Mohon tunggu...
ioanes rakhmat
ioanes rakhmat Mohon Tunggu... Penulis - Science and culture observer

Our thoughts are fallible. We therefore should go on thinking from various perspectives. We will never arrive at final definitive truths. All truths are alive, and therefore give life, strength and joy for all.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Sains tentang Kecerdasan Majemuk

29 Juni 2018   01:33 Diperbarui: 15 Juli 2018   16:58 1655
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: elhombredenegro/Flickr

Perasaan cinta kasih yang tulus, misalnya, mendorong akal kita juga untuk memikirkan dan mempertimbangkan banyak hal secara rasional, supaya uluran tangan kasih sayang kita dapat tepat dan kena sasaran untuk jangka panjang ketika kita mau menolong orang-orang lain yang sedang mengalami kesusahan berat yang serius dan perlu ditangani.

Sebaliknya juga betul. Ketika kita sedang memikirkan nasib orang-orang yang sedang ditimpa azab dan berbagai kemalangan berat, isi pikiran kita atau rasionalitas kita tentang diri mereka akan berbeda jika kita pada waktu yang sama merasakan ikatan emosional yang kuat dengan mereka, merasa senasib dan sepenanggungan, merasa iba dan sayang kepada mereka, dibandingkan jika kita memandang mereka dengan dingin saja sebagai beban-beban ekonomis dan mental yang tidak perlu kita pikul.

Antonio Damasio, Baba Shiv, George Loewenstein, dkk, menemukan basis neurologis emosi yang berinteraksi dengan akal dan nalar.

Kepekaan emosional diproses oleh suatu bagian otak yang dinamakan korteks ventro medial orbitofrontalis. Damasio dkk menemukan bahwa jika bagian otak ini rusak atau terluka atau terserang penyakit, emosi tidak muncul ketika orang sedang berada dalam situasi pengambilan keputusan dalam kehidupan real yang mengandung risiko-risiko tinggi di masa depan yang hanya bisa dirasakan lewat emosi yang peka dan aktif. Akibatnya, keputusan yang mereka ambil tidak benar, buruk, dan menjerumuskan mereka ke dalam kerugian atau bahaya-bahaya lain. Bahkan dalam banyak kasus, jika bagian neural pemroses emosi dalam otak ini rusak, si penderita tidak bisa mengambil keputusan apapun, bahkan keputusan-keputusan kecil sehari-hari.

Lain halnya dengan orang yang memiliki korteks ventro medial orbitofrontalis yang sehat. Karena emosi mereka bekerja dan terlibat ketika mereka menimbang-nimbang banyak hal sebelum mereka memutuskan sesuatu, mereka terhindar dari kerugian dan risiko-risiko buruk yang bisa menimpa mereka ketika keputusan sudah diambil dan dijalankan.

Dalam eksperimen yang kedua, ditemukan fakta ini: Kalau emosi tidak terlibat, dan orang bertahan pada sikap sebelumnya yang analitis rasional, orang tersebut akan mengalami kerugian-kerugian dalam mengambil keputusan selanjutnya dalam suatu sikon kehidupan yang real atau mereka tidak mau mengambil keputusan apapun, dan memilih berdiam diri. Dalam hal ini, terlihat bahwa emosi juga mempunyai sisi buruk jika tidak diperhitungkan, dan mendatangkan keberuntungan jika diperhitungkan atau dilibatkan./18/

Dalam suatu bagian buku tebal (857 halaman) yang disunting Dale Purves dkk, yang berjudul Neuroscience, diberikan deskripsi tentang interaksi dan saling pengaruh yang menjelimet antara bagian-bagian otak yang terkait dengan pemrosesan emosi dan bagian-bagian otak yang menjadi pusat aktivitas penalaran logis ketika orang sedang menimbang-nimbang banyak hal sebelum mereka mengambil keputusan-keputusan penting yang masuk akal.

Bagian-bagian otak yang membentuk jejaring dan interkonektivitas neural emosi dan kognisi yang rumit itu mencakup korteks prafrontalis, korteks prafrontalis medial, korteks orbitofrontalis, amygdala, striatum dan thalamus. Selain itu, dalam proses timbang-menimbang sebelum suatu keputusan kita ambil dalam suatu sikon tertentu, kita juga menerima umpan-balik indrawi dari organ-organ besar dalam tubuh kita dan umpan balik ragawi yang intens dan berubah-ubah, dengan kita sadari atau tanpa kita sadari, yang diproses oleh jejaring neurologis yang rumit dalam otak kita./19/

Jadi, memakai sebuah metafora lain, emