Gara-gara heboh donor ginjal yang bermasalah, saya tergerak menulis artikel, “Saya Pernah Mendaftar Menjadi Pendonor Jantung”. Untuk artikel itu, saya sungguh sangat berharap bisa menarik pengunjung sebanyak-banyaknya. Mengapa? Ya, agar apa yang saya informasikan itu diketahui banyak orang, demikian juga pada pihak-pihak yang berwenang mengurus urusan donor organ.
Komentar dari rekan-rekan Kompasianer, maupun dari sahabat-sahabat saya melalui WhatsApp, sangat positif. Namun belum ada yang secara tegas menyatakan mau berpartisipasi. Kebanyakan menyatakan bahwa mereka hanya berani menjadi pendonor darah PMI.
Nah, kok begitu?! Padahal menurut saya kalau sudah berani mendonor darah ke PMI, menjadi pendonor organ tubuh jauh lebih tidak menakutkan. Karena bila saat itu tiba (berpulang ke Sang Khalik), organ tubuh kita sudah tidak kita butuhkan. Kita pun tidak akan merasakan apa-apa lagi. Jadi kenapa harus takut?
Yang bakalan agak “repot”, adalah keluarga yang kita tinggalkan. Bukan kita lagi. Iya, kan ?! Karena itu, kita harus minta izin dari mereka.
Dengan semakin majunya ilmu kedokteran dan kesadaran untuk hidup sehat, maka usia harapan hidup kita pun bertambah. Artinya, semakin sulit mendapat donor. Karena itu upaya mencari pendonor organ tubuh sudah waktunya digalakkan. Hendaknya, masyarakat diberi informasi seluas-luasnya. Tempat pendaftaran, syarat-syarat dan lain-lain yang perlu diketahui.
Yang tidak kalah penting, pendonor yang sudah tercatat jangan diabaikan. Harus selalu di update datanya dan bila perlu, adakan pertemuan rutin sesuai kebutuhan.
Syukur, pengunjung artikel, “Saya Pernah Mendaftar Menjadi Pendonor Jantung” sudah lumayan banyak, tentu ini untuk ukuran saya, loh. Hal ini tidak terlepas dari kebaikan Admin yang memberi apresiasi Headline. Hehehe…, makasih.