Tiga pilar ekonomi, sosial, dan lingkungan, yang saling terkait dan membentuk kerangka holistik untuk mencapai keseimbangan antara kemakmuran, keadilan, dan pelestarian ekosistem. Dalam konteks global, Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs) PBB memberikan panduan operasional untuk mengintegrasikan ketiga dimensi ini (United Nations, 2015). Bagaimana dengan peran masing-masing dimensi, tantangan implementasi, dan pentingnya pendekatan terintegrasi dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan, dengan fokus pada relevansi di Indonesia.
Dimensi Ekonomi
Dimensi ekonomi dalam pembangunan berkelanjutan menekankan penciptaan kemakmuran yang inklusif dan berkelanjutan. Menurut Sachs (2015), pembangunan ekonomi yang berkelanjutan harus mendukung pertumbuhan yang tidak hanya diukur dari Produk Domestik Bruto (PDB), tetapi juga dari distribusi manfaat ekonomi dan ketahanan sistem ekonomi terhadap guncangan eksternal. Salah satu pendekatan kunci adalah ekonomi sirkular, yang meminimalkan limbah melalui daur ulang dan penggunaan kembali sumber daya (Ellen MacArthur Foundation, 2013). Di Indonesia, sektor energi terbarukan, seperti pembangkit listrik tenaga surya, telah menciptakan peluang ekonomi baru sekaligus mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil (IRENA, 2020).
Namun, tantangan utama adalah ketimpangan ekonomi. Data Badan Pusat Statistik (BPS, 2023) menunjukkan bahwa indeks Gini Indonesia masih berada di kisaran 0,38, mencerminkan distribusi pendapatan yang tidak merata. Selain itu, eksploitasi sumber daya alam untuk pertumbuhan ekonomi sering kali mengorbankan lingkungan, seperti deforestasi untuk perkebunan kelapa sawit. Oleh karena itu, investasi pada teknologi hijau dan kebijakan pajak karbon menjadi penting untuk menyeimbangkan pertumbuhan ekonomi dengan pelestarian lingkungan (OECD, 2021).
Dimensi Sosial Â
Dimensi sosial berfokus pada peningkatan kualitas hidup, keadilan, dan pemberdayaan masyarakat. Menurut Sen (1999), pembangunan sejati harus meningkatkan kapabilitas manusia, yaitu kemampuan individu untuk menjalani kehidupan yang mereka nilai. Dalam konteks pembangunan berkelanjutan, ini berarti memastikan akses terhadap pendidikan, kesehatan, dan kesetaraan gender. Di Indonesia, program Kartu Indonesia Pintar (KIP) telah meningkatkan akses pendidikan bagi anak-anak dari keluarga miskin, meskipun tantangan seperti kualitas pengajaran masih ada (Kemdikbud, 2022).
Pemberdayaan komunitas lokal juga krusial. Studi oleh Agrawal dan Gibson (1999) menunjukkan bahwa keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam, seperti hutan adat, meningkatkan keberlanjutan sosial dan lingkungan. Namun, urbanisasi cepat di Indonesia, dengan 56% populasi tinggal di perkotaan pada 2020 (BPS, 2020), telah memperburuk ketimpangan akses terhadap layanan dasar, seperti air bersih dan sanitasi. Kebijakan inklusif yang melibatkan partisipasi masyarakat dan menghormati keragaman budaya menjadi penting untuk mengatasi tantangan ini.
Dimensi Lingkungan
Dimensi lingkungan menekankan pelestarian ekosistem sebagai fondasi pembangunan. Menurut Rockstrm et al. (2009), manusia telah melampaui batas aman planet dalam hal perubahan iklim dan kehilangan biodiversitas, yang mengancam keberlanjutan global. Di Indonesia, kehilangan hutan tropis akibat deforestasi mencapai 0,44 juta hektare per tahun antara 2015-2020 (KLHK, 2021). Upaya konservasi, seperti pengelolaan mangrove di pesisir Jawa, telah menunjukkan potensi untuk memitigasi perubahan iklim sekaligus mendukung mata pencaharian lokal (Alongi, 2014).
Adopsi teknologi hijau, seperti energi terbarukan dan pertanian organik, menjadi solusi untuk mengurangi dampak lingkungan. Namun, tantangan utama adalah resistensi dari industri yang bergantung pada praktik tidak berkelanjutan, seperti pertambangan batubara. Selain itu, adaptasi terhadap dampak perubahan iklim, seperti banjir dan kekeringan, memerlukan investasi besar dalam infrastruktur tahan iklim (IPCC, 2022).
Integrasi dan Tantangan
Ketiga dimensi ini tidak dapat dipisahkan. Sebagai contoh, proyek restorasi mangrove di Indonesia tidak hanya melindungi biodiversitas (lingkungan), tetapi juga menciptakan lapangan kerja melalui ekowisata (ekonomi) dan meningkatkan ketahanan komunitas pesisir terhadap bencana (sosial). Namun, integrasi ini menghadapi tantangan, seperti konflik kepentingan antara pertumbuhan ekonomi dan pelestarian lingkungan, serta kurangnya koordinasi antarlembaga pemerintah (World Bank, 2020). Selain itu, globalisasi dan tekanan korporasi sering kali memprioritaskan keuntungan jangka pendek, mengabaikan dampak sosial dan lingkungan.
Untuk mengatasi tantangan ini, diperlukan pendekatan berbasis sistem yang mengintegrasikan kebijakan lintas sektor. Misalnya, kebijakan pajak karbon dapat mendorong praktik ramah lingkungan sekaligus mendanai program sosial. Selain itu, pendidikan lingkungan dan pemberdayaan masyarakat dapat meningkatkan kesadaran akan pentingnya pembangunan berkelanjutan (UNESCO, 2017).