogja,  masyarakat mulai mengayuh sepeda ataupun motor menuju Lapangan Mulyodadi untuk melaksanakan sholat id. Terlihat barisan  depan untuk laki-laki dan barisan belakang untuk perempuan dengan garis-garis kelurusan yang sudah dibuat oleh panitia. Takbir terus berkumandang hingga selesai sholat. Selepas dari lapangan, masyarakat Jetak menuju masjid untuk melaksanakan halal bi halal dan doa bersama menyambut bulan syawal. Pelataran masjid diwarnai oleh anak-anak yang membunyikan petasan seraya menambah suasana lebaran. 

Setelah dari masjid, masyarakat pulang menuju rumah masing-masing untuk melakukan halal bi halal bersama keluarga mereka, istilah lainnya yakni sungkeman. Pelaksanaan sungkeman dimulai dari memohon maaf kepada sesepuh atau tetua hingga yang muda, simbol ini menggambarkan unggah-ungguh yang masih dipegang oleh masyarakat jawa. Tingkah laku tersebut mengajarkan untuk saling menghormati dan menghargai antar manusia. Setelah melakukan sungkeman dilanjutkan makan bersama dengan menyantap menu khas lebaran opor ayam, sambal hati kentang dan ketupat. 

Setelah selesai acara kecil bersama keluarga, waktu menunjukan hari pertama lebaran. Masyarakat sudah mulai mengunjungi dari rumah satu ke rumah yang lain dalam skala desa (tetangga). Hal ini tidak terlepas dari interaksi keseharian mereka yang tidak dipungkiri ada kesalahan dalam tutur kata maupun tingkah laku, kehadiran hari idul fitr berusaha meleburkan segala kesalahan yang datang baika yang disengaja maupun tidak sengaja. Di lapangannya, salah satu anggota keluarga menyampaikan maksud dan tujuannya hadir bertamu dengan menggunakan bahasa krama halus. Melihat hal tersebut begitu menarik telinga untuk mendengarkan nada sungkeman.  

Penggunaan bahasa krama halus dikalangan masyarakat terlebih anak muda terhitung jarang sudah di telinga kita. Tidak terlepas dari zaman yang terus bekembang dengan akses informasi yang meluas, tidak dipungkiri budaya lama tergeser oleh budaya baru seperti pengguna bahasa beken atau bahasa gaul. Di sebagian kalangan anak muda, bahasa gaul lebih kekinian dan lebih asik untuk digunakan. Tidak salah menggunakan bahasa gaul, namun yang perlu diperhatikan tempat dan kepada siapa melafalkannya. Hal tersebut dilakukan untuk memunculkan rasa menghormati kepada yang lebih tua dari kita. 

Dalam melihat hal tersebut, sungkeman membentuk jati diri pemuda. Simbol berjabat tangan, penggunaan bahasa yang halus juga sopan, memulai dari usia yang lebih tua dari kita. Nilai-nilai yang ada dalam sungkeman mengajarkan kita pada suatu hal yang sarat makna akan sebuah budaya adiluhung. Dimulai dari hal kecil perkataan memiliki dampak juga pada perilaku. Perilaku yang tercermin menghargai dan menghormati satu sama lain menghantarkan pada gerbang kehidupan yang harmonis.

Usai menyampaikan maksud dan tujuan berkunjung, pemilik rumah mempersilahkan untuk mencicipi hidangan yang tersaji. Bumbu perbincangan tidak dilupakan karena hal ini dapat menghangatkan situasi, mulai dari bertanya kabar hingga lainnya. Sampai di penghujung pembicaraan, kunjungan dicukupkan karena ingin melanjutkan berkunjung ke rumah tetanga lainnya. Ada harapan yang terselip, semoga bisa bertemu kembali di lain waktu bagi mereka yang melakukan mudik.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun