Buku ini memiliki keindahan tersendiri, apalagi bab-bab yang disajikan tidak hanya tentang cinta terhadap pasangan. Cinta dapat diungkapkan dengan cara yang berbeda, pada kesempatan yang berbeda dan dengan siapa cinta tersebut dapat diterima. Bukan hanya terhadap orang yang kita anggap berharga saja, tapi kita juga bisa menciptakan rasa cinta pada diri sendiri, dengan berdamai dengan diri sendiri.
Ikuti kisah setiap bab buku ini. Saat membaca bab pertama dengan judul yang sama pada buku ini, 'Kota Yang Berumur Panjang', pembaca akan dibawa kepada genre romance tipis yang menyuguhkan suasana klasik dan retro. Sedikit kisah mengenai kedatangan seorang lelaki di di suatu kota yang memiliki 'umur panjang'. Umur panjang yang dimaksud di sini adalah kota unik ini memiliki dimensi waktu yang berbeda, di mana kota ini memiliki waktu yang berjalan lebih lambat dari semua hal yang ada di dunia. Di kota inilah, lelaki itu bertemu dengan seorang perempuan bernama Azale.
Bab-bab selanjutnya pun diisi dengan tema yang selaras pula, mengenai cinta entah itu akan terbalaskan, menjadi akar perpisahan, maupun sebatas angan, nyatanya cinta memang menimbulkan berbagai reaksi. Terdapat pula mengenai cinta yang diharapkan kepada diri sendiri, seperti judul 'Ingatan Tentang Sarang Burung', cerita ini cukup mewakili bagaimana manusia ingin menjadi makhluk selain manusia, merasakan bebasnya menatap rintik hujan di atas dahan pohon, bercinta dengan kekasih di tengah lembabnya udara, terbang lepas seperti burung gereja sembari menunggu sang pujaan hati.
Total terdapat dua puluh tiga judul mengenai puing-puing cinta terhadap kehidupan, termasuk perselingkuhan keluarga seperti judul 'Resep Kepala Ikan', dan berbagai judul menarik lainnya.
Meskipun dengan nuansa cinta yang bisa disalurkan dengan berbagai cara, alur campuran ditemani diksi beserta kiasan membuat beberapa bab cerita di buku ini sulit untuk dipahami. Sastra yang kental membuat setiap kata memiliki makan konotasi kuat sehingga perlu mengulang tiap bacaan, apalagi jika terlewat beberapa kata. Terdapat tiga bab bagian akhir yang memiliki kiasan kuat hingga perlu pemahaman lebih, yaitu 'Mel, Ini Aku', 'Jeruk Kuning', dan 'Dendam Bunga Api'. Dengan judul yang tersirat, memberi kesan bahwa Tjak S. Parlan mengandung berbagai konotasi dan ungkapan kemewahan dalam ceritanya.
Dengan gaya penceritaan yang beragam, buku ini mempunyai kelebihan tersendiri dan juga bisa menjadi kelemahan apabila pembaca belum memahaminya secara utuh. Namun pembaca akan dibawa ke dalam setiap cerita dengan suka dan dukanya, terjun bebas, dan terbebas dari kekangan hati sebagai gambaran cinta.
Pembaca nampaknya bingung dengan gaya penulisan Tjak S. Parlan, tapi kemudian Anda akan terkejut karena setiap cerita pendek memiliki kekuatan karakternya masing-masing. Bagian terakhir cerita tentang kenangan masa kecil, judulnya “Di Weka, Bersama Lodra”.