Setiap kali lagu kebangsaan Indonesia Raya berkumandang, hati rasanya bergetar. Setiap kata dan setiap alunan nada membawa pada keikhlasan doa untuk bangsa. Itulah yang selalu terjadi setiap kali mendengar Indonesia Raya.
Namun akhir-akhir ini, setiap melantunkan lagu kebangsaan -- entah saat acara resmi, sesaat sebelum memulai sesi _training_, atau misalnya saat dinyanyikan di dalam misa di Gereja pada 17 Agustus 2025 lalu -- rasanya begitu _choking_, tersendat menahan tangis. Andai bukan di tempat umum, mungkin air mata sudah berderai.
Mengapa demikian? Bukankah setiap orang yang lahir di negeri ini pasti memiliki keterikatan batin dan cinta yang tak berbatas? Bukankah setiap orang yang lahir di negeri ini pasti ingin hidup bahagia di tanah kelahirannya sendiri atau setidaknya bangga menjadi bagian dari negeri?
Memang, batasan kebahagiaan setiap orang berbeda-beda, sama halnya dengan kebutuhan yang berbeda-beda pula. Namun pertanyaan yang mengganggu adalah: apa yang dilakukan manusia saat kebahagiaannya terusik? Atau lebih dalam lagi, apa yang terjadi dengan seseorang bila kebahagiaannya tak kunjung tercapai?
Negeri ini mau dibawa kemana?
Berdiskusi dengan seorang sahabat secara rasional pun tak mengurungkan niat untuk tetap ingin "kabur" saja, seperti gaung akhir-akhir ini. Diskusi kami sampai pada titik di mana kami sama-sama berpikir: jika semua orang menjadi apatis, bagaimana jika negeri ini sampai jatuh ke tangan yang salah? Negeri ini begitu kaya akan sumber daya alam, namun kaya juga akan keserakahannya.
Aksi anarkis, demo, mahasiswa yang turun ke jalan, sikap keras beropini tegas melalui media sosial -- semua itu adalah bentuk dari manusia yang merasa terampas haknya, bentuk dari harapan yang terus tertunda, dan terutama wajah dari kegelisahan kolektif.
Titiknya sampai dimana?
Beberapa jam yang lalu, bangsa kita telah menyaksikan bersama-sama nyawa melayang, dan mungkin bahkan kita takkan pernah tahu jawaban dan pelaku sebenarnya. Seperti kita sudah terbiasa dengan hal-hal yang selalu mengambang, tanpa kejelasan.
Memberikan teladan dan menjadi contoh memang bukanlah hal mudah. Sama sekali tidak mudah. Namun bukankah kefasikan dan kesombongan justru sesuatu yang seharusnya bisa diredam ketika seseorang sudah duduk di pucuk jabatan? Bukankah itu awal mula tujuan sebuah _assessment_ -- supaya setiap individu yang akan menduduki jabatan tahu apa yang dimiliki dan belum dimilikinya?
Nyatanya, lama-kelamaan jarak antara si kaya dan si miskin semakin lebar jurangnya, sehingga kini keberanian rakyat kembali mengusung wajah kegelisahan yang tak tertahankan.
Anthony Giddens, mantan anggota parlemen Inggris dan pakar sosiologi dunia, mempelajari fenomena ini melalui teori strukturasi. Giddens menjelaskan bagaimana struktur sosial dan tindakan individu saling mempengaruhi dan membentuk masyarakat, dan hal ini bisa terus-menerus berubah. Teorinya memberikan secercah harapan bahwa perubahan memang mungkin terjadi.