Mohon tunggu...
Iradah haris
Iradah haris Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - We do not need slogan anymore, we need equality in reality

Wanita yang selalu hidup di tengah keriuh-riangan rumah dan sekitar lingkungan. "Happy live is about happy wife" 😍

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Tetap Jalani Ramadhan dengan Sahaja dan Waspada

13 April 2021   22:51 Diperbarui: 13 April 2021   23:29 678
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kisah Untuk Ramadan. Sumber ilustrasi: PAXELS

TUBAN. Ring road kota tuban penuh kendaraan. Roda 4, besar kecil, berbaur dengan pengendara motor yang tengah menghabiskan hari sambil menanti bedug maghrib, ngabuburit di awal Ramadhan 2021.

Jalanan macet sekitar pukul 16.30 WIB. Antrian kendaraan mengular di jalan baru yang belum resmi digunakan. Akses jalan lingkar luar Kota Tuban yang memotong tengah areal persawahan ini masih tahap uji coba. Belum sepenuhnya dibuka. Namun sudah sibuk penggunanya. Di kanan kiri jalan banyak orang berjualan makanan untuk buka puasa. Tidak cukup satu dua, hampir ada di sepanjang jalan desa hingga perempatan ring road. Saya kebetulan saja melintas sepulang antar anak dari rumah wali kelasnya.

Kemacetan sore ini membuat saya terkesima. Seolah panduan wajib masa pandemi sudah tak berlaku lagi. Tidak ada jaga jarak. Tidak semuanya bermasker. Tepat setahun lalu, jalan kampung ini masih sunyi. Tidak ada kebisingan kendaraan. Lagi pun, saat itu orang takut untuk berkeliaran di jalanan. Di Ramadhan 2020 silam, tidak ada seorang pun berani iseng ngabuburit. Maklum tahun awal menyebarnya virus covid.

Begitu pandemi di indonesia awal Maret 2020, sebulan kemudian segala aktifitas seolah freeze. Sampai ke aktifitas domestik pun merasakan efeknya. Semua orang menahan diri untuk tetap di rumah saja. Termasuk orang yang bekerja atau berjualan di tepi jalan.

April 2020, horor pandemi makin mencekam dimana-mana. Pak Su yang bisnis serabutan di luar kota sudah terlihat kalang kabut saja karena merasa makin terbatas urusan dan arah geraknya. Proyek pengembangan perumahan tempatnya kerja di madura, lesu dan stag. Berdagang pun tak lancar. 

Beruntung masih tertolong dengan pengiriman kontinyu madu ke negeri jiran. Kendati pengiriman barang ke luar masuk negara pun terkendala. Prosedur pengiriman cargo kapal, lain dari biasanya. Waktu karantina barang makin lama. Klaim pembayaran, sudah tentu ikut mundur juga. Alhamdulillah, hasilnya masih bisa menutup biaya hidup dan sekolah anak2 yang tetap jalan, meski sekolahnya diliburkan.

Anak2 sekolah belajar daring semua. Dua anak yang di pondok sudah "dirumahkan" sejak akhir Maret 2020. Pekerjaan perempuan ibu rumah tangga seperti saya jadi bertambah. Tidak ada ketentuan sampai kapan. Bisa dikata, tekanan kami rasakan bersama sekeluarga, seanak beranak. Jadi tidak hanya bapak saja yang depresi selama pandemi.

Namun justru karena berkumpul di rumah saja inilah muncul ide2 tak terduga. Trik2 menjaga stabilitas ekonomi rumah tangga melalui ketahanan pangan domestik. Dari kebutuhan anak2 akan camilan. Akibat ketergantungan Pak Su pada makanan ringan teman ngopi di pagi dan sore hari. Bagaimana menyiasati ketersediaan makanan tambahan supaya pengeluaran rumah tangga tidak bengkak biayanya. Walhasil nyonya besar harus mengeluarkan jurus pamungkas yang sebelumnya disimpan rapi di dasar memori. Yakni, jurus baking di dapur sendiri.

Maka, keluarlah lagi si otang, oven tangkring tua yang entah sudah berapa lama paripurna. Ia tersimpan di sudut dapur yang tersembunyi. Sejak itu, nyonya besar harus merelakan hati bergumul dengan tepung. Tiap hari dari dapur selalu keluar menu makanan ringan baru. Entah itu berasal dari buku resep yang sudah usang, dari mesin pencari di internet hingga resep khas dari orang tua dan mertua.

Keluarga kami penggila roti. Tiap pagi roti, makan nasi hanya siang hari. Kam bisa makan roti dengan lauk dan sayur. Sore hari ngeteh atau ngopi, lagi lagi berkawan roti. Roti, roti, roti, tiada henti. Bisa roti manis yang biasa dijual di toko bakery, atau yang buatan sendiri.

Hari biasa, sebelum pandemi Pak Su selalu belanja roti untuk stok di rumah. Jangan dikira hanya roti yang siap makan saja. Roti beku pun dibeli. Biasanya jenis roti canai, paratha atau mantou. Harap maklum ya, Pak Su saya seumur hidupnya memang pemakan canai. Apalagi kalau disiram banjir dengan kuah kacang daal, heemm favorit!

Sebenarnya dia juga mahir buat roti canai. Saya pun bisa kalau hanya buat parata. Hanya malas penyakitnya. Nah, selama pandemi inilah kami banyak belajar memaksakan diri untuk tidak mudah malas. Pokoknya slogan kami, "malas hukumnya haram". 

Pak Su tidak merokok. Sudah lama juga pensiun ke cafe. Paling banter ngopi ya di rumah. Nyeduh secangkir sendiri. Namun untuk kebutuhan teman kopinya, gak bisa terus2an menyetok roti seperti sebelum pandemi. Demi menjaga ketahanan pangan seluruh keluarga, penting mengasah keterampilan baking di dapur sendiri denga alat sederhana. 

