Kasus ini bermula dari pelaporan komandan tim siber Tentara Nasional Indonesia (TNI) menemukan tindak pidana yang diduga dilakukan oleh seorang Founder Malaka Project sekaligus influencer terkenal, Ferry Irwandi. Dugaan tersebut ditindak oleh TNI hingga ke Polda Metro Jaya untuk ditelusuri lebih lanjut, karena dianggap sebagai indikasi pidana pencemaran nama baik terhadap institusi melalui media sosial terduga, yakni Ferry Irwandi. Namun, setelah laporan pihak TNI diproses, Wakil Direktur siber Polda Metro Jaya, AKBP Fian Yunus menjelaskan bahwa laporan yang diajukan TNI tidak dapat diproses lebih lanjut. Berdasarkan keputusan Mahkamah Kontitusi (MK), intitusi negara tidak dapat menjadi pelapor dalam kasus pencemaran nama baik, melainkan laporan tersebut dapat dikatakan sah jika dibuat atas nama pribadi yang dirugikan.
Dalam wawancara, komandan tim siber TNI mengatakan bahwa ia sudah mencoba menghubungi Ferry Irwandi atas pernyataan dugaan tindak pidana yang dilakukannya, namun ia tidak mendapatkan respons. Sebaliknya, Ferry Irwandi menyatakan bahwa ia tidak menerima panggilan bahkan surat resmi dari pihak TNI. “Dan soal tidak bisa dihubungi saya juga tidak mengerti, semua wartawan bisa sangat mudah menghubungi saya walaupun ga pernah minta nomor saya dan nomor saya juga sudah tersebar dimana-mana, dan saya harus konfirmasi pesan atau apapun tidak pernah sampai ke saya” ujar Ferry Irwandi dalam videonya, Selasa (9/9/2025). Keduanya memiliki perbedaan narasi yang menimbulkan kontroversi dalam perspektif publik sehingga memunculkan berbagai spekulasi tentang kebenaran pernyataan dari masing-masing pihak.
Tidak sampai disitu, kontroversi ini juga memunculkan reaksi dari aktivis lainnya hingga ke pakar hukum. Usman Hamid, seorang aktivis HAM turut memberi komentarnya bahwa tindakan tim siber TNI tidak sepatutnya dilakukan, karena hal tersebut diluar tugas pokok dan fungsi militer. Ia menegaskan bahwa TNI tidak seharusnya masuk ke ranah sipil karena tidak ada kasus maupun ancaman yang menyangkut keamanan negara. Namun, permasalahan ini lebih mengarah pada kebebasan berekspresi yang dimana seharusnya menjadi ranah penegakkan hukum sipil, bukan militer.
Selain itu, salah satu pakar hukum tata negara, Feri Amsari juga turut memberikan reaksi yang sama seperti Usman Hamid. Menurutnya, postingan Ferry Irwandi di media sosial merupakan bagian dari kebebasan berpendapat yang dilindungi oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Kritik, saran, maupun komentar di media sosial adalah bentuk partisipasi masyarakat dalam demokrasi, dimana institusi militer tidak sepatutnya menanggapi hak-hak sipil tersebut.
Namun, berbeda dengan tanggapan Soleman Ponto, mantan Badan Intelijen Strategis (BIAS), yang menurutnya postingan Ferry Irwandi membuat TNI tersinggung karena dapat menggiring opini publik seperti seolah-olah TNI akan mengadakan darurat militer sehingga dapat memecah belahkan bangsa. Ia juga menambahkan bahwa kasus ini tidak boleh dianggap remeh karena dapat menimbulkan keresahan publik terhadap institusi militer.
Dalam hal ini, perbedaan berpendapat menunjukkan dua hal yang berlawanan, dimana TNI sebagai institusi ingin mempertahankan nama baiknya sehingga perlu menjaga citra dan wibawanya agar tidak terpengaruh oleh isu-isu miring dari masyarakat. Di sisi lain, hak berpendapat dan mengekspresikan diri merupakan hal yang sangat penting bagi negara demokrasi dan dilindungi oleh Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28F.
Menurut teori Retorika, kasus ini tidak hanya fokus pada ranah hukum, melainkan mengarah pada persoalan komunikasi publik. Dalam kasus ini, beberapa tokoh yang terkait seperti Ferry Irwandi, Komandan tim siber TNI, Usman Hamid, Ferry Amsari, dan Soleman Ponto, masing-masing menggunakan strategi Retorika untuk memperkuat argumen yang mereka sampaikan. Berdasarkan salah satu ahli retorika Indonesia, Dr. Jalaluddin Rakhmat, M.SC dalam bukunya yang berjudul “Retorika Modern: Pendekatan Praktis Berbicara di Depan Publik”, penjelasan dalam kasus ini mengaitkan pandangan retorika sejak Aristoteles, dimana suatu argumen akan dikatakan kuat jika didukung oleh tiga elemen, yaitu ethos (kredibilitas), phatos (emosi), dan logos (logis).
Secara spesifik, ethos digunakan untuk memperkuat kredibilitas argumen berdasarkan pada otoritas hukum, phatos dimanfaatkan untuk membangkitkan simpati publik, dan logos digunakan sesuai dengan akal sehat dan hukum dasar. Sebagai contoh, pernyataan Feri Amsari lebih mengarah pada elemen ethos, karena menjelaskan tentang kredibilitas konstitusi menjadi dasar utama dalam menjamin kebebasan perpendapat. Sementara pernyataan Soleman Ponto menggunakan elemen phatos, karena lebih memicu kekhawatiran serta ancaman perpecahan bangsa akibat postingan Ferry Irwandi di media sosial. Dan elemen logos ini lebih mengarah pada pernyataan Usman Hamid, karena argumen yang disampaikan rasional sesuai dengan fungsi dan batasan konstitusional TNI.
Pada akhirnya, laporan yang diajukan oleh komandan tim siber TNI terhadap dugaan tindak pidana Ferry Irwandi, tidak dapat diproses lebih lanjut karena kontroversi ini telah bertentangan dengan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK). Menariknya, kasus ini telah membuka ruang diskusi yang lebih luas dalam ranah sipil tentang batasan kewenangan militer, serta pentingnya hak berpendapat dan mengekspresikan diri.
Secara kesuluruhan dari sudut pandang Retorika, kasus ini merupakan konflik komunikasi yang tidak hanya mengarah ke ranah hukum, melainkan bagaimana bahasa berperan dalam membangun otoritas serta kebebasan hak warga sipil. Perdebatan ini menunjukkan bagaimana suatu argumen, ujaran publik, dan pandangan para tokoh dalam membentuk persepsi masyarakat terkait isu sensitif tersebut. Dengan demikian, pemahaman retorika dapat dijadikan kunci yang efektif bagi masyarakat untuk berpartisipasi secara kritis dalam wacana publik.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI