Amerika Serikat membatasi penjualan chip canggih ke perusahaan Tiongkok, termasuk Huawei dan SMIC, dengan alasan keamanan nasional. Akibatnya, banyak industri teknologi di Tiongkok yang kesulitan berkembang karena ketergantungan pada komponen impor.
Krisis Kredit dan Utang di Tiongkok
Dampak Global: Dunia Ikut Merasakan Getarannya
Sebagai pusat industri dunia, perlambatan ekonomi Tiongkok tentu menimbulkan efek domino bagi banyak negara. Negara-negara pengekspor bahan mentah seperti Indonesia, Australia dan Brazil ikut terdampak karena permintaan dari Tiongkok menurun.
Misalnya, permintaan batu bara dan nikel dari Indonesia mengalami penurunan dalam beberapa bulan terakhir akibat turunnya aktivitas manufaktur di Tiongkok. Hal ini berdampak langsung terhadap neraca perdagangan dan penerimaan negara dari sektor ekspor.
Selain itu, program Belt and Road Initiative (BRI) --- strategi Tiongkok dalam membangun infrastruktur di berbagai negara --- juga mulai melambat. Banyak proyek besar yang tertunda atau dikurangi pendanaannya karena pemerintah Tiongkok lebih fokus pada pemulihan ekonomi dalam negeri.
Pasar keuangan global juga ikut bergejolak. Ketika Tiongkok melemah, nilai mata uang yuan menurun, yang kemudian memicu volatilitas di pasar saham dan mata uang Asia.
Langkah Pemerintah Tiongkok: Reformasi dan Inovasi
Menyadari besarnya ancaman perlambatan ini, pemerintah Tiongkok kini berupaya melakukan reformasi struktural untuk mengubah arah perekonomian. Fokus utama diarahkan pada penguatan konsumsi domestik, agar perekonomian tidak terlalu bergantung pada ekspor.
Selain itu, pemerintah juga gencar mendorong inovasi teknologi dan industri hijau, termasuk pengembangan kendaraan listrik, energi terbarukan dan manufaktur ramah lingkungan.
Perusahaan seperti BYD dan CATL kini menjadi simbol baru dari transformasi industri Tiongkok menuju ekonomi yang lebih berkelanjutan.
Tantangan Ke Depan dan Peluang bagi Indonesia
Perlambatan ekonomi Tiongkok memang menjadi tantangan besar, tetapi di sisi lain juga membuka peluang baru bagi negara lain, termasuk Indonesia.
Dengan berkurangnya ketergantungan perusahaan global pada Tiongkok, banyak investor kini mencari lokasi alternatif untuk pabrik dan rantai pasok --- fenomena yang disebut "China+1 Strategy."