Baking lagi, membuat roti dengan berbagai teknik. Teknik biasa dengan mencampur seluruh bahan yang ada hingga teknik yudane ala roti2 jepang atau thang zhong ala china. Jadilah roti empuk, sobek 4 rasa seperti yang sering dijual promo 1 free 1 di toko2 waralaba dekat rumah. Pak Su senang, anak2 pun suka. 

Selanjutnya rutin, seperti masak nasi, saya harus baking lagi. Nyetok lagi tiap 3 kali sehari. Satu ketergantungan terhadap roti di rumah kami teratasi. Mulanya hanya roti tawar, roti manis sobek dan bun kosongan untuk burger atau hotdog. 

Saat makan anak2 suka menambahkan dengan bermacam2 isian. Lama2 isi kulkas jadi penuh isian roti. Selai buah dan coklat buatan sendiri, mentega bawang sampai isian pizza ala nyonya besar. Mau roti isi apa saja, anak2 tinggal buat sendiri dan pasang sendiri. Bahkan, menu korean garlic bread dan cake pisang cavendish pun ada di ramadhan tahun lalu.

Nyonya besar mendadak jadi cheff profesional. Anak2 pun senang berkumpul di dapur saat hendak menyiapkan menu buka puasa. Memilih sendiri roti yang disukai. 

Tamu Agung

Awal Ramadhan tahun lalu jatuh di 24 April 2020. Bulan suci ini bagi kami sekeluarga, ibarat tamu agung. Untuk menyambutnya dengan penuh kehormatan, harus dengan persiapan sebulan sebelumnya. Tentang segala sesuatunya. Ya kesehatan fisik, keimanan, lebih2 persiapan finansial. 

Kenapa harus demikian? Sebab sebulan ini kami harus aman dan nyaman melaksanakan ibadah bersama. Seperti sudah menjadi kebiasaan keluarga besar.  Kerja, tidak cuti. Tapi ibadah tetap nomor satu. Inilah cobaan berat, menjalani ramadhan di masa pandemi. Lemas bila sudah menyoal pasal finansial.

Karena keadaan pandemi, kami harus menyesuaikan kebiasaan. Menjalani Ramadhan dengan penuh hati2, sebersahaja mungkin dan banyak berserah diri.

Kala itu, anak saya yang nomor dua, tetiba punya ide. Kenapa tidak berjualan masakan mama saja? Online bisa! Titip warung bisa! Sejenak saya memirkan ide anak2. Tapi si nomor dua ini sungguh kecil2 inovatif. Anak MI kelas 3 ini tangguh dan konsekwen terhadap rencananya.

Sanggup anpa malu2, mengantar cake pisang ke toko dekat rumah yang tiap hari menjadi tujuan ibu2 belanja berbagai macam sayuran dan kebutuhan rumah. Pagi pukul 06.30 dia bersepeda membawa cake pisang. Sorenya masih sempat mengontrol jualannya. Padahal tidak dikontrol pun tak mengapa. Sebab cake itu tahan suhu ruang 2-3 hari. Tapi si nomor dua ini merasa perlu melakukan pengecekan. Sampai yang punya toko hafal kebiasaan anak saya.

Sementara si sulung sibuk online di instagram. Menawarkan cavendish cake berbagai varian dan garlic bread favoritnya. Walhasil kami serumah memiliki kesibukan baru. Harus disyukuri, 2 hari sekali anak2 bisa mengutip uang hasil jualan. Setelah dipotong modal, keuntungan mereka bagi untuk jajan dan sedikit celengan untuk lebaran.

Seru juga kegiatan tahun lalu. Manjur mengatasi depresi selama pandemi. Ramadhan tetap kita lalui dengan puja puji syukur. Keadaan alam begini banyak  mengajarkan kemandirian. Jurus pertahanan hidup. Juga tentang strategi ekonomi mandiri. Khususnya pada anak2 saya.

Setelah lebaran, anak2 pondok mulai masuk sekolah. Saya pun sibuk lagi dengan urusan yang lain. Namun kebiasaan baking bersama anak2 selama ramadhan, menyisakan banyak manfaat. 

Pertama, kadang hari2 tertentu datang pesenan borongan ke rumah. Entah untuk snack box acara kantor, pengajian, arisan atau lamaran. Tidak tiap hari, tapi selalu ada saja yang datang.

Sepertinya Ramadhan tahun ini pun saya masih harus menerima orderan2 kecil semacam. Menjalani bulan suci dengan kerendahan hati dan bersahaja. Tetap waspada, pada virus yang tak kasat mata. Disiplin tetap harus, untuk menjaga kesehatan diri dan keluarga. Bagi saya, yang demikian itu termasuk wujud syukur kita atas segala karunia pencipta.

Kedua, semakin banyak yang tahu kalau nyonya besar pandai memasak. Ini sungguh kredit yang menggembirakan bagi saya. Padahal keterampilan memasak ini sebenarnya sudah ada sejak lama. Tapi terpendam. Ya, memasak itu keterampilan. Kalau gak sering2 dipraktekan ya gak akan mahir, malah bisa hilang dimakan karat. Sama dengan menulis. Menulis pun bila sudah karatan, tidak tajam lagi.

Ingat! Menulis dan memasak itu bukan bakat ya, tapi keterampilan. Karenanya harus sering dilatih. Loh yang ini kok mirip2 materi menulisnya kang bugi di pelatihan menulis ilmiah populer kemarin yah hehe....

Salam 1 ramadhan 1442 H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun