Mohon tunggu...
Iren Aprilia
Iren Aprilia Mohon Tunggu... Mahasiswa

Saya suka berenang, jalan ke wisata alam, suka masak

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Menjaga Air, Menjaga Masa Depan

30 September 2025   18:05 Diperbarui: 30 September 2025   18:05 19
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Air sering disebut sebagai “sumber kehidupan”, dan ungkapan ini bukan sekadar pepatah, melainkan sebuah kenyataan ilmiah dan sosial. Tidak ada makhluk hidup yang dapat bertahan tanpa air. Tubuh manusia terdiri atas 60–70% air, tumbuhan membutuhkan air untuk fotosintesis, sementara hewan memerlukan air untuk metabolisme dan kelangsungan hidupnya (Gleick, 2014). Tanpa air, ekosistem di bumi akan runtuh. Oleh karena itu, air dapat dipandang sebagai hadiah terbesar yang diberikan alam untuk manusia dan seluruh makhluk hidup.

Sayangnya, meskipun manusia sudah sangat memahami pentingnya air, banyak orang masih memperlakukannya dengan sembrono. Sungai dijadikan tempat pembuangan sampah, limbah industri dibuang tanpa pengolahan, dan kawasan resapan air diubah menjadi kawasan pemukiman atau industri (Wardhana, 2004). Praktik semacam ini membuat air bersih semakin sulit diperoleh. Ironisnya, kesadaran akan pentingnya air biasanya baru muncul ketika terjadi bencana, seperti kekeringan panjang, banjir bandang, atau krisis air bersih di wilayah perkotaan.

Dalam kehidupan sehari-hari, air hadir di hampir semua aktivitas manusia. Kita membutuhkan air untuk minum, mandi, mencuci, memasak, hingga mengairi sawah. Aktivitas pertanian yang menjadi penopang ketahanan pangan nasional sangat bergantung pada ketersediaan air (Postel, 1999). Tanpa air, sawah akan mengering, ladang menjadi tandus, dan kolam perikanan tidak dapat digunakan. Artinya, air tidak hanya menopang kehidupan individu, tetapi juga ketahanan pangan sebuah bangsa. Bagi tubuh manusia, air berfungsi sebagai pelarut utama zat gizi, media transportasi oksigen dan nutrisi ke seluruh sel, serta menjaga suhu tubuh tetap stabil. Kekurangan air atau dehidrasi dapat menyebabkan gangguan konsentrasi, kelelahan, hingga kerusakan organ. Dalam jangka panjang, krisis air bersih akan berdampak pada kualitas kesehatan masyarakat secara luas (Falkenmark & Rockström, 2004).

Air adalah benang merah yang menghubungkan seluruh makhluk hidup. Tumbuhan membutuhkan air untuk pertumbuhan dan fotosintesis. Biji tidak akan tumbuh tanpa kelembapan, dan daun tidak bisa memproduksi makanan tanpa adanya air. Hewan pun demikian, mereka tidak dapat hidup normal jika suplai air terganggu. Siklus air di bumi—mulai dari penguapan, kondensasi, presipitasi, infiltrasi, hingga kembali ke laut—adalah mekanisme alami yang menjaga keseimbangan ekosistem (UNESCO, 2021). Jika siklus ini terganggu karena deforestasi, pencemaran, atau perubahan iklim, maka bencana ekologis seperti banjir, kekeringan, dan longsor akan semakin sering terjadi. Dengan kata lain, menjaga air sama dengan menjaga keberlangsungan sistem kehidupan di bumi. Masalah air bukan hanya terkait jumlah, tetapi juga distribusi dan keadilan akses. Di perkotaan, masyarakat relatif lebih mudah mendapatkan air bersih melalui perusahaan daerah air minum (PDAM) atau sumur bor. Namun di pedesaan, masih banyak warga yang harus berjalan jauh untuk mengambil air dari sungai keruh atau sumur dangkal.

Kesenjangan akses air ini menunjukkan adanya masalah keadilan sosial. Air seharusnya menjadi hak dasar semua orang, bukan hanya milik kelompok tertentu. PBB bahkan telah menetapkan bahwa akses terhadap air bersih adalah hak asasi manusia (UNESCO, 2021). Namun pada kenyataannya, jutaan orang di dunia masih kesulitan memperoleh air layak konsumsi. Di Indonesia, krisis air juga terjadi di berbagai daerah, terutama saat musim kemarau panjang. Selain aspek biologis dan sosial, air juga memiliki makna spiritual dan budaya yang mendalam. Dalam hampir semua agama, air dianggap sebagai sesuatu yang suci. Dalam Islam, air digunakan untuk bersuci (wudu dan mandi wajib). Dalam tradisi Hindu, air Sungai Gangga dianggap suci dan dapat menyucikan dosa. Dalam budaya Jawa, dikenal istilah tirta amerta atau air kehidupan.

Simbolisme air menunjukkan bahwa manusia sejak lama menyadari nilai transendental dari unsur ini. Air bukan sekadar materi, melainkan juga simbol kehidupan, kesucian, dan keberlangsungan (Gleick, 2014).. Pandangan ini seharusnya memperkuat kesadaran manusia untuk menjaga air sebagai bagian dari spiritualitas dan moralitas, bukan hanya aspek ekologis. Perkembangan teknologi memberi harapan baru dalam pengelolaan air. Teknologi desalinasi memungkinkan air laut diubah menjadi air tawar. Sistem irigasi tetes (drip irrigation) dapat meningkatkan efisiensi penggunaan air dalam pertanian. Teknologi daur ulang air limbah juga sudah mulai diterapkan di berbagai negara maju (Postel, 1999)..

Namun, teknologi secanggih apa pun tidak akan efektif jika perilaku manusia masih boros dan merusak. Pada akhirnya, solusi utama ada pada kesadaran individu dan kolektif untuk menggunakan air secara bijak. Teknologi hanyalah alat bantu, bukan jawaban mutlak (Falkenmark & Rockström, 2004). Seiring bertambahnya jumlah penduduk, kebutuhan air semakin meningkat, sementara ketersediaannya cenderung menurun akibat eksploitasi berlebihan dan pencemaran. Kondisi ini berpotensi menimbulkan konflik antarwilayah maupun antarnegara. Di beberapa negara di Afrika dan Timur Tengah, konflik perebutan sumber air sudah sering terjadi (Gleick, 2014). Indonesia perlu belajar dari situasi tersebut. Jika pengelolaan air tidak dilakukan secara adil dan bijak, bukan tidak mungkin konflik serupa akan muncul di dalam negeri, terutama di daerah-daerah yang rawan kekeringan.

Menjaga air bukan hanya tugas pemerintah atau aktivis lingkungan, tetapi tanggung jawab semua orang. Setiap individu dapat memulai dari hal-hal kecil, seperti menutup keran saat tidak digunakan, tidak membuang sampah ke sungai, dan menggunakan air secukupnya. Gerakan kecil ini, jika dilakukan bersama-sama, akan memberikan dampak besar. Selain itu, reboisasi dan perlindungan hutan juga sangat penting karena hutan berfungsi sebagai daerah resapan air (Wardhana, 2004). Pemerintah, swasta, dan masyarakat harus berkolaborasi dalam upaya menjaga keberlanjutan sumber daya air.

Air sangat erat kaitannya dengan ketahanan pangan. Tanpa air, lahan pertanian tidak bisa ditanami, perikanan tidak bisa berjalan, dan peternakan akan terganggu. Krisis air otomatis akan memicu krisis pangan (Postel, 1999). Indonesia sebagai negara agraris sangat bergantung pada ketersediaan air untuk produksi pangan. Oleh karena itu, menjaga sumber daya air sama dengan menjaga ketahanan pangan nasional. Jika tidak, ancaman kelaparan dan krisis ekonomi bisa menghantui. Selain berperan dalam aspek biologis, spiritual, dan pangan, air juga memiliki dimensi sosial yang unik. Di pedesaan, sumur atau mata air sering menjadi tempat warga berkumpul, bercengkerama, atau bertukar kabar. Air, dalam konteks ini, bukan hanya pemenuhan kebutuhan, tetapi juga perekat sosial. Di perkotaan, air dapat menjadi daya tarik wisata, sumber inspirasi seni, hingga simbol identitas budaya. Festival air di berbagai daerah menunjukkan betapa eratnya hubungan antara air dan kehidupan sosial manusia (UNESCO, 2021).

Air adalah sumber kehidupan yang tidak tergantikan. Kehidupan manusia, hewan, dan tumbuhan semuanya bergantung pada air. Namun, ketersediaan air bersih semakin terancam akibat pencemaran, eksploitasi berlebihan, dan perubahan iklim. Oleh karena itu, menjaga air sama artinya dengan menjaga kehidupan itu sendiri. Mulai dari tindakan sederhana di rumah hingga kebijakan tingkat nasional, semua upaya harus dilakukan untuk memastikan ketersediaan air yang adil dan berkelanjutan. Sebab, seperti pepatah lama mengatakan, “Air adalah sumber kehidupan.” Itu bukan sekadar slogan, tetapi sebuah peringatan sekaligus ajakan bagi seluruh umat manusia.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun