Menurut Azra, ilmu-ilmu sosial modern yang diadopsi Barat sering kali tidak memadai untuk memahami nilai-nilai keagamaan, karena berpijak pada asumsi sekular. Sementara itu, Amin Abdullah menilai bahwa pendekatan ilmiah yang terpisah dari dimensi wahyu justru menimbulkan “krisis epistemologi” dalam studi Islam. Islam, dalam pandangan mereka, bukan sekadar objek ilmiah, melainkan juga sistem nilai yang hidup dan menuntun manusia menuju kebenaran moral.
Fazlur Rahman, seorang pemikir Muslim dari Pakistan, menawarkan solusi dengan mengembangkan pendekatan hermeneutik terhadap Al-Qur’an. Melalui pendekatan ini, teks suci dipahami secara kontekstual dan dinamis, bukan secara kaku atau literal. Fazlur Rahman berpendapat bahwa untuk memahami Islam secara utuh, kita harus menafsirkan pesan moral Al-Qur’an dengan mempertimbangkan konteks sosial-historisnya serta relevansinya dengan kehidupan modern. Pandangan ini menjadi dasar bagi rekonstruksi metodologi studi Islam yang lebih terbuka terhadap ilmu pengetahuan kontemporer.
Upaya Rekonstruksi oleh Sarjana Muslim Indonesia
Di Indonesia, upaya rekonstruksi metodologi studi Islam dilakukan oleh para cendekiawan Muslim yang berpikir progresif. Di antaranya, Amin Abdullah mengembangkan gagasan pendekatan interkonektif-integratif, yaitu metode yang menggabungkan ilmu-ilmu agama dengan ilmu-ilmu sosial-humaniora. Pendekatan ini bertujuan agar studi Islam tidak terjebak pada dikotomi antara ilmu wahyu dan ilmu duniawi, melainkan mampu menjalin dialog produktif antara keduanya. Dengan cara ini, Islam dapat dikaji secara ilmiah tanpa mengabaikan nilai spiritual dan moralnya.
Sementara itu, Nurcholish Madjid (Cak Nur) menekankan pentingnya ijtihad dan keterbukaan terhadap ilmu modern. Baginya, umat Islam perlu melakukan reinterpretasi terhadap ajaran-ajaran agama agar tetap relevan dengan perubahan zaman. Cak Nur percaya bahwa ilmu pengetahuan dan agama bukan dua hal yang bertentangan, melainkan saling melengkapi dalam membentuk peradaban manusia yang maju dan beradab.
Upaya-upaya ini menunjukkan bahwa sarjana Muslim Indonesia berperan penting dalam membangun metodologi studi Islam yang kontekstual, dengan tetap berakar pada nilai-nilai wahyu. Mereka tidak menolak ilmu pengetahuan Barat, tetapi berusaha menempatkannya dalam kerangka keislaman yang utuh, sehingga Islam tetap dinamis dan responsif terhadap tantangan zaman.
Kesimpulan
Perbedaan mendasar antara epistemologi Islam dan Barat merupakan sumber utama dari perbedaan cara memahami Islam. Epistemologi Islam berangkat dari kesatuan antara wahyu, akal, dan pengalaman manusia, sementara epistemologi Barat cenderung memisahkan antara pengetahuan dan nilai spiritual. Hal ini menyebabkan pendekatan Barat sering gagal memahami Islam secara komprehensif.
Diperlukan metodologi studi Islam yang integratif dan objektif, yang mampu menggabungkan ketajaman analisis ilmiah dengan kedalaman spiritual wahyu. Melalui pendekatan interkonektif-integratif yang ditawarkan para pemikir Muslim, studi Islam dapat dikembangkan sebagai disiplin ilmu yang terbuka terhadap ilmu pengetahuan modern, namun tetap berpijak pada nilai-nilai keimanan. Dengan demikian, Islam dapat dipahami tidak hanya sebagai objek kajian akademik, tetapi juga sebagai sumber inspirasi moral, intelektual, dan spiritual bagi kehidupan manusia.
Daftar Pustaka
•Abdullah, M. Amin. Studi Agama: Normativitas atau Historisitas? Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996.