Di era sekarang ini, mencari lapangan pekerjaan bukanlah hal yang mudah. Faktor penyebab sulitnya mendapat pekerjaan diantaranya, persaingan semakin ketat, keterbatasan lapangan pekerjaan, dan jumlah lulusan baru yang meningkat setiap tahunnya juga menjadi faktor yang cukup berpengaruh tinggi. Oleh karena itu, banyak para pekerja yang sudah memiliki pekerjaan lebih memilih untuk bertahan pada pekerjaannya, meskipun sebenarnya pekerjaan yang mereka jalani itu tidak lagi memuaskan. Fenomena ini bagaikan ungkapan pedang bermata dua; yang di satu sisi sebagai bentuk loyalitas, namun di sisi lain justru membuat para pekerja stagnan dan kehilangan semangat sehingga pengembangan diri jadi terhambat.
Peristiwa tersebut serupa dengan yang sedang marak saat ini, yang dikenal dengan istilah Job Hugging, kondisi dimana para pekerja memilih untuk bertahan pada pekerjaannya meskipun mereka sudah tidak lagi menikmati atau merasa berkembang didalam pekerjaan tersebut. Keputusan untuk bertahan bukan semata-mata karena pengabdian mereka pada perusahaan, melainkan rasa takut karena kehilangan penghasilan dan kesulitan mendapatkan pekerjaan baru. Apalagi, pekerjaan yang mereka jalani demi kelangsungan hidup, bahkan untuk mereka yang sudah berkeluarga pastinya memiliki tanggung jawab yang lebih besar.
Pandangan dari Kalangan Akademis
Fenomena Job Hugging ini mendapat perhatian dari beberapa kalangan akademis. Salah satu Dosen Universitas Muhammadiyah Yogyakarta yakni, Dr. Rini Juni Astuti, menilai bahwa “faktor utama Job Hugging adalah rasa aman dan takut ambil risiko”. Menurutnya, para pekerja cenderung menghindari ketidakpastian seperti pilihan berpindah kerja ke tempat lain. Dalam ilmu psikologi, kondisi tersebut dapat dikaitkan dengan teori comfort zone, dimana seseorang lebih memilih berada pada zona aman meskipun penuh keterbatasan, daripada harus menghadapi hal yang belum pasti yang menjadi tantangan baru baginya.
Sementara itu, seorang pakar Ekonomi Universitas Diponegoro (UNDIP), Wahyu Widodo, juga ikut menanggapi bahwa fenomena Job Hugging ini bukan perihal yang baru. Menurutnya, dalam siklus pasar tenaga kerja, pola seperti ini sudah sering terjadi, hanya saja untuk sekarang ini cukup banyak mendapatkan perhatian karena beriringan dengan kondisi ekonomi yang spesifik. Ia juga menambahkan bahwa meskipun indikator-indikator ekonominya secara keseluruhan di statistik pemerintah itu cukup baik, tetapi kenyataannya banyak perdebatan tentang angka dimana sebelumnya pertumbuhan quarter kedua yang meningkat cukup tinggi. (22/09/2025).
Data Pasar Tenaga Kerja
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat tingkat penggangguran terbuka per Februari 2025 yang mencapai 4,76 %. Namun, lebih mengkhawatirkan lagi jika dilihat secara spesifik pada usia muda sekitar 15-19 tahun dengan angka pengangguran tertinggi yang mencapai 22,34 %, sementara pada usia 20-24 tahun mencapai 15,34 %. Data tersebut menunjukkan bahwa kelompok usia produktif, misalnya fresh graduated akan menghadapi kesulitan untuk mendapatkan lapangan pekerjaan, termasuk yang sesuai dengan bidangnya. Pasar tenaga kerja akan dinilai semakin buruk dan dapat mempengaruhi ketidakstabilan ekonomi. Kesempatan para pekerja untuk berpindah pekerjaan pun semakin tipis yang menyebabkan fenomena Job Hugging semakin meningkat. Dalam hal ini, ketidakstabilan ekonomi yang dimaksud meliputi tingginya biaya hidup, gelombang PHK yang cukup tinggi, dan juga krisis ekonomi. Hal ini membuat para pekerja muda baik kalangan Milenial maupun gen Z memilih untuk tetap berada pada titik aman yaitu bertahan dengan pekerjaannya.
Suara Para Pekerja: Bertahan demi Stabilitas
Fenomena yang dirasakan oleh banyak pekerja adalah peristiwa yang nyata, bukan sekadar data. Dalam wawancara Metro TV beberapa hari yang lalu, beberapa pegawai swatsa mengungkap alasan mengapa mereka bertahan meskipun merasa stagnan:
Tomo, seorang pegawai swasta mengatakan: “Alasan saya bertahan sih pertama karena saya sudah karyawan tetap dan kedua kalau pun saya resign saya tidak bisa menjamin bisa menjadi karyawan tetap lagi diperusahaan lain, kalau boleh jujur sih karena kestabilan ekonomi, kalau bicara berkembang sih masih gini-gini aja tidak ada peningkatan dan tidak ada kenaikan jabatan juga.”
Andi, pegawai swasta lainnya turut memberikan tanggapannya: “Pinginnya sih pindah tapi in this ekonomi susah banget dan susah pindah juga sama demi bertahan hidup, terus juga jenjang karir diprofesi ini sedikit dan pengembangan dikantornya pun tidak ada.”