Halo, teman-teman semuaÂ
Pernah nggak sih kalian mengalami momen di rumah, saat ibu atau keluarga lagi asyik nonton sinetron di TV, tapi anak gadisnya malah sibuk menonton drakor di HP sambil senyum-senyum sendiri? Atau mungkin kalian sendiri yang sekarang lebih pilih scroll Netflix daripada duduk bareng nonton sinetron keluarga?
Fenomena ini nggak cuma soal selera tontonan, lho. Tapi juga tentang bagaimana budaya kita, cara kita berinteraksi, hingga nilai-nilai sosial mulai bergeser seiring perkembangan zaman. Tulisan ini mencoba mengangkat "pertarungan" antara dua raksasa budaya pop layar kaca: sinetron Indonesia dan drama Korea (drakor). Kenapa yang satu makin ditinggal, dan yang satu lagi makin digemari?
Yuk, kita bahas bersama bukan untuk saling menjatuhkan, tapi untuk memahami bagaimana hiburan membentuk kita sebagai masyarakat modern.
Dari Sinetron ke Drakor, Sebuah Pergeseran Budaya
Beberapa tahun lalu, sinetron menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan keluarga Indonesia. Tayangan drama lokal selalu menghiasi layar televisi pada waktu-waktu utama. Namun hari ini, pemandangan itu mulai bergeser. Generasi muda dan bahkan sebagian orang tua lebih memilih menonton drama Korea (drakor) melalui platform digital. Dari tontonan bersama menjadi tontonan pribadi. Dari sinetron lokal yang kaku menjadi drakor yang terasa dekat dan emosional.
Fenomena ini merupakan contoh nyata dari perubahan sosial dalam masyarakat modern. Drakor tidak hanya sekadar hiburan semata. Ia membawa nilai-nilai baru, cara pandang baru, dan juga gaya hidup baru. Di sinilah kita melihat bahwa perubahan sosial tidak terjadi dalam ruang hampa, melainkan didorong oleh kekuatan budaya global dan perkembangan teknologi. Media, sebagai agen perubahan, menjadi jembatan masuknya nilai-nilai asing ke dalam ruang hidup masyarakat lokal.
Kualitas Cerita : Drakor vs Sinetron
Drama Korea menawarkan sesuatu yang dianggap lebih "bernilai" oleh penontonnya. Cerita yang terstruktur, alur yang jelas, karakter yang berkembang, dan pesan moral yang mengena. Bahkan isu-isu penting seperti kesehatan mental, ketimpangan sosial, relasi gender, dan tekanan hidup masyarakat urban kerap diangkat secara halus tapi menyentuh. Sebaliknya, sinetron Indonesia masih berkutat dengan pola lama: konflik keluarga yang berlebihan, tokoh protagonis yang menderita tak berkesudahan, dan alur cerita yang mudah ditebak.
Teori Modernisasi Menurut Max Weber
Dalam konteks teori perubahan sosial, fenomena ini bisa dijelaskan dengan menggunakan teori modernisasi dari Max Weber. Weber menjelaskan bahwa modernisasi adalah suatu proses transformasi masyarakat tradisional menjadi masyarakat modern, yang ditandai dengan rasionalisasi, birokrasi, dan meningkatnya orientasi terhadap efisiensi dan logika. Drakor, dengan pengemasan cerita yang logis dan profesional, menjadi simbol dari budaya populer modern yang dianggap lebih rasional dan relevan dengan kehidupan saat ini. Sebaliknya, sinetron lokal yang stagnan mencerminkan model lama yang sulit beradaptasi dengan tuntutan zaman.
Perubahan selera penonton ini juga menunjukkan bagaimana masyarakat Indonesia mengalami pergeseran nilai. Generasi muda saat ini lebih terbuka terhadap budaya luar, lebih kritis terhadap tayangan, dan lebih menuntut kualitas. Mereka tidak hanya ingin hiburan, tapi juga ingin cerita yang menyentuh, mencerminkan realita, dan memberi ruang untuk refleksi. Ini juga bagian dari proses modernisasi dalam budaya populer: ketika hiburan tidak lagi hanya mengisi waktu luang, tapi juga memberi makna dan identitas.