Mohon tunggu...
I PUTU EKA KRESNA JAYA
I PUTU EKA KRESNA JAYA Mohon Tunggu... Mahasiswa - MAHASISWA

NAMA IPUTU EKA KRESNA JAYA NIM 2217041334 saya ingin membagi materi perkuliahan saya

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Polemik Upacara Ngaben di Bali

11 Juli 2023   20:43 Diperbarui: 11 Juli 2023   20:45 176
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

POLEMIK UPACARA NGABEN DI BALI

 Bali adalah salah satu porvinsi yang ada di Indonesia, Bali memiliki citra yang baik di dunia, sebagai salah satu destinasi terbaik di dunia Bali memiliki tagline The Last Paradise atau surga terakhir yang ada di bumi. Bali memiliki pemandangan alam yang indah, selain itu kelebihan yang dimiliki Bali adalah para wisatawan tidak perlu memakan waktu banyak dalam perjalanan jika ingin berwisata dari suasana pantai, gunung, danau, bukit, dan lainnya. Karena memang Bali tidak memiliki daerah yang luas dan relatif kecil, sehingga dari destinasi wisata satu ke yang lainnya relatif cepat ditempuh.

 Selain pemandangan indah alamnya yang dianugrahkan oleh Tuhan, daya tarik Bali yang mendunia itu bukanlah sekadar alam saja, tetapi ada pada culture-nya. Bali memiliki budaya yang unik daripada banyak kebudayaan lain yang ada di Indonesia atau bahkan dunia, dan budaya ini rasanya dapat meng-entertain para pengunjung yang datang dibandingkan dengan budaya di tempat lain. Sebagai mayoritas pemeluk agama Hindu, Bali sendiri memiliki ciri khas tersendiri dalam pelaksanaan ritual keagamaannya, dimana kebudayaan Bali adalah akulturasi antara kebudayaan agama Hindu dengan kebudayaan pra-Hindu di Bali. Dengan keunikannya tersebut, Bali memiliki ketertarikan yang luar biasa di mata dunia international.

 Terdapat banyak sekali ritual yang dilakukan oleh umat Hindu di Bali dalam upacara keagamaannya, dan setiap upacara itu ada tingkatan menurut Hindu. Tingkatan itu dimulai dari Nista Mandala, Madya Mandala, dan Utama Mandala, artinya adalah pelaksanaan ritual dari yang sederhana, menengah, dan yang utama. Upacara Ngaben adalah salah satu upacara yang menjadi perhatian di Bali, karena di Indonesia cenderung dalam pelaksanaan upacara kematian tersebut adalah dengan cara mengubur mayat, tetapi di Bali dengan cara dibakar dengan segala prosesinya, biasanya perhatian wisatawan akan tertuju pada Bade, Lembu, Singa, dan lain sebagainya yang merupakan sarana upacara Ngaben di Bali, beberapa sarana tersebut dipercaya menjadi pengantar roh orang yang sudah meninggal kepada kehidupan setelahnya.

 Keseruan dalam prosesi Ngaben ini yang menjadi daya tarik para wisatawa, karena Bade, Lembu, Singa, dan lain sebagainya itu diarak oleh banyak sekali masyarakat yang terkait dalam prosesi Ngaben tersebut. Sarana upacara tersebut dihias sedemikian rupa sehingga secara visual itu megah dan indah untuk dilihat, hal tersebut memiliki nilai estetika dan culture story yang tinggi hanya dengan melihatnya. Sehingga upacara Ngaben ini menarik perhatian dunia international. Upacara Ngaben adalah upacara kematian dalam agama Hindu di Bali, Atmadja dan Tuty (2014) menyatakan bahwa Ngaben termasuk dalam upacara yang besar karena penyelenggaraannya membutuhkan banyak struktur masyarakat dan kerjasama di dalamnya, diantaranya ada dadia (klen kecil patrilineal), desa pekraman (komunitas lokal mengurus masalah adat dan agama), dan lain sebagainya. Terlebih lagi komponen dalam ritual tersebut seperti banten yang cukup banyak diperlukan, banten sendiri ada komponen penyusunnya seperti buah-buahan, bunga-bungaan, janur, daun-daunan, dan lain sebagainya.

 Terlebih lagi jika yang memiliki upacara kematian tersebut dilaksanakan oleh orang berkasta atau orang yang memiliki kemampuan financial yang mapan, sudah menjadi fenomena di Bali jika orang-orang seperti yang disebut itu melaksanakan upacara ngaben dengan tingkatan Utama Mandala atau tingkat yang paling utama, atau paling tidak hal tersebut sudah menjadi stigma di masyarakat bahwa orang-orang berkasta, dan berkemampuan financial itu wajib melakukan upacara secara besar-besaran. Atau paling tidak, beberapa orang merasa harus melaksanakan upacara sebesar itu untuk penghormatan terakhir kepada orang yang sudah meninggal.

 Kendati demikian, sebenarnya upacara agama Hindu sebenarnya didasarkan pada esensinya, Atmadja (2018) dalam bukunya mengatakan bahwa agama Hindu tidak mengharuskan umatnya untuk melakukan upacara secara besar-besaran apalagi sampai "memiskinkan" umatnya. Jadi tidak ada dari agama Hindu sendiri kepada tuntutan yang mengarah untuk melakukan upacara keagamaan secara besar-besaran yang memakan biaya yang cukup banyak, dan agama Hindu juga tidak menyatakan adanya korelasi antara upacara yang besar dengan Surga atau Neraka. Jadi jika melihat dari fenomena Ngaben di Bali yang memakan banyak biaya bisa dikatakan merupakan improvisasi dari umat Hindu di Bali.

 Bertolak dari pemaparan di atas sebenarnya kita sudah mendapatkan poin bahwa pelaksanaan Ngaben di Bali tidak seharusnya dilakukan dengan besar-besaran, karena memang tidak ada aturan yang pasti untuk menuntut umat yang berkasta maupun yang memiliki kemampuan financial yang bagus untuk melaksanakan upacara Ngaben dengan besar-besaran. Apalagi orang yang tidak memiliki status sosial tersebut, tidak ada memang kewajiban melaksanakan upacara sebesar itu. Tetapi kadangkala fenomena ini terjadi berdasarkan kerelaan dari pelaksana itu sendiri yang menurut penulis rasanya tidak sepatutnya dilakukan jika melihat kondisi financial dan ajaran agama. Upacara Ngaben ini cukup dilihat berdasarkan esensinya saja, jika dilihat secara sederhana tujuan dari upacara ini adalah upacara terakhir untuk penghormatan terhadap orang yang sudah meninggal dan pengantaran rohnya kepada kehidupan selanjutnya. Jika pelaksanaan upacara Ngaben ini murni didasarkan pada hal tersebut dan mengabaikan stigma masyarakat atau bahkan gengsi sendiri, Ngaben sudah barang tentu tidak dilaksanakan dengan biaya yang "memiskinkan" pelaksananya, apalagi jika melihat seorang yang mendanai upacara tersebut dengan sampai menjual aset atau bahkan meminjam dengan jumlah yang teramat banyak.

 Jadi pandangan terhadap upacara Ngaben itu boros sebenarnya tidak benar, dan itu memang relatif terhadap setiap individu. Mungkin memang benar Ngaben termasuk upacara besar, tetapi dalam artian bahwa orang yang terlibat di dalamnya adalah struktur masyarakat yang beragam, bukan besar dalam hal biayanya. Karena besar atau tidaknya biaya yang dikeluarkan itu berkolerasi dengan tingkatan upacara yang dilakukan entah itu dilakukan secara Nista Mandala, Madya Mandala, atau Utama Mandala. Tetapi fakta bahwa setiap upacara tersebut bisa disederhanakan itu benar adanya, dan juga dalam ajaran agama Hindu tidak mengharuskan untuk siapa saja melaksanakan upacara pada tingkat Utama Mandala, hanya saja jika bisa melakukannya memang dianggap baik tetapi bukan berarti harus dilakukan. Kadang kala orang sering salah tafsir pada bagian itu sehingga untuk meraih upacara dengan tingkatan Utama Mandala, mengabaikan faktor pendukung lain yang bisa saja merugikan si pelaksana secara financial atau dirugikan secara sosial karena dipandang dengan stigma yang relatif tidak elok oleh masyarakat.

 Bahkan semenjak covid-19 mendunia, fenomena Ngaben yang distigmakan memakan banyak biaya mulai bergeser dengan adanya krematorium yang pendanaannya sangat minim, dan bahkan berbeda jauh dengan biaya Ngaben itu sendiri. Saat ini tidak sedikit krematorium di Bali yang menyediakan fasilitas pelaksanaan upacara Ngaben hingga tuntas, jadi tidak hanya dibakar saja melainkan sampai proras dan lain sebagainya. Fenomena pasca covid-19 ini membantah pandangan bahwa Ngaben itu adalah upacara keagamaan yang boros. Fenomena ini menjadikan tidak sedikit orang yang kurang mampu akhirnya melaksanakan upacara Ngaben di krematorium. Artinya jika dilihat dalam ajaran agama, pelaksanaan Ngaben di krematorium adalah upacara yang dilakukan secara sangat sederhana, tetapi tidak lepas dari esensinya bahwa itu adalah penghormatan untuk yang sudah meninggal dan juga pengantar roh ke dunia selanjutnya. Sempat disinggung oleh Atmadja (2010) dalam bukunya dikatakan bahwa sewaktu masa islamisasi di Jawa, salah satu yang membuat masyarakat mengkonversi agamanya adalah karena prosesi pemakaman di Hindu yang dianggap memakan biaya dan susah, yang tentu saja berbeda dengan Islam yang menguburkan jenazahnya.

 Tetapi juga tidak memungkiri masih ada orang yang mampu dan mau melaksanakan upacara kematian seperti Ngaben itu dengan besar-besaran atas dasar keikhlasan kepada ritual tersebut, tentu saja itu sangat diperbolehkan dan dianjurkan dalam ajaran agama Hindu. Tetapi ingat bahwa itu bukan kewajiban, dan sudah seyogyanya itu dipandang sebagai hal yang biasa saja, bukan sebagai tuntutan kepada diri sendiri, atau berpandangan bahwa dengan melaksanakan upacara kematian seperti itu adalah keterlaksanaan upacara yang paling bagus. Terlepas dari itu semua, esensi dan kehidmatan dalam menjalankan upacara Ngaben dari dimulai sampai selesai adalah hal yang paling utama, karena dilakukan dengan rasa keihklasan, ketulusan, kedamaian, dan nirpaksaan atau bahkan tuntutan kasat mata dari stigma masyarakat, agar supaya pelaksana upacara Ngaben tersebut tidak merasa terbebani.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun