Mohon tunggu...
Irfan Suparman
Irfan Suparman Mohon Tunggu... Penulis - Fresh Graduate of International Law

Seorang lulusan Hukum yang hobi membaca dan menulis. Topik yang biasa ditulis biasanya tentang Hukum, Politik, Ekonomi, Sains, Filsafat, Seni dan Sastra.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Tak Ada Kenangan di Kota Ini, Sebuah Lagu untuk Pulang dari Silampukau

31 Desember 2021   12:01 Diperbarui: 31 Desember 2021   12:10 383
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lagu Rantau (Sambat Omah) untuk anak rantau. Pixabay.com/Akbaranifsolo

Selamat datang kembali datang kembali di tulisan ke-2 aku. Masih harus konsisten menulis karena ini baru tulisan yang ke dua tentang hal-hal yang aku suka. Tulisan ini juga masih sama, tidak peduli siapa yang baca. Jadi untuk itu aku sangat bersemangat sekali karena hari ini aku akan menulis tentang lagu-lagu yang aku suka dan sering aku putar saat di tanah rantau.

Aku memulai hidup di tanah orang dengan tujuan mencari ilmu. Walaupun jaraknya cukup dekat, hanya 60KM dari tempat asalku. Terkadang perasaan rindu rumah tetap ada seberapa jauh jaraknya. Hanya lagu dari Silampukau yang sangat relate dengan perasaanku. Mungkin karena Silampukau cenderung membawakan lagu-lagu tentang Surabaya. Namun, ada satu lagu yang selalu aku putar berulang , yaitu Lagu Rantau (Sambat Omah)

Tulisan ini sama sekali tidak bermaksud mengintervensi pendengar atas tafsir lagu ini. Tulisan ini dibuat dalam rangka mewujudkan apresiasiku terhadap pencipta lagu ini. Dua seniman asal Surabaya. Mereka bersua karena kesukaan mereka terhadap musik. Jadilah band yang bernama Silampukau. Apresiasi setinggi-tingginya untuk Kharis Junandharu dan Eki Tresnowening.

Aku menyukai Album mereka yang berjudul Dosa, Kota & Kenangan. Dari album itulah Lagu Rantau (Sambat Omah) dapat tercipta. Liriknya penuh intrik dan bumbu realisme sosial. Aku tidak akan mengkaji ini dengan teori realisme sosial, sebab tulisan ini nantinya terlalu akademisi dan sukar untuk dipahami. Apalagi aku tidak peduli dengan siapa yang membaca, tapi aku meyakini tulisan aku akan dibaca. Oleh karena itu, aku tidak akan mengkaji Lagu Rantau (Sambat Omah) dengan perspektif realisme sosial.

Lagu Rantau (Sambat Omah) bukan sebuah lagu yang didengarkan berkali-kali baru dipahami maksud dari lirik-liriknya. Namun, lagu ini cocok untuk didengarkan berulang kali. Aku sering mendengarkannya di kampus, kost-an, dalam perjalanan menuju tanah rantau atau pulang. Aku merasa sangat dekat dengan lagu ini. Ada sebuah lirik yang paling aku sukai dan aku jadikan bio Instagram-ku. Berikut liriknya:

Sumpah aku ingin
Rumah untuk pulang

Lirik itu aku benar-benar rasakan saat aku sudah empat tahun di tanah perantauan. Apalah dayaku, target di kota rantau hanya empat tahun, karena sebuah hal yang belum selesai dan tidak bisa aku tinggalkan. Aku harus melebihi target itu. Bukan berarti aku akan menjadi gagal, tapi rasa pesismis itu datang kian pergi seperti angin. Lagu ini berhasil menepis pesimis itu dan aku meyakini dalam hatiku. Seberapa jauh aku melangkah dan sebarapa lama aku menetap dalam sebuah pertikaian, aku masih merindukan pulang. Rasa rindu itulah yang membuat aku sadar bahwa aku masih memiliki tanah untuk pulang.

Setelah mendengarkan lagu ini berjam-jam, ternyata pulang bukan jalan akhir dari perjelanan. Ketika sedang dilanda ketakutan atas kegagalan di kota orang, aku selalu mengingat ada rumah yang memberi semangat untuk tetap kuat.

Sampai detik ini aku masih mendengarkan lagu itu. Seterusnya akan masuk ketelingaku. Aku tidak akan menuntut Silampukau untuk membut lagu-lagu lagi, sebab satu lagu ini tidak habis didengarkan.

Sekali waktu aku memikirkan tentang bukan diriku. Ini di luar dari diriku. Mungkin jaraknya sangat jauh. Aku memikirkan mereka yang rumahnya di gusur. Mereka yang tidak memiliki rumah untuk pulang. Bagaimana perasaanya ketika di kejauhan sana mendapat kabar, bahwa kampung halamannya menjadi sebuah kebun sawit atau jadi pabrik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun