Mohon tunggu...
Irham Andy Febrian
Irham Andy Febrian Mohon Tunggu... Mahasiswa Hukum Keluarga UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Seorang mahasiswa yang memiliki minat di bidang hukum

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Pemotongan Otomatis Zakat Penghasilan: Belajar dari Sistem Zakat Arab Saudi

9 Juli 2025   14:43 Diperbarui: 9 Juli 2025   14:43 21
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Zakat merupakan salah satu pilar Islam yang memiliki peran vital dalam menciptakan keadilan sosial dan distribusi kekayaan. Dalam praktiknya, zakat sering kali menghadapi tantangan dalam pengumpulan dan pendistribusiannya, khususnya zakat penghasilan  yang berasal dari gaji pegawai.

Zakat penghasilan dari gaji sebetulnya bukanlah hal yang baru. Banyak umat Muslim yang sudah paham apabila penghasilan mereka sudah mencapai nisab maka wajib dizakati. Namun, pada realitanya tidak semua orang ingat atau rutin membayar zakat penghasilan. Beberapa dari mereka mungkin memang belum paham caranya dan yang lain mungkin merasa repot ataupun belum terbiasa. Di tengah persoalan ini, ada satu pertanyaan penting yang muncul: mungkinkah zakat penghasilan dipotong langsung dari gaji, secara otomatis, seperti halnya pajak?

Kalau kita melihat ke Arab Saudi, pendekatan semacam ini bukan hal yang mustahil. Negara yang dikenal dengan hukum Islam sebagai fondasi hukumnya itu punya sistem zakat yang cukup terorganisir. Meskipun mereka tidak secara eksplisit memotong zakat dari gaji pegawai, sistem digital dan lembaga resmi seperti ZATCA (Zakat, Tax and Customs Authority) membuat proses pembayaran zakat terutama dari perusahaan dan bisnis menjadi lebih mudah, transparan, dan terpantau.

Di Arab Saudi, zakat bukan hanya soal ibadah pribadi. Ia sudah menjadi bagian dari sistem negara. Bahkan, lembaga bisnis wajib melaporkan kekayaan dan penghasilan mereka untuk penghitungan zakat. Pelaporannya pun serba digital. Hasilnya kepatuhan terhadap zakat jadi lebih tinggi, dan dana zakat bisa dimanfaatkan untuk mendukung program sosial dan ekonomi masyarakat.

Menerapkan Sistem Otomatisasi Zakat Penghasilan di Indonesia

Kondisi ini tentu jauh berbeda dengan di Indonesia. Padahal, Indonesia punya potensi zakat yang luar biasa besar. Data BAZNAS menyebutkan, potensi zakat nasional bisa tembus Rp 300 triliun per tahun. Sayangnya, realisasi pengumpulan zakat masih sangat kecil dibanding potensi tersebut. Salah satu alasannya yaitu belum adanya sistem yang memudahkan masyarakat, khususnya para pegawai, untuk menunaikan zakat secara otomatis dan teratur.

Di sinilah ide pemotongan zakat penghasilan langsung dari gaji menjadi relevan. Beberapa instansi pemerintah dan daerah sebenarnya sudah mulai menerapkan kebijakan ini. Misalnya, potongan zakat untuk Aparatur Sipil Negara (ASN) yang disalurkan ke BAZNAS. Tapi sejauh ini, langkah-langkah itu belum merata secara nasional. Padahal, jika diterapkan secara menyeluruh, sistem ini bisa menjadi terobosan penting dalam pengelolaan zakat di Indonesia.

Tentu saja, kebijakan seperti ini harus memperhatikan beberapa aspek. Pertama, perlunya transparansi lembaga pengelola zakat. Kedua, pentingnya edukasi dan literasi zakat agar masyarakat paham mengapa zakat mereka dipotong otomatis. Dan ketiga, dukungan regulasi yang memungkinkan pemotongan zakat dilakukan tanpa menimbulkan resistensi.

Pemotongan otomatis zakat gaji bukan soal memaksa, tapi justru memudahkan. Bagi sebagian orang, niat membayar zakat itu ada, tapi praktiknya sering tertunda atau terabaikan. Dengan sistem otomatis, zakat jadi lebih terjaga, dan yang paling penting: manfaatnya bisa langsung dirasakan oleh mereka yang membutuhkan.

Belajar dari Arab Saudi, pengelolaan zakat yang sistematis dan terintegrasi dapat meningkatkan efektivitas pemungutan serta distribusinya. Di Indonesia, peluang menerapkan pemotongan zakat penghasilan secara otomatis sangat terbuka, apalagi dengan dukungan teknologi informasi dan sistem keuangan modern. Namun, perlu sinergi kuat antara pemerintah, lembaga zakat, dan masyarakat untuk memastikan bahwa zakat bukan hanya kewajiban spiritual, tetapi juga instrumen sosial-ekonomi yang nyata.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun