Mohon tunggu...
Ira Oemar
Ira Oemar Mohon Tunggu... lainnya -

Live your life in such a way so that you will never been afraid of tomorrow nor ashamed of yesterday.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Trik Mengatasi Penghutang Bandel

16 November 2012   05:17 Diperbarui: 4 April 2017   16:17 10671
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Rasanya, semua orang pernah berurusan dengan hutang piutang, baik hutang kepada pribadi atau pada lembaga keuangan, baik resmi maupun tak resmi. Sebenarnya berhutang itu wajar saja, sepanjang penggunaan hutang memang sesuai dengan keperluan dan besarnya pun disesuaikan dengan kemampuan bayar. Saya percaya, selama kita masih punya itikad baik untuk melunasi hutang, maka Allah akan membantu memudahkan urusan. Kalaupun ada kendala yang membuat kita agak terhambat melunasi hutang, selama dikomunikasikan dengan baik pada penghutang, umumnya mereka akan memberikan toleransi dengan mempertimbangkan kredibilitas dan integritas kita.

Topik obrolan Freez kali ini soal berurusan dengan hutang, membuat saya ingat pengalaman beberapa tahun lalu, yang menggelikan namun bermanfaat. Sebenarnya, saya tak ada urusan dengan hutang piutang ini. Yang punya masalah adalah sahabat saya, sebut saja namanya Nanie. Sekitar tahun 2005-an, Nanie bercerai dengan suaminya dan ia mendapatkan harta gono-gini yang cukup banyak. Karena saat itu belum siap untuk berinvestasi, Nanie membiarkan saja uangnya tersimpan di tabungan.

Suatu hari, Nanie bertandang ke rumah sahabatnya dan kebetulan saat itu sahabatnya sedang kedatangan tamu yang mengeluhkan butuh dana untuk memulai suatu usaha. Saat itulah sahabat Nanie ini sambil sedikit bercanda bilang kalau ia tak punya dana sebanyak itu, coba tanya Mbak Nanie, siapa tahu dia punya. Candaannya itu ternyata diseriusi oleh si teman – sebut saja Dony – yang mencoba meyakinkan Nanie bahwa ia butuh dana untuk segera memulai proyek yang dimenangkannya dan dalam tempo 3 bulan dana itu akan dikembalikan.

Nanie yang memang mudah merasa iba, langsung mengiyakan saja. Apalagi dipikirnya toh si Dony ini teman baik sahabatnya dan alamatnya jelas pula. Akhirnya, uang Rp. 50 juta pun ditransfer ke rekening Dony. Uang sejumlah itu di tahun 2005 “sesuatu” banget lho!

Ditunggu sampai lewat 3 bulan, Dony tak sekalipun mengontak Nanie. Akhirnya setelah berbulan-bulan Nanie menagihnya. Tapi Dony dengan berbagai alasan hanya bisa membayar Rp. 10 juta saja dan sisanya ia janjikan sekian bulan kemudian, saya sendiri tak tahu karena awalnya saya tak dilibatkan dalam urusan ini.

Sampai akhirnya di penghujung Mei 2007, Nanie mendapat tawaran kerja di Jakarta, dalam waktu seminggu ia harus sudah di Jakarta. Karena mendesaknya waktu, nanie tak sempat menyelesaikan urusannya dengan Dony yang sudah hampir berjalan 2 tahun. Jelang akhir tahun 2007, Nanie pulang ke Surabaya, niatnya hendak menagih sisa piutangnya pada Dony. Saat itulah Nanie mengajak saya mendatangi rumah Dony. Alasan Nanie, dia perlu seseorang yang bisa bersikap tegas bila diperlukan. Ternyata, Dony tinggal di komplek perumahan dosen sebuah perguruan tinggi negeri paling ternama di Surabaya. Katanya itu rumah mertuanya. Dony masih menumpang di sana bersama istrinya, kebetulan mereka belum punya anak meski sudah lama menikah.

Saya pun tak mensia-siakan kesempatan untuk mengobservasi kondisi Dony. Saya lihat rumah yang cukup besar itu terparkir 2 buah mobil. Yang satu mobil milik mertuanya, yang lain milik Dony. Istri Dony yang membukakan pintu dan ia langsung menebarkan senyum termanisnya begitu melihat Nanie. Ia pun segera memanggil Dony. Kami berdua hanya diterima di teras rumahnya dan tidak diajak masuk ke ruang tamu. Sedikit sebal juga rasanya. Seolah kami ini tukang minta sumbangan. Padahal, Dony masih berhutang banyak pada Nanie. Saya lihat perawakan Dony cukup gagah, tapi maaf, simpati saya langsung jeblok sesaat setelah ia mulai berbicara dengan Nanie. Dalam penilaian saya, Dony ini memang typical pria yang pintar bicara dan memposisikan dirinya sebagai orang yang perlu dikasihan. Wahm type pria yang tak saya sukai, bukan orang yang struglle! Pantas saja kalo di awal kenal Nanie langsung jatuh iba. Kami pulang dengan tangan kosong dan lagi-lagi Dony hanya menjanjikan di lain waktu ia akan melunasi.

Waktu terus berlalu, kata Nanie Dony hanya membayar Rp. 10 juta lagi. Sampai akhirnya saat lebaran tahun 2008 Nanie mengajak kakak laki-lakinya ke rumah Dony untuk menagih. Sebelumnya, selama hampir 2 bulan Nanie sudah mencoba melakukan komunikasi intens dengan Dony, karena ia sangat membutuhkan uang itu, ia minta Dony melunasinya. Tapi dasar bandel, saat Nanie dan kakaknya ke rumah mertua Dony, disitu nongkrong sebuah mobil butut yang kalau dijual hanya laku sekitar 30 jutaan saja. Dalih Dony : ia dalam kesulitan keuangan, makanya mobil pun dilego dan ganti yang butut hanya sebagai sarana mobilitasnya di Surabaya. Nanie dan kakaknya pun pulang dengan kecewa tanpa bisa menekan Dony dan lagi-lagi hanya menelan janji.

Menjelang akhir 2008, Nanie menelpon saya dari nomor flexi-nya di Jakarta. Katanya, Dony kini sama sekali tak mau lagi mengangkat telepon darinya, sehingga ia sulit menghubungi Dony. Wah, ini tanda-tanda itikad buruk penghutang. Rupanya selama 3 tahunan memperdaya Nanie, Dony tahu Nanie mudah dikibulin. Kalaupun Nanie mencoba menelepon ke telepon rumahnya, selalu dikatakan Dony tak ada di tempat, tak peduli pagi, siang atau malam. Saya jadi geregetan juga. Ini tak lagi bisa ditolerir, sebab saya lihat Dony sebenarnya bukan keluarga miskin. Penampilannya saja cukup menunjukkan ini dari kelas menengah atas.

Akhirnya, Nanie meminta tolong saya menelepon ke rumah Dony, dengan harapan mertuanya yang menerima telepon. Sebab, tampaknya Dony tak ingin mertuanya tahu soal ini. Sedangkan istrinya sudah kongkalikong dengan Dony. Nanie meminta saya ikut menekan keluarga Dony. Saya pun menyanggupinya, karena saya lihat sudah tak ada sedikitpun upaya dan itikad baik Dony.

[caption id="attachment_216615" align="aligncenter" width="500" caption="(foto : bhataranews.com)"]

13530429811797466878
13530429811797466878
[/caption]

Saya menelepon menggunakan nomor flexi saya. Yang mengangkat seorang wanita dengan suar halus lembut tapi cukup tegas. Ini mengingatkan saya pada suara istri Dony. Oya, setelah pernah diajak ke rumah Dony pertama kali, saya pernah juga diajak nanie ke rumah Dony malam hari dan saat itu yang membukakan pintu pembantu rumah tangganya. Ketika telepon diangkat, saya langsung bertanya bisakah saya berbicara dengan Pak Dony. Seperti saya duga, istrinya langsung menjawab Dony tak ada di rumah, sedang keluar kota entah kapan pulangnya.

Pada saya, si istri mengaku pembantu Dony. Saya pun menegaskan “Benar ini pembantunya? Mbak siapa ya namanya?” untuk sejenak suara di ujung sana tak segera menjawab kemudian dengan suar mengandung keraguan ia menyebut suatu nama. “Oke, saya catat dulu, Mbak ‘anu’ ya” kata saya lagi. Selanjutnya saya tegaskan pada si “pembantu” ini bahwa saya adalah orang yang diberi kuasa Ibu Nanie untuk mengurus penyelesaian hutang Pak Dony pada Bu Nanie. Tentu saja saya berani membuka masalah ini karena saya yakin betul itu bukan pembantu Dony.

Padanya saya tegaskan bahwa Bu Nanie sudah mencoba berbagai cara yang baik dan kekeluargaan tapi Pak Dony terus saja mempermainkan Bu Nanie. Kali ini Bu Nanie benar-benar membutuhkan uang itu dan akan menempuh jalur hukum jika Pak Dony masih tidak punya itikad baik untuk melunasi hutang yang sudah lebih dari 3 tahun. Apalagi beberapa waktu belakangan Pak Dony tak pernah mau dihubungi Bu Nanie via telepon. Saya ulangi pesan ini 2x sambil beberapa kali memintanya untuk mencatat pesan saya. Bahkan masih saya tambahin kalimat “Kamu paham kan? Jadi tolong sampaikan pada ‘majikanmu’, Bu Nanie akan menempuh jalur hukum dan melapor pada polisi. Tanda buktinya ada surat perjanjian yang ditandatangani Pak Dony.”

Si penerima telepon berkali-kali menjawab “iya, Bu”. Terakhir, saya dengan tegas memberikan batas waktu 2 x 24 jam pada Pak Dony untuk menyelesaikan urusan ini, jika tidak kami akan datang bersama aparat yang berwenang ke rumah kediaman Pak Dony, sambil saya tegaskan saya tahu di mana alamat domisili Pak Dony. Penerima telepon yang semula tampak tegas, lama-kelamaan sedikit keder. Tenggat waktu ini saya ulangi sampai 3x dan saya memintanya mengirimkan fax pada saya jika Pak Dony sudah membayarnya. Saya diktekan nomor fax kantor saya sambil memintanya menuliskan “attn to : Ibu Ira” di bagian atas fax.

Setelah itu, saya kembali menyelesaikan pekerjaan kantor saya. Tak lupa saya kabari Nanie kalau saya sudah menelepon dan dugaan saya diterima oleh istri Dony. Menjelang sore, Nanie menelepon saya sambil tertawa ngakak, sayapun ikutan ngakak meski belum tahu apa masalahnya. Kata Nanie : “Ira, tadi waktu kamu telepon, kamu ngaku dirimu siapa? Temannya Mbak Nanie apa Ibu Elza Syarief?” katanya masih sambil terbahak.

“Lho, memangnya kenapa?” tanya saya. “Lunas! Sekaligus, gak pake dicicil!” kata Nanie. “Haah?!” saya nyaris tak percaya, hanya dalam hitungan jam Dony melunasi hutang itu. Kata Nanie, sekitar sejam setelah saya telepon, Dony mendadak meneleponnya dan mencoba merayu Nanie agar tak buru-buru menempuh jalur hukum. Dony bilang ibu mertuanya sedang sakit, jadi kalau sampai ada aparat menggerebek rumahnya, bisa fatal akibatnya. Dony mengatakan kalau “tadi pengacara Mbak Nanie nelpon begitu”. Sambil mencoba menahan tawa, Nanie yang semula tak tahu trik saya, akhirnya ia beradaptasi dengan sikon. Nanie hanya menjawab bahwa ia sudah menyerahkan urusan ini pada saya.

Ternyata, sore itu dana Rp, 30 juta ditransfer ke rekening Nanie, beberapa saat sebelum jam 3, saat transaksi bank ditutup. Yang mentransfer istri Dony dan dana itu ditransfer dari rekening milik ibu mertua Dony. Ah, biarlah, perkara nanti Dony akan mencurangi ibu mertuanya, dia bisa diusir numpang tinggal disana. Toh istrinya juga yang mentransfer uang itu, jadi tentunya ia sudah berpikir, siapa yang akan ia bela : suaminya yang culas atau ibunya. Sekitar jam 4, saya menerima fax dari Dony berisi slip bukti transfer. Saya tersenyum puas sekaligus geli. Masalah Nanie yang sudah berbelit-belit selama lebih 3 tahun tanpa hasil, kini selesai hanya dalam hitungan jam.

Saya tidak berbohong lho. Saya sama sekali tak mengaku-ngaku sebagai pengacara. Saya hanya mengatakan “saya orang yang diberi kuasa oleh Bu Nanie untuk mengurus penyelesaian hutang Pak Dony pada Bu Nanie". Bukankah memang begitu keadaannya? Nanie sudah menyerahkan pada saya untuk mencari cara menekan Dony. Hanya saja, cara saya mengucapkan kata-kata itu dengan intonasi yang tegas, jelas dan menggunakan penekanan pada kalimat atau kata tertentu, membuat si penerima telepon langsung berasosiasi bahwa “diberi kuasa” itu identik dengan “kuasa hukum”. Apalagi dalam kondisi sedikit panik, merasa bersalah dan ketakutan, istri Dony yang saat itu juga berbohong, jadi tak bisa berpikir jernih. Inilah enaknya bicara lewat telepon, orang tak bisa melihat wajah kita. Orang culas dan curang perlu diakali dengan trik yang jitu.

Nanie pun tertawa dan bilang : “Kalau pakai jasa debt collector, berapa harus kubayar succession fee-nya ya? Habis mantap banget, seketika langsung dibayar”, katanya. Sebagai imbalannya, saya ditraktir Nanie makan malam di sebuah restoran Jepang. Hmm.., sesekali jadi debt collector tanpa kekerasan fisik, lumayan juga berhasil.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun