Mohon tunggu...
Bambang Iqbal Safrani
Bambang Iqbal Safrani Mohon Tunggu... Guru - Writer, Teacher, and Learner

Sarjana Pendidikan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Resume Buku SEKOLAH HARAPAN : SEKOLAH BEBAS KORUPSI

16 Mei 2015   05:36 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:57 145
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Resume Buku  SEKOLAH HARAPAN : SEKOLAH BEBAS KORUPSI

Judul Buku     :      SEKOLAH HARAPAN : SEKOLAH BEBAS KORUPSI

Penulis            :      Teten Masduki, Fasli Jalal, Bambang Wisudo, Ade Irawan, Dedi Rosadi,                 Agus Rustandi,  Agus F. Hidayat, Heri Muhammad Fajar.

Penerbit           :      ICW - Sekolah Tanpa Batas - HIVOS

Tahun Terbit   :      2011

Tebal               :      305 Halaman

Resume ini ditulis untuk melengkapi tugas MPA Jurusan PGSD Universitas Negeri Jakarta

Oleh                :      Bambang Iqbal Safrani

NIM                :      1815142142

Jurusan            :      PGSD

Fakultas          :      Fakultas Ilmu Pendidikan

Sekolah dan masyarakat keduanya tidak bisa dipisahkan. Keadaaan sebuah sekolah tidak bisa dipisahkan dari perkembangan masyarakatnya, karena ia membentuk dan dibentuk oleh masyarakat sekitarnya. Dari banyak pengalaman, peranan sekolah dalam memajukan masyarakat akan sangat ditentukan oleh hubungan-hubungan yang demokratis di antara unsur-unsur pengelolanya, yaitu kepala sekolah, guru, siswa, dan orangtua murid.

Para guru umumnya, yang bukan bagian dayang- dayang kepala sekolah, meskipun mengetahui banyak penyimpangan pengelolaan dan anggaran sekolah tidak bisa berbuat banyak dalam berhadapan dengan kekuasaan kepala sekolah yang menentukan nasib mereka. Pengalaman dikekang selama 32 tahun di bawah Pemerintahan otoriter Orde Baru, yang melakukan penunggalan dan depolitisasi organisasi guru di bawah PGRI, hingga kini pengaruhnya masih kuat membelenggu akal sehat dan keberanian mereka untuk menjadi penyeimbang kekuasaan dominan kepala sekolah. Guru, seperti digambarkan oleh aktivis reformasi pendidikan Ade Irawan, karena tidak berani menuntut haknya ke atas, maka lebih suka mecari uang ke bawah, dan tidak sedikit yang mengeksploitasi diri sendiri seperti mengajar di banyak tempat, menjadi tukang ojek dan lain sebagainya.

Sejak diterapkan manajemen berbasis sekolah (MBS) dan berbasis masyarakat, dengan perangkat Komite Sekolah di tingkat sekolah dan Komite Pendidikan di tingkat kota atau kabupaten, secara prosedural sebenarnya sudah mengadopsi prinsip desentralisasi dan cara-cara demokratis dalam pengelolaan pendidikan. Di Chicago Amerika Serikat, perlu gerakan masyarakat yang bertahun- tahun dan melelahkan untuk melahirkan model pengelolaan pendidikan partisipatif semacam itu, mulai dari penyusunan anggaran, kurikulum, pengangkatan kepala sekolah dan kesejahteraan guru.

Pengelolaan anggaran sekolah yang partisipatif terbukti manjur untuk mengurangi korupsi dalam pengelolaan anggaran sekolah, sehingga dengan angaran yang terbatas sekalipun bisa dioptimalkna sepenuhnya untuk peningakatan sarana belajar dan mengajar. Namun gerakan reformasi pendidikan jangan berhenti sampai di situ, tapi bagaimana menhadirkan mekanisme perencanaan kebijakan dan penganggaran sekolah menjadi sarana demokrasi dalam perumusan kurikulum, kesejahteraan guru, pengangkatan kepala sekolah dan lain sebagainya. Di tingkat nasional gerakan reformasi pendidikan harus terus mengoptimasikan desentralisasi pengelolaan anggaran pendidikan nasional, yang secara konstitusi sebesar 20 persen dari APBN, secara masksimal ke sekolah-sekolah agar tidak disedot banyak oleh birokrasi pendidikan seperti sekarang. Birokrasi pendidikan harus disederhanakan dan karakternya harus melayani kebutuhan sekolah, bukan sebaliknya dilayani dan memeras sekolah. Debirokratisasi pendidikan dan demokratisasi sekolah barangkali dua agenda penting yang harus terus kita upayakan secara bersama-sama agar betul-betul pendidikan bisa dinikmati oleh semua orang.

Pemerintah Indonesia bersungguh-sungguh untuk memenuhi kewajiban konstitusional dalam rangka menjamin pendidikan dasar bagi semua anak tanpa terkecuali. Investasi signifikan yang dilakukan oleh Pemerintah, dimulai semenjak tahun 2005, adalah Program Biaya Operasional Sekolah (BOS) yang menyerap kurang lebih 8,9 persen dari total Belanja Pendidikan Nasional atau setara dengan 22 persen biaya pendidikan pusat. BOS diberikan secara langsung tanpa intervensi birokrasi kepada sekolah-sekolah, baik negeri, swasta atau sekolah berbasis agama dengan basis perhitungan yang mudah yaitu per siswa.

Tidak sekedar mengalirkan gerakan anti korupsi ke dalam sekolah untuk sekedar mengawasi BOS, tapi ICW juga membangkitkan rasa kepemilikan bersama dari pemangku kepentingan terdekat. Bukan sekedar kesadaran transparansi dan akuntabilitas, tapi juga gerakan bersama untuk mengisi kekosongan biaya operasional pendidikan satuan pendidikan yang standarnya, sesuai kebutuhan ril sekolah, di atas BOS.

Menjelang tahap akhir penulisan buku ini terungkap sejumlah kasus korupsi dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang didanai oleh utang pemerintah pada Bank Dunia. Terungkapnya korupsi dana BOS itu berasal dari riset pemetaan kebijakan dana BOS dan Dana Alokasi Khusus (DAK) di Kabupaten Garut dan Tangerang. Ketika dicek ke jaringan ICW di Kabupaten Serang, Purwakarta, Jember, dan Medan ternyata terjadi korupsi dana BOS dan DAK dengan pola yang sama. Modus yang dilakukan antara lain: sekolah disodori daftar barang yang harus dibeli atau sumbangan yang harus dibiayai dari alokasi dana BOS. Di antaranya dengan menjual lembar kerja siswa (LKS) yang kualitasnya sangat buruk sehingga tidak bisa dipergunakan untuk belajar- mengajar. LKS itu dibuat dengan mengumpulkan guru- guru dan kepala sekolah di tingkat kecamatan, dikoordinasi oleh aparat Dinas Kecamatan, kemudian sekolah dipaksa membeli LKS tersebut. Praktek tersebut dilakukan tidak lain untuk mengambil uang dari sekolah. “Ternyata dari tahun ke tahun, pola korupsinya pendidikan tidak banyak berubah,” kata Agus Gandhi, sekretaris Jenderal G2W.

Gerakan APBS (Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah) Partisipatif, kata Ade Irawan, bukannya tidak ada kontroversi. Bahkan di kalangan ICW sendiri. Ada sejumlah aktivis yang mengritik program ini terlalu jauh melibatkan ICW ke akar rumput sementara mandat ICW adalah sebagai anjing pengawas (watch dog). Di lain pihak ada yang berpendapat bahwa gerakan APBS Partisipatif merupakan model bagaimana membangun gerakan sosial antikorupsi. “Ini sesuai motto ICW, bersama rakyat melawan korupsi,” kata Ade Irawan. Sekolah merupakan muara anggaran baik yang berasal dari APBN maupun APBD. Oleh karena itu perjuangan yang harus dilakukan adalah bagaimana anggaran tersebut bisa sebanyak-banyaknya masuk ke sekolah demi peningkatan mutu layanan pendidikan. APBS Partisipatif merupakan bagian dari strategi menghentikan korupsi sekolah dengan 54 Sekolah Harapan Sekolah Bebas Korupsi menyentuh tulang punggungnya. Ketika APBS Partisipatif berjalan, korupsi di tingkat Departemen, Dinas, ataupun sekolah bisa dipotong. Senjata untuk melawan korupsi pendidikan sudah cukup lengkap. Menjelang tahap akhir penulisan buku ini pula ICW memenangkan gugatan ke Komisi Informasi. Komisi Informasi menyatakan bahwa dokumen anggaran sekolah, sampai bukti-bukti kuitansi, merupakan informasi yang boleh diakses publik. Ketika informasi keuangan sekolah terbuka, ketika sekolah bebas dari korupsi, warga bisa mendapatkan pelayanan pendidikan yang lebih baik. Ketika anggaran sekolah terbuka dan transapran, ketika masyarakat terlibat dalam pengelolaan anggaran sekolah, paling tidak hak-hak warga sekolah setidak-tidaknya atas kelayakan fisik tidak hilang dan korupsi berkurang. Orangtua dan guru merasa memiliki sekolah, karena segala hal, termasuk tujuan sekolah ditentukan bersama. Bukan hanya oleh kepala sekolah, Dinas, atau Departemen. Gerakan APBS Partisipatif merupakan gerakan untuk melawan korupsi sekaligus gerakan untuk memperbaiki kualitas pendidikan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun