Mohon tunggu...
Iqbal Djawad
Iqbal Djawad Mohon Tunggu... Dosen - Pengajar di Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin Makassar

Ph.D di Bidang Aquatic Animal Physiology, Hiroshima University

Selanjutnya

Tutup

Worklife

Mappalili Pembudidaya Udang

1 Mei 2020   23:16 Diperbarui: 2 Mei 2020   00:12 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Awalnya saya tidak sadar ketika bu Aslamyah, kaprodi BDP Universitas Hasanuddin yang baik hati dan tidak lelah mengurusin anggotanya, berinisiatif untuk mengajak semua dosen BDP untuk melakukan pengabdian masyarakat di Desa Lawellu Kabupaten Barru. Setiba di Desa Lawellu, di sebuah Tambak Supra Intensif udang vanamei, dalam hati saya masih bertanya2 kenapa ke Desa Lawellu karena info yg saya terima sebelumnya kita akan ke Siddo. Seperti layaknya budaya orang Bugis Makassar, tuan rumah Haji Maming mengajak kita naik dan masuk ke dlm rumahnya serta mempersilahkan kami utk makan kue-kue bugis dan minum. Tidak lama setelah itu kami dipersilahkan untuk makan siang.

Yang biasa ke daerah pertambakan pasti sdh bisa menebak makanan apa yang dihadirkan tuan rumah, yah ikan Bolu (Bandeng), baronang, udang dan cobek2nya (sambal). Sampai disini saya belum "tune in" juga kenapa di Desa Lawellu, walaupun sdh mendapat gambaran bahwa tambak2 di desa ini baru terserang penyakit "berak putih".

Tidak jauh dari rumah Haji Maming, ada Mesjid yg sudah mengumandangkan Adzan Dhuhur pertanda waktu shalat dhuhur telah tiba. Setelah shalat dhuhur, saya bertanya ke Dody Dharmawan, kepala UPT Tambak Unhas, seorang teman yg mengabdikan banyak waktunya dengan kerja, kerja, kerja untuk kepentingan orang banyak. Dod...yang dekat masjid itu gedung apa? Dia menjawab itu dulu adalah Hatchery ADB Siddo sekarang sdh diambil alih sebagai unit pembenihan kepiting dan udang vanamei nya BPPABP Maros (dulu Balitkanta).

Masya Allah dalam hati saya, berarti antara tahun 1987-1988 saya, Dody, Zainuddin, Wawan, Rijal dan Rimal yg bekerja di PT Sulawesi Agro Utama, sering ke tempat ini, karena Hatchery Siddo adalah "guru" dari PT SAU waktu itu. Hatchery Siddo dan SAU lah yg pertama mengadopsi pembenihan udang windu sistem Hawai, ditengah maraknya pembenihan udang windu sistem Taiwan di banyak Hatchery pada saat itu.

Senior kami di perikanan, bapak Haruna Hamal di bantu dua alumni perikanan 83, Asaad dan Yoce Yanto yg konon kabarnya orang2 dibalik layar keberhasilan Hatchery ADB Siddo. Banyak sekali perubahan di desa ini. Jalanan masuk sdh teraspal mulus, di bawah rumah2 bugis terparkir mobil2 keluaran terbaru.

Ketika kembali ke rumah Haji Maming, beberapa orang petambak sudah berkumpul di kolong rumah beliau. Saya paham semuanya ketika Dody membuka acara dan dilanjutkan oleh pengantar terjadinya wabah penyakit udang oleh Hilal Anshary ahli penyakit udang, lulusan Universitas Tokyo, dan tahu bahwa tempat ini namanya Siddo yang dulu sangat terkenal sebagai sentra penghasil benih udang windu di Sulawesi Selatan.

Jujur saya katakan saya serasa sangat bergairah ketika mendengar penjelasan Hilal dan diskusi dengan petambak. Dibanding beberapa puluh tahun lalu, masalah yang dihadapi mereka semakin kompleks. Menghadapi masalah kekinian butuh strategi terkini yg dikawinkan dengan kearifan lokal.

Dari diskusi sy tahu bahwa di pertanian ada prosesi "mappalili" ketika musim tanam sdh mulai. Di mappalili lah konon kabarnya disepakati kapan musim tanam padi dimulai, varietas apa yg akan digunakan. Saya bertanya kenapa tidak ada mappalili di petani tambak?.

Seorang alumni Sosek Perikanan UNHAS yg sekarang menjadi penyuluh perikanan di Desa Lawellu mengatakan, mappalili tidak ada di petani tambak, karena mereka melakukan tebar pertama dan panen berbeda-beda antar petambak. Pembudidaya yg satu baru mempersiapkan lahan, pembudidaya yg lain sdh siap2 panen, sehingga "orkestra"nya tidak seirama seperti "orkestra" petani padi. Sehingga serangan virus dan teman2nya susah dikendalikan secara kolektif dan sadar atau tidak sadar memberi wadah ke para virus dan teman2nya sepanjang tahun.

Teringat strategi yg dipakai petani tambak Udang Kuruma (Penaeus japonicus) di Momoshima, sebuah pulau kecil di Kepulauan Seto yg mengganti jenis yang dibudidayakan ketika ada tanda2 terserang penyakit. Mereka akan mengganti dengan membudidayakan jenis ikan yang lain sehingga lahan bisa "bernafas" dan siklus spesifik penyakit udang kuruma bisa terputus. Jadi dalam setahun lahan budidaya tidak diperuntukkan terus buat udang kuruma.

Mereka mengerti bahwa mahluk hidup termasuk udang dan ikan mempunyai sillus optimal dan siklus minimal. Ketika mereka dieksploitasi semesta tidak akan mendukung dan "marah" sehingga bisa menjadi "malapetaka". Ini semua mereka atur dlm sebuah koperasi yang namanya "nihon saibai gyogyo senta ( Japan Sea Farming Association). Sistem di Jepang mirip dengan Mappalili dlm sekala yg lebih besar. Sebetulnya kita kaya dengan kearifan2 lokal tetapi tergerus atas nama keuntungan materi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun