Mohon tunggu...
IrfanPras
IrfanPras Mohon Tunggu... Freelancer - Narablog

Dilarang memuat ulang artikel untuk komersial. Memuat ulang artikel untuk kebutuhan Fair Use diperbolehkan.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Surat Terbuka untuk Kawanku Mahasiswa Psikologi

23 Oktober 2020   08:55 Diperbarui: 24 Oktober 2020   16:33 1006
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Image by Holger Langmaier from Pixabay

Akhirnya pula, persepsi saya terhadap psikolog klinis jadi buruk. Di mata saya, psikolog klinis itu sok tahu, lha wong pas jadi mahasiswa saja dikit-dikit menilai orang lain dan mendiagnosis orang yang tidak Ia kenal.

Jalan takdir Yang Maha Kuasa sungguh sulit ditebak setelah itu. Saya dipaksa mengenali apa kesehatan mental dan sialnya saya menjadi cinta dengan topik ini.

Saya pun belajar dan berkenalan dengan isu kesehatan mental di Indonesia. Sialnya lagi, referensi saya berasal dari penulis, dosen, dan psikolog klinis yang dulunya pernah mengalami gangguan kesehatan mental.

Sungguh jalan takdir yang kejam, dimana saya jadi punya persepsi bahwa seorang psikolog hebat pasti dulunya pernah "gila", haha. Seiring berjalannya waktu hingga pandemi virus corona menghantam, Yang Maha Kuasa meneruskan guratan takdirnya-Nya.

Pada akhirnya, saya menjadi terbuka bahwa self diagnose dan diagnosis sembarangan adalah perbuatan yang salah dan melanggar kode etik. Seorang psikolog klinis/psikiater tidak akan melakukan itu (seharusnya).

Jadi jelas bahwa apa yang dilakukan mahasiswa psikologi yang belum punya gelar itu adalah salah besar! Bila oknum itu bisa dengan santainya melabeli orang lain, maka bolehlah kita melabeli mereka "sok tau", "sok jago" Siap Bang Jago!

Untung baru persepsi, sebab dampak terparah dari tindakan tebak-tebakan diagnosis psikologi seperti apa yang pernah saya alami adalah trauma. Trauma untuk curhat, trauma mendapat penilaian positif, hingga trauma bertemu psikolog.

Bayangkan bila seseorang pernah mendapat tebakan diagnosis asal-asalan hingga diberi label mengalami gangguan tanpa adanya tujuan treatment. Parahnya, apabila ia di kemudian hari mengalami gangguan mental tanpa ia sadari dan membuatnya stress atau depresi (semoga tidak), tapi tidak mendapat pertolongan karena trauma mendapat diagnosis ugal-ugalan.

Yang rugi siapa? Ya pasien, ya dunia psikologi Indonesia. Bukankah kepedulian masyarakat akan kesehatan mental sedang naik-naiknya? Masa iya, semua itu dirusak dengan tindakan self diagnose suka-suka oleh oknum kurang ajar.

Di bulan kesehatan mental ini, saya ingin berpesan kepada kawan-kawan mahasiswa psikologi. Berhentilah bermain-main dengan penilaian sok tahu anda! Saya tak tahu apakah ini hanya kasus di kampus saya atau juga terjadi di kampus lain, tapi semoga saja tidak ya.

Akhir kata, mari kita saling menjaga kesehatan mental kita dan orang-orang di sekitar kita. Jangan malu untuk sekadar curhat dan bila perlu datang saja ke psikolog atau psikiater bila memang memerlukan bantuan profesional.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun