Akhir-akhir ini, persaingan penjualan makanan dan aneka hidangan pencuci mulut melalui berbagai platform media sosial memang begitu marak. Dari harga yang sangat terjangkau hingga yang fantastis. Ada yang sukses dan laris manis, ada pula yang mungkin "memble" melihat rumput tetangga lebih hijau. Lantas, apa yang membedakan semua ini? Bagaimana kita memahami dinamika persaingan yang sedang terjadi?
Menjamurnya aneka produk yang memanjakan lidah sebenarnya menjadi hiburan dari berbagai perspektif.
Konsumen Indonesia dimanjakan dengan pilihan yang begitu beragam. Dari sisi ekonomi, aktivitas ini membantu dunia kuliner Indonesia menjadi lebih sehat dan dinamis. Dari sisi daya beli, rentang harga yang beragam memungkinkan setiap kalangan menemukan pilihan sesuai kemampuan mereka.
Yang menarik bagi saya adalah bagaimana ragam "persaingan" justru muncul di ruang-ruang yang tidak terduga. Para content creator, influencer, selebgram, hingga public figure ikut berkomentar dan memberikan ulasan.
Fenomena ini bisa menjadi keuntungan, bisa pula menjadi bumerang. Namun saya lebih melihatnya sebagai bentuk _indirect_ marketing yang sangat efektif di era digital ini.
Kita sedang menyaksikan apa yang dalam ilmu ekonomi disebut persaingan sempurna dalam bentuk pasar digital yang nyata.
Teori ekonomi Pasar Bebas (free market) menjelaskan bahwa persaingan sempurna mengacu pada situasi pasar ideal, di mana ada banyak penjual dan pembeli, sehingga menciptakan persaingan yang sehat dan harga yang cenderung stabil. Namun, apakah yang terjadi di media sosial benar-benar mencerminkan persaingan sempurna?
Yang menarik adalah bagaimana algoritma media sosial mendukung fenomena ini. Jika akhir-akhir ini konten makanan menjadi salah satu pencarian Anda, maka secara otomatis konten-konten serupa akan disuguhkan di feed Anda.
Google Analytics memungkinkan para penjual memahami bagaimana pengunjung berinteraksi dengan konten mereka, mengukur efektivitas kampanye pemasaran dan mendapatkan wawasan berharga untuk meningkatkan kinerja bisnis.
Satu produk bisa dikomentari oleh puluhan content creator atau selebgram yang berbeda.
Bagaimana awal mula semua ini? Apakah hal tersebut benar-benar menopang persaingan sehat, ataukah hanya sekedar "julid" atau pencitraan semata?