Namun perubahan ini tentu bukan tanpa tantangan. Masuknya budaya luar sering kali menimbulkan kekhawatiran terhadap kelestarian budaya lokal. Apakah ini berarti budaya kita kalah bersaing? Tidak selalu. Justru ini bisa menjadi peluang untuk membenahi industri hiburan lokal. Sinetron Indonesia perlu melakukan transformasi, bukan hanya dalam hal teknis produksi, tapi juga dalam menyusun narasi yang kuat dan merepresentasikan nilai-nilai sosial yang lebih sesuai dengan kondisi masyarakat kini.
Drakor vs sinetron bukan semata-mata soal menang atau kalah dalam menarik penonton. Ini adalah pertarungan dua model budaya: satu berkembang bersama tuntutan zaman, yang lain masih terjebak dalam pola lama. Di tengah perubahan sosial yang semakin cepat, masyarakat sebagai penonton tentu berhak memilih. Namun tugas dunia hiburan lokal adalah kembali merebut hati penontonnya dengan kualitas dan relevansi yang lebih baik.
Pada akhirnya, perubahan dari sinetron ke drakor bukan sekadar soal tontonan. Ini adalah cermin dari perubahan nilai, gaya hidup, dan cara berpikir masyarakat kita. Pilihan hiburan hari ini menunjukkan bagaimana kita terus bergerak, beradaptasi, dan mencari makna yang lebih dalam dari apa yang kita tonton.
Apakah ini tanda kemajuan atau justru kehilangan arah budaya? Jawabannya bisa berbeda-beda. Tapi yang pasti, setiap perubahan selalu membawa peluang, termasuk bagi industri hiburan lokal untuk kembali bangkit dan lebih memahami apa yang sebenarnya dicari penontonnya hari ini.
Bagaimana dengan kamu? Masih setia nonton sinetron, atau sudah pindah ke drakor?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI
