Mohon tunggu...
Irfan Ansori
Irfan Ansori Mohon Tunggu... Guru - Perbanyak Jejak Digital Kebaikan

Penulis | Pembelajar | Penyebar Kebaikan

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Evie Effendi dan Masa Depan Penodaan Agama

29 Agustus 2018   19:55 Diperbarui: 29 Agustus 2018   20:09 816
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Oleh: Irfan Ansori (Pendakwah, Admin di tafsirbilhikmah.dotcom)

Kami tidak menyangka kasus ust Evie Effendi---selanjutnya disebut ust Evi---bisa sampai ke rahan hukum. Tentunya kami menghargai mereka yang mengadukan, utamanya atas dasar kemauan membela kehormatan nabi Muhammad SAW. Meski begitu, ada beberapa catatan yang harus diperhatikan.

Sejak bergulirnya kasus penodaan agama yang dilakukan oleh Basuki Tjahaja Purnama (BTP), masyarakat kita menjadi sangat dekat dengan kata "penodaan" atau "penistaan" agama. Dengan bergulirnya tahun politik saat ini, masih ada arus masyarakat yang membawa narasi itu untuk mendiskreditkan lawan politik.

Kami pun mulai mempelajari pasal tersebut, dari aspek yuresprudensi, legal-formal, sampai pada upaya judicial review. Meski ada beberapa hal positif-negatif yang hadir dari pasal tersebut, kami sepakat berkesimpulan pasal ini adalah pasal karet. Sekali lagi, pasal karet.

Pasal karet merupakan istilah bagi pasal yang mengandung unsur subjektifitas hukum tinggi. Pasal yang tidak memiliki tolok ukur yang jelas sehingga mampu menjerat siapa saja. Pasal yang bisa dipergunakan oleh lawan---baik politik maupun berbagai kegiatan apapun, agar mampu mempindanakan seseorang.

Dalam masyarakat yang beradab, kita bisa menduga pasal ini tidak akan menjadi masalah. Namun, masyarakat dengan tingkat moralitas rendah, pasal karet mampu menimbulkan unsur permusuhan bahkan terpecah belahnya sebuah bangsa. Mengerikan!

Apalagi, perkembangan kasus penodaan agama dewasa ini diperluas dengan pasal ujaran kebencian dan Undang-undang Informasi Teknologi dan Informasi (UU-ITE). Ancaman pidana terakumulasi maksimal lima (5) tahun penjara. Namun, sebaran pasal tersebut tetap ditentukan oleh keputusan dari dari pasal penodaan agama.

Berikut pasal penodaan agama:

Pasal 156a KUHP merupakan isi dari Pasal 4 Penetapan Presiden Nomor 1/PNPS Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama.

Berikut ini bunyi pasal 156 a KUHP:

Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan:
a. yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia;

Kehadiran pasal ini tidak lepas dari warisan hukum Belanda, kemudian atas desakan ormas Islam saat itu, pasal ini akhirnya diundangkan oleh Presiden Soekarno. Maka, perjalanan pasal ini cukup pelik dan sangat panjang, tidak hanya sebatas kasus Ahok semata.

Kasus "Unik"

Lalu mengapa kasus ust Evie wajib menjadi perhatian? Hal ini tidak lepas dari aspek keunikannya, bahwa yang diduga melakukan penodaan agama adalah seorang tokoh agama. Ya, tokoh agama.

Sebelum kita membahas "keustadzan" Evie Effendi, kasus penodaan agama (pada agama Islam) pada umumnya ditujukan kepada arus Islam yang terang-terangan "menyimpang". Contoh mengaku nabi, malaikat, meyakini adanya nabi setelah Muhammad SAW, serta penyimpangan pokok agama lainnya. Selain itu, dilakukan oleh penganut agama lain.

Bagaimana dengan pendapat keliru ust. Evie tentang kesesatan nabi Muhammad? Disinilah unsur subjektifitas pasal karet diuji.

Sebelum membahas konten ceramahnya, saya memiliki pengamatan menarik tentang kasus-kasus pasal karet. Pidana pasal karet bergantung pada dua hal: pertama, kepada seberapa kuat posisi/pengaruh kita; kedua, seberapa besar efek yang ditimbulkan.

Maksudnya begini. Baik kita berada di oposisi maupun pemerintah, jika anda memiliki loby yang kuat serta efek yang cukup kecil, maka anda mampu lepas dari jeratan pasal karet. Jika posisi anda lemah, tak peduli anda berada pada pihak mana, proses hukum anda pasti dilanjutkan.

Contoh sederhana begini, kasus Jonru dan Eggi Sudjana, keduan "tokoh" oposisi ini diadukan dengan pasal karet. Namun nasib keduanya berbeda. Jonru diproses, bahkan sampai vonis, namun tidak bagi Eggi Sudjana.

Juga pada kasus pendukung Jokowi. Seorang dokter biasa yang dianggap "menghina ulama" diproses, namun tidak bagi Rachmawati Soekarnoputri. Meski dalam kasus Ahok tetap diproses karena faktor efek besar yang ditimbulkan.

Maka, jika kita menghadapi kasus pasal karet: penekanan pertama, seberapa kuat anda? Seberapa banyak yang merasa terganggu?

Karenanya ada istilah bagi pasal penodaan agama: "menjaga perasaan ummat." Subjektifitas penegak hukum sangat bergantung pada efek yang ditimbulkan serta lobby terhadap kasus tersebut.

Segmentasi Arus

Dilansir dari tirto.id, laporan dari elemen masyarakat terkait dengan Ust Evie sekaligus merupakan kekhawatiran munculnya gejala konservatisme agama, yakni intoleransi.

Sebagai sesama pengikut dari gerakan Islam mainstream, saya pun mengerti kekhawatiran atas gejala arus baru Islam yang nirkonteks keIndonesiaan. Tapi sebenarnya, tidak semua perlu kita khawatirkan, karena sebagian lain justru melengkapi aspek dakwah yang selama ini belum tergarap oleh arus Islam mainstream.

Sebagai contoh, kehadiran gerakan Pemuda Hijrah (PH) di Bandung. Gerakan ini mampu mendobrak arus budaya kebebasan serta nilai-nilai barat. Kampanye tentang hijrah, segera menikah, serta berbagai upaya meredefinisi kata "gaul" agar lebih dekat kepada nilai Islam.

Bukan saja sukses pada arus pelajar, gerakan pemuda hijrah pun sukses merangsek pada akar dasar kenakalan pemuda: geng motor, brig*s, slank*rs, serta arus besar supporter sepakbola. Sebuah prestasi yang wajib disambut dengan oleh arus mainstream. (lebih lengkap bisa baca tulisan saya sebelumnya).

Dan, ust. Evie lahir dari arus ini. Bisa dikatakan, formasi pemuda Hijrah berawal dari ustad Hanan Attaki adalah ideolog. Kemudian ust. Evie menjadi manifestasi strategi dakwah PH yang sukses merangkul kaum pemuda marginal. Bisa anda lihat sendiri pada pelbagai akun sosial serta channel youtube-nya.

Sebuah hal yang tentunya jauh dari upaya penyebaran intoleransi. Meski secara amaliyah, ust Evie lebih dekat kepada ormas Persatuan Islam (Persis), tetapi masih jauh dari koridor kekhawatiran intoleransi.

Sekali lagi, fenomena arus baru Islam ust Evie justru yang wajib kita rangkul. Hal berbeda dari arus baru pemuda muslim yang rajin mengkampanyekan hal-hal politis, serta berkeyakinan kuat untuk mengganti Negara Indonesia. Inilah yang wajib kita khawatirkan (baca: diluruskan).

Efek dari kasus

Jika kasus ini dilanjutkan, pertama, kita khawatir gerakan pemuda hijrah yang digagasnya semakin terbenam. Seperti yang diposting pada instagram Panglima/Drigen Viking (komunitas supporter Persib), Yana Umar, saat ini mereka sangat merindukan Evie Effendi. Karena dialah yang membawa arus supporter terbesar di Indonesia ini menjadi lebih mendekati budaya Islam. Evie effendi adalah penceramah di ulang tahun Persib yang digelar di stadion sidolig saat itu.

Kami pun merasakan hal ini, karena kami pun bagian dari supporter fanatik Persib yang banyak memfollow akun-akun fanbase Persib.

Maka secara logika, apa mungkin ust Evie benar-benar menganggap sesat, tokoh yang dia perkenalkan kepada para pemuda untuk dicontoh? Apakah kekeliruan dalam penafsiran (yang kemudian diakuinya) merupakan penodaan agama? Tapi, kami pun sepakat ust Evie keliru menafisrkan qs Adh-Dluha: 7, meski tidak meyakini berniat menodai agama.

Sebagai pribadi, saya sangat meyakini apa yang dialami oleh ust Evie merupakan slip of the tounge: keseleo lidah. Karena berdasarkan pertimbangan logis pun sulit diterima.

Untuk hal ini, saya yakin banyak ust dari Pemuda Hijrah yang bisa meng-cover tugas yang ditinggalkan oleh ust Evie.

Masa Depan Penodaan Agama

Tapi, yang lebih saya khawatirkan adalah pasca kasus ini. Karena masa depan kasus penodaan agama akan semakin menyeramkan, jika kasus ini dilanjutkan. Mengapa?

Begini penjelasannya.  Harus diakui, Nahdlatul Ulama (NU) masih merupakan arus utama Islam terbesar di Indonesia. Tanpa harus merasa ada persaingan, saya meyakini fragmentasi arus Islam ini merupakan anugerah dari Tuhan.

Dan, budaya NU yang saya kenal---baik dari hasil mondok saya beberapa tahun di pondok NU serta mendengar penceramah terkenalnya---adalah sering mengungkapkan guyonan. Dari tema perilaku masyarakat sampai kepada pada mempersonifikasikan perilaku Tuhan. Tentang guyonan ketuhanan, dari yang bisa saya "pahami" tingkat nyeleneh nya sampai pada tingkat nyeleneh yang "kontroversial". Semua ini pun dinikmati jamaah, tak pernah menjadi masalah bagi saya.

Tapi, mari kita renungkan sejenak.

Rata-rata kasus pengaduan akan penodaan agama dewasa ini, terjadi melalui efek media sosial. Kejadian disadari adanya konten penodaan agama pada ceramah seseorang, bisa berlangsung lama, bisa juga sebentar.

Bahkan selalu saja kejadiannya: pada saat ceramah di tempat, konten tersebut tidak bermasalah. Bahkan terkesan guyonan. Tapi setelah beberapa bulan di-upload ke media sosial, justru menjadi awal masalah. Artinya, ada teks dan konteks yang tercerabut. Semua ini ada karena hadirnya media sosial (dalam hal ini youtube kami masukkan pada kategori ini).

Hal inilahyang akan menjadi akar masalah, terutama dalam konteks pembuktian hukum. Seperti pada kasus Ahok, orang pulau seribu tidak merasa dilecehkan agamanya, saat Ahok berpidato disana (ini terungkap di persidangan). Tapi berselang beberapa hari, setelah ada prolog penodaan agama dari pembaca, akhirnya keluar sikap keagamaan MUI terkait hal ini. Sekali lagi, ini dalam konteks fakta pembuktian hukum di persidangan. Bukan soal bela membela seseorang.

Karena akhirnya, pada kasus ust Evie pun (jika lanjut ke persidangan) akan mengalami hal yang sama. Apalagi, kejadian ini berselang lama beberapa bulan. Para jamaah di masjid tersebut, tidak menyadari hal tersebut penodaan agama, karena mereka tahu selain ust Evie tidak mungkin meyakini nabi sesat, suasana pada pengjian tersebut santai serta tidak memiliki motif tertentu.

Hanya setelah diupload, kemudian ditonton oleh orang lain, pada rentang waktu yang lain, disadarilah ada unsur penodaan agama disini. Setelah empat bulan. Bayangkan.

Cabut Laporan

Coba bayangkan jika ustadz mampu dikenakan pasal penodaan agama. Bagaimana dengan berbagai ceramah yang mengandung unsur "guyonan"  Ketuhanan yang biasa dilakukan?

Apakah selama ini, ceramah tersebut dianggap tidak bermasalah karena memang tidak/belum diupload? Apakah setelah diupload, seorang viewers suatu saat pasti akan menyadari penodaan agama, lalu mengedit potongan kemudian diviralkan? Akan ada lagi elemen masyarakat (atas nama pembelaan agama) melaporkan ke polisi? Polisi pun wajib memproses langsung, karena ada yurisprudensi dari kasus ust Evie Effendi?

BAYANGKAN! Berapa ust dan Kyai yang akan menjadi korban pasal ini? Meskipun tetap saya meyakini, pemakaian pasal karet adalah tergantung seberapa kuat kamu. Kalau memang yang diadukan punya backing kuat, pasti tidak akan diproses. Juga melihat efek yang ditimbulkan.

Tidakkah kita membayangkan kesana?

Sekali lagi, saya benar-benar meyakini pemrosesan perkara ust. Evie akan menentukan masa depan kasus penodaan agama di Indonesia. Untung saja, kasus ini tidak berkaitan dengan rahan politis sehingga tidak booming seperti kasus Ahok. Oleh karenanya, saya harap para pihak bersikap bijak terhadap kasus ini, dengan mencabut laporannya. Wallau alam bissawab.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun