Alasan utamanya jelas karena kita tak tahu dasar atau kriteria apa yang mereka pakai untuk menilai performa seorang pemain. Alasan berikutnya, sangat tidak adil membandingkan dua pemain yang berposisi berbeda dengan data pembanding yang sama.
Begini contohnya. Andaikan laga MU vs City berakhir 3-0 untuk kemenangan Setan Merah. Ketiga gol MU kebetulan dicetak satu pemain, yaitu Marcus Rashford dan kebetulan pula seluruh gol Rashford tercipta berkat asis Bruno Fernandes.
Nah, perdebatan pasti akan terjadi, siapa yang layak dianugerahi Man of The Match? Rashford, Bruno, atau malah De Gea yang mencatat nirbobol?
Perdebatan sangat mungkin terjadi. Menilik dari kontribusinya, tanpa trigol Rashford, MU tidak akan menang telak. Namun, Rashford tidak akan mencetak 3 gol tersebut tanpa asis Bruno. Sementara di lini belakang, David de Gea tampil apik dan menjaga gawangnya tetap perawan.
Bila dilakukan voting sekalipun, pasti ada yang memilih Rashford, Bruno, atau De Gea. Mustahil salah satu dari ketiga pemain tersebut tidak ada pemilihnya. Hal ini menunjukkan bahwa akan selalu ada unsur subjektivitas dalam pemilihan pemain terbaik.
Begitu pula dengan pemberian rating pemain. Di samping dinilai secara objektif, pasti terdapat pula penilaian subjektif. Misalnya begini, seorang bek tampil bagus dan secara heroik mencetak gol kemenangan, tapi sebelum itu dia bikin gol bunuh diri. Sebaik apapun statisitknya, bek tersebut sangat mungkin dinilai lebih rendah ketimbang pemain lain yang tampil biasa saja tanpa bikin satupun kesalahan. Â Â Â
Contoh terbaru ada di rating pemain RB Leipzig vs Liverpool dalam laga 16 besar Liga Champions. Laga tersebut berkesudahan 2-0 untuk kemenangan Liverpool, di mana gol dicetak oleh Mo Salah dan Sadio Mane.
Whoscored memilih Sadio Mane sebagai MOTM. Dengan rating 8.1, Mane mengungguli Mo Salah (7,5) sebagai pemain dengan rating terbaik kedua. Namun, Sofascore punya pendapat lain. Sofascore justru memberi rating tertingginya kepada Alexander-Arnold (7,8), baru setelah itu Sadio Mane (7,7).
Nah, ini menariknya. Di akhir laga fase gugur Liga Champions, UEFA selalu memilih Player of The Match. Dan, pemain terbaik yang dipilih UEFA di laga tersebut adalah Mo Salah. Berbeda dengan pilihan UEFA Technical Observer, pihak Liverpool memilih Ozan Kabak sebagai Man of The MatchI. Hmm... mungkin biar berbeda dan saling berbagi ya.
Akan lebih adil menilai seorang pemain berdasarkan posisi dan perannya. Striker ya dinilai sesuai perannya sebagai juru gedor, Bek dinilai dari kemampuannya bertahan, dan seterusnya. Adapun pemilihan MVP, POTM, MOTM, atau pemain terbaik tidak bisa hanya dilihat dari sisi objektifnya saja, tapi juga dari sisi subjektif.
Coba bayangkan bila rating pemain sudah digunakan sejak zaman Roy Keane dan Gennaro Gattuso bermain. Dua pemain tersebut kemungkinan besar selalu mendapat rating rendah karena banyaknya pelanggaran yang mereka buat. Ya mau bagaimana lagi, sudah tugas keduanya sebagai destroyer alias perusak ritme lawan. Nah, itulah yang saya maksud dengan menilai pemain sesuai dengan posisi dan perannya. Â Â
Jadi, masih mau menelan mentah-mentah rating pemain yang disajikan situs penyedia statistik sepak bola?