Pendahuluan
Studi Islam merupakan bidang keilmuan yang memiliki sistem metodologi tersendiri dalam memahami ajaran dan realitas Islam secara menyeluruh. Pendekatan dalam studi ini tidak hanya mengandalkan rasionalitas semata, melainkan juga memadukan unsur tekstual, historis, sosial, dan spiritual. Dengan landasan tersebut, studi Islam berupaya menggali hakikat ajaran wahyu sebagai sumber utama nilai, pengetahuan, dan pedoman hidup manusia. Islam dipandang bukan hanya sebagai sistem kepercayaan, tetapi juga sebagai cara hidup (way of life) yang mengatur seluruh dimensi kehidupan manusia, baik spiritual, moral, maupun sosial.
Namun, di dunia akademik modern,pendekatan terhadap Islam yang dilakukan oleh sarjana Barat sering kali memperlihatkan bias dan kecenderungan reduksionis. Banyak studi orientalis menilai Islam melalui sudut pandang sekuler yang menempatkan agama hanya sebagai produk budaya atau fenomena sosial, tanpa menyinggung aspek ketuhanan dan wahyu sebagai sumber utama. Pemahaman semacam ini menyebabkan Islam tampak sempit dan tidak utuh, bahkan menimbulkan kesan seolah-olah ajaran Islam tidak rasional atau tidak sesuai dengan perkembangan zaman.
Kondisi tersebut menimbulkan kebutuhan untuk meninjau ulang dan melakukan kritik terhadap metode serta paradigma yang digunakan oleh kalangan Barat dalam mempelajari Islam. Diperlukan suatu pendekatan ilmiah yang mampu menjaga keseimbangan antara rasionalitas dan spiritualitas, sehingga studi Islam tetap objektif secara akademik, tetapi juga setia pada nilai-nilai ilahiah yang menjadi inti dari ajaran Islam itu sendiri.
Latar Historis Studi Islam di Barat
Kajian tentang Islam di Barat memiliki sejarah panjang yang berawal dari masa orientalisme, yakni gerakan intelektual yang muncul sejak abad pertengahan dan berkembang pesat pada masa kolonialisme. Orientalisme muncul dengan berbagai motif---mulai dari kepentingan politik dan misi keagamaan hingga dorongan ilmiah untuk mengenal dunia Timur. Para orientalis mempelajari bahasa Arab, sejarah, hukum, dan kebudayaan Islam, dengan tujuan yang beragam: sebagian bertujuan akademis, namun sebagian lain dimaksudkan untuk mendukung misi kolonial dan kristenisasi.
Dalam perkembangannya, pendekatan orientalis didominasi oleh cara pandang yang sangat rasional dan empiris, sesuai dengan tradisi intelektual Barat. Islam tidak lagi dilihat sebagai sistem keimanan, melainkan sebagai fenomena sejarah yang bisa dianalisis dengan metode positivistik. Para sarjana Barat seperti Ignaz Goldziher atau Joseph Schacht, misalnya, menilai ajaran Islam dan hadis Nabi dengan standar kritik historis yang biasa diterapkan pada teks-teks sekuler. Akibatnya, wahyu dan pengalaman spiritual umat Islam dianggap sebagai hasil konstruksi sosial belaka.
Harun Nasution, salah satu pemikir Islam Indonesia, menilai bahwa pendekatan orientalis semacam ini cenderung mengabaikan dimensi keimanan dan spiritualitas yang menjadi inti dari Islam. Menurutnya, ilmu tentang agama tidak dapat dipahami hanya dengan metode empiris karena agama memiliki unsur transendental yang tidak bisa dijelaskan sepenuhnya oleh rasio manusia. Pemisahan antara wahyu dan akal yang menjadi ciri khas epistemologi Barat dianggap tidak cocok untuk diterapkan pada kajian Islam. Oleh sebab itu, perlu dilakukan kritik metodologis agar studi Islam tidak kehilangan makna ruhaniahnya dan tetap berpijak pada nilai-nilai keimanan.
Kritik terhadap Pendekatan Barat
Sejumlah sarjana Muslim kontemporer menyoroti keterbatasan dan bias dalam pendekatan Barat terhadap Islam. Azyumardi Azra dan M. Amin Abdullah misalnya, mengkritik kecenderungan kajian orientalis yang terlalu historis dan filologis. Mereka berpendapat bahwa orientalisme lebih banyak memusatkan perhatian pada analisis teks kuno dan data sejarah secara literal, tanpa berupaya menggali makna normatif dan pesan moral yang dikandungnya. Dengan kata lain, Islam hanya dipahami sebagai objek penelitian akademis, bukan sebagai sumber nilai dan inspirasi kehidupan umat.