Hubungan antara ekonomi dan lingkungan ibarat dua sisi mata uang yang tidak terpisahkan. Aktivitas ekonomi membutuhkan dukungan lingkungan sebagai penyedia sumber daya, sementara lingkungan membutuhkan pengelolaan agar tidak rusak akibat eksploitasi berlebihan. Di Indonesia, dengan kekayaan hutan tropis, laut luas, dan sumber daya tambang melimpah, dilema ini tampak jelas, bagaimana menjaga kelestarian sambil tetap mendorong pertumbuhan ekonomi?
Pertumbuhan ekonomi Indonesia selama beberapa dekade banyak ditopang oleh eksploitasi sumber daya alam, seperti tambang, minyak, gas, dan hasil hutan. Namun, pola ekstraktif ini sering meninggalkan jejak kerusakan lingkungan yang serius, mulai dari deforestasi, pencemaran air, hingga hilangnya keanekaragaman hayati. Misalnya, di Kalimantan dan Sumatra, pembukaan lahan untuk perkebunan kelapa sawit telah mengurangi luas hutan hujan tropis yang menjadi paru-paru dunia.
Sektor pertambangan merupakan contoh nyata tarik-menarik kepentingan ekonomi dan lingkungan. Di Maluku Utara, aktivitas tambang nikel memang memberi kontribusi besar terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dan serapan tenaga kerja. Namun, di sisi lain, limbah tambang dan kerusakan pesisir mengancam ekosistem laut serta mata pencaharian nelayan lokal. Kasus ini menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi berbasis tambang sering menimbulkan biaya lingkungan yang tinggi.
Selain tambang, sektor perikanan juga menghadapi dilema serupa. Indonesia dikenal sebagai negara dengan potensi perikanan tangkap terbesar di dunia, namun praktik overfishing masih terjadi di berbagai wilayah, termasuk Laut Natuna dan Maluku. Jika tidak diatur, eksploitasi berlebihan dapat menyebabkan penurunan stok ikan, merugikan nelayan kecil, dan pada akhirnya mengurangi keberlanjutan ekonomi perikanan itu sendiri.
Paradigma baru yang kini banyak dibicarakan adalah ekonomi biru (blue economy), yakni pemanfaatan sumber daya laut untuk pertumbuhan ekonomi yang tetap memperhatikan kelestarian ekosistem. Misalnya, pengembangan budidaya rumput laut di Nusa Tenggara Timur yang tidak hanya ramah lingkungan tetapi juga memberi nilai tambah ekspor. Dengan demikian, laut tidak hanya dilihat sebagai objek eksploitasi, melainkan sebagai basis pembangunan berkelanjutan.
Di sisi lain, Indonesia juga mulai melirik potensi energi terbarukan sebagai jalan keluar dari ketergantungan pada energi fosil. Pembangkit listrik tenaga surya (PLTS), tenaga bayu (angin), dan tenaga panas bumi merupakan sumber energi bersih yang potensial. Contohnya, proyek PLTS terapung di Cirata, Jawa Barat, menunjukkan bahwa transisi energi dapat dilakukan tanpa menambah emisi karbon secara signifikan. Namun, transisi menuju energi terbarukan di Indonesia masih menghadapi tantangan besar. Keterbatasan infrastruktur, biaya investasi tinggi, serta dominasi batu bara dalam bauran energi nasional menjadi penghambat. Padahal, dengan potensi panas bumi terbesar di dunia, Indonesia bisa menjadi pionir energi bersih di Asia Tenggara jika ada keberpihakan kebijakan yang konsisten.
Dari perspektif kebijakan, pemerintah telah mengintegrasikan isu lingkungan dalam pembangunan melalui konsep green economy. Instrumen fiskal seperti pajak karbon, insentif energi terbarukan, serta program rehabilitasi hutan dan mangrove merupakan langkah menuju keseimbangan. Meski begitu, implementasi di lapangan sering terhambat oleh lemahnya koordinasi antar-lembaga dan kepentingan jangka pendek ekonomi.
Masyarakat sipil dan komunitas lokal juga berperan penting dalam menjaga keseimbangan antara ekonomi dan lingkungan. Di beberapa desa pesisir Maluku dan Papua, masyarakat mulai mengembangkan praktik perikanan berkelanjutan berbasis kearifan lokal, seperti sasi laut, yang membatasi penangkapan ikan pada periode tertentu. Kearifan semacam ini bisa menjadi contoh sinergi antara tradisi dan kebijakan modern.
Dunia akademik menekankan bahwa keberlanjutan tidak bisa dicapai hanya dengan mengukur pertumbuhan ekonomi. Indikator pembangunan harus mencakup kualitas lingkungan dan kesejahteraan sosial. Misalnya, konsep Indeks Pembangunan Berkelanjutan yang menggabungkan dimensi ekonomi, sosial, dan ekologi, lebih relevan daripada sekadar mengandalkan Produk Domestik Bruto (PDB).
Dengan posisi geografis yang strategis dan kekayaan sumber daya melimpah, Indonesia sebenarnya memiliki peluang besar untuk menjadi model pembangunan berkelanjutan dunia. Jika mampu menyeimbangkan antara industrialisasi, konservasi lingkungan, dan pemberdayaan masyarakat lokal, Indonesia dapat menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi tidak harus berlawanan dengan kelestarian alam.