Mohon tunggu...
IrfanPras
IrfanPras Mohon Tunggu... Freelancer - Narablog

Dilarang memuat ulang artikel untuk komersial. Memuat ulang artikel untuk kebutuhan Fair Use diperbolehkan.

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Prediksi: Inggris Tak Akan Melangkah Jauh di Euro 2020

7 Juni 2021   10:01 Diperbarui: 11 Juni 2021   08:12 779
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Skuad timnas Inggris di Euro 2020. | foto: Sebastian Frej/MB Media/Getty Images via theathletic.com

Ini ada hubungannya dengan masalah kronis nomor dua, media yang jahat. Sudah bukan rahasia lagi kalau persaingan atau rivalitas antarklub dan pemain di Liga Primer Inggris sangatlah tinggi. Kalau Anda ingat, dulu Steven Gerrard dan Frank Lampard pernah mengakui kalau rivalitas di liga terbawa ke tim nasional.

Siapa yang menyebabkan hal itu? Ya tentu saja media-media Inggris yang kita semua sudah tahu bagaimana jahatnya mereka. Media Inggris suka sekali menabur bara api dalam rivalitas antarklub Inggris. Misal, MU dengan Liverpool atau Arsenal dengan Chelsea. Rivalitas mereka terus disorot secara non-stop dan kadang dibumbui hoax.

Belum lagi, media Inggris yang kadang memperlakukan para pemainnya sendiri bak selebritis. Jadi, gosip-gosip remeh yang tak ada hubungannya dengan sepak bola juga jadi berita utama. Pokoknya, apa saja bisa jadi berita bagi media Inggris. Imbasnya, iklim sepak bola mereka tak sehat.

Ingat pernyataan mantan ketua PSSI? "Kalau medianya baik, timnasnya baik" Itu benar lho, kawan! Tengok timnas Prancis. Mereka punya pusat pelatihan bernama Clairefontaine. Jauh dari pemukiman, fasilitasnya lengkap, mulai dari sarana latihan sampai hiburan, dan yang terpenting tidak semua media bisa meliput. Imbasnya, Prancis bisa fokus saat TC. Hasilnya, mereka menjadi runner-up Piala Dunia sekali, runner-up Piala Eropa sekali, serta juara dunia 2 kali dan juara Piala Eropa sekali hanya dalam waktu 2 dekade.

Rivalitas yang terus dipupuk dan ditaburi bara api akan berimbas buruk dalam hubungan antarpemain. Inggris bisa belajar dari Spanyol. Rivalitas Barcelona dan Real Madrid luar biasa panas dan kerap digoreng media. Namun, saat di timnas, kedua pemain dari klub tersebut bisa menyatu. Apa kuncinya? Balik lagi soal pelatih.

Tak bisa dipungkiri kalau pemain Inggris punya ego yang terlampau tinggi, imbas dari persaingan tidak sehat di liga yang kerap digoreng media. Mereka butuh staf pelatih di tim nasional yang mempu menyatukan pemain dengan ego tinggi itu. Menyatukan dan membuat nyaman ruang ganti adalah hal dasar sebelum bermimpi meraih prestasi.

Di Eropa, Spanyol adalah contohnya dan di Amerika Selatan ada Brasil. Dalam kurun waktu 1994-2004, Negeri Samba juara Piala Dunia 2 kali, Copa America 3 kali, Piala Konfederasi sekali, dan Gold Cup 2 kali. Kala itu, mereka punya Ronaldo, Adriano, Ronaldinho, Rivaldo, dan Kaka dalam satu tim. Seluruhnya dikenal doyan menggiring bola dan mencetak gol dengan cantik. Salut dengan Carlos Alberto Parreira dan Luiz Felipe Scolari yang berhasil menyatukan mereka dalam sebuah tim yang solid dan tangguh.

Soal seperti ini ada hubungannya dengan masalah kronis ketiga. Staf pelatih Inggris harusnya tegas dan tidak mencoba menyenangkan semua pihak. Bayangkan saja, di Euro 2020, Southgate mau membawa 4 bek kanan sekaligus. Mubazir! Juara bertahan Portugal dan juara Piala Dunia Prancis cuma membawa 2 bek kanan murni. Italia juga, begitu pula Jerman. Bahkan, Spanyol cuma membawa 1 bek kanan murni.

Tak semua pemain top bisa diangkut. Itu adalah sebuah dasar saat memilih pemain ke dalam timnas dan sepertinya Southgate tak memahami hal itu. Lagi-lagi dia harus belajar dari Joachim Low atau Didier Deschamps.

Di Piala Dunia 2014, Low kehilangan Mario Gomez yang cedera. Striker mereka tinggal Miroslav Klose yang sudah uzur dan Klose pula yang akhirnya dibawa. Jerman cuma membawa 1 striker murni saat itu. Padahal, di liga mereka punya Stefan Kiessling. Low dikritik, tapi dia tutup kuping sampai akhirnya semua bersuka cita saat Der Panzer mengangkat trofi Piala Dunia di Brasil.

Deschamps di Piala Dunia 2018 juga sama. Mereka punya Karim Benzem, Bafetimbi Gomis, sampai Alexandre Lacazette. Tapi Deschamps lebih memilih Olivier Giroud yang musim itu biasa-biasa saja. Sama seperti Jerman 2014, semua akhirnya bersuka cita di akhir turnamen.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun