Mohon tunggu...
Iqbal Taro
Iqbal Taro Mohon Tunggu... Guru - Teacher

Aku ingin jadi penulis fiksi!

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Halaman Keempat

27 Maret 2013   08:19 Diperbarui: 24 Juni 2015   16:09 99
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Hari ini, tanggal 24 februari 2013 aku bangun pagi, tidak seperti biasanya. Di Maroko, Tidak seperti biasanya kesadaran kembali kepadaku jam 6 pagi, dan lebih jarang lagi aku memutuskan bangkit pada waktu yang sama. Aku tahu bahwa Tuhan lah yang memprakarsai semua yang terjadi di muka bumi, juga padaku salah satu hambanya. Tapi aku takkan memungkiri bahwa ini semua bisa saja terjadi karena kekuatan tekadku. Hari ini, aku ingin melakukan sesuatu yang penting pada jam 7 pagi, waktu Kenitra, Maroko. Saat terbangun aku sadari belenggu setan kembali menemuiku. Aku herus memilih antara kembali tertidur atau bangkit dan berwudhu, menunaikan shalat subuh. Untuk sejenak aku tak bisa memilih, suhu dingin Maroko memintaku kembali terlelap sejenak. Namun aku memutuskan bangkit, ada tujuan yang harus kucapai pagi ini. Ada sesuatu yang ingin kulakukan. Aku Duduk, kulihat temanku, Hafizul, sudah bangun dan untuk sesaat menengok ke kamarku, yang dia dapati aku sedang duduk di atas kasurku berselimut. Dia menatapku yang ada dalam gelap kamar, aku melihatnya dari atas kasur. Dia berlalu untuk mengambil air wudhu, aku masih duduk berselimut kasur, menunggu. Menunggu kekuatan tekadku penuh kembali. Dan yang ditunggu pasti tiba, tibalah dia. Temanku Aros dan argi masih terlelap dalam nyenyak, dan aku berdiri, aku berjalan ke kamar kecil, aku berwudhu. Seketika dingin air menyetrumku yang baru saja kembali ke kesadaran, aku tersentak. Tapi aku tak bereaksi, kubiarkan dinginnya air menggoyangkan setiap syarafku yang masih berangkulan mesra dengan kantuk. Selesai wudhu seluruh badanku gemetar hebat, biasa terjadi bila kau kedinginan, kawan. Aku yang masih berbaju kaos bercelana jins mengambil selembar sweater tak terlipat di lemariku, tingkat 2 dari bawah, setingkat di atas lemari Aros, dibawah lemari Argi. Dan disana kutunaikan shalat subuh. Di kamarku di lantai 2. Aku tak sanggup melafalakan lantunan al-fatihah dengan baik, lantaran tubuh yang bergetar, gigi gemeretak dan lidah yang sariawan kecil, namun kutunaikan juga kewajiban ini. 2 rakaat shalat Shubuh yang singkat. Selesai shalat aku kembali berbaring sejenak, entahlah. Lalu aku bangkit. Bersama sweater tipis selembar, dan calana jins, kuambil Telecard, kuambil sendal, kuambil kunci rumah, aku keluar. Sudah dekat, sudah jam 6.52. Suhu diluar sini tak bersahabat. Dingin memaksaku untuk merasakan sedikit penyesalan, "Kenapa tak kau ambil jaket yang lebih tebal, Iqbal?" Tapi mundur malas, aku melangkah. Sandal galangku tak membantuku meahan hawa dingin, jins longgarku sama saja, tapi biarkan. Sampai disana, untuk sampai disana aku bisa tahan. Sedikit berjalan dan aku sampai. Di depanku berdiri sebuah telepon umum, dia menantiku dengan mata kosong. Wajah yang sama dengan yang ia perlihatkan pada siapapun yang hendak memakai jasanya, "Lakukan yang kau mau, Oke? Setelah itu pergi dan tinggalkan aku sendiri lagi!" Kulihat panduan pemakaian telecard yang sudah kugenggam sedari tadi. TAnpa selembar catatanpun aku yakin dengan nomor yang kutekan, dengan siapa yang ingin kupanggil. Panggilan pertama putus tanpa sebab, mungkin pengaruh jaringan. Aku mengulang yang sudah kulakukan. Dan Disanalah dia, jauh di Indonesia, jauh lagi masuk Ke Malakaji. "Assalamu alaikum...Hai" Aku coba buka percakapan yang sudah kurag lebih sebulan tertutup. "Wa'alaikum salam, siapa ini?" di Indonesia jam 2 siang, Meski kecil terdengar, suaranya jelas. Ya, dialah orangnya. "Ini Iqbal, bagaiman kabarta dek?" Dan aku menunggu. Apapun. Akupun tak tahu apa yang kutunggu. "Oh, kabarku baik ji" Nada yang sama, suara itu menegeluarkan nada yang sama, nada muak tertahan yang terdengar melarangku bicara. Dan aku mulai pusing. "Di Kampus?"Aku tak peduli, aku masih ingin mendengar suaranya. "Bukan kak, di rumah ka sekarang ini" "Maksudnya, bagaimana kabarnya kampus." "Ndak kutau juga kak, lama ka ndak ke kampus, libur ka ini" "Oh,iya di? baru kuingat libur ki pale." Aku berharap perbincangan ini akan berjalan lama. "Apa kak? ndak jelas suarata. Putus-putus"........ Dan bunyi tanda sambungan terputus terdengar. Menusuk telingaku, terpantul disana dan menikam semua yang tertikam dalam tubuhku. Kalimat terakhirnya menyimpan cerita yang dalam. Yang hanya sedikit orang yang tahu betul maknanya. Tak kuduga aku salah satunya. Kuletakkan kembali gagang telepon. Kutarik telecard yang baru kupakai semenit kurang. Kumasukkan kesaku sweaterku. Aku berjalan pulang. Saat kuletakkan kembali gagang telepon itu, kau tahu, kawan? Kenitra masih dingin..

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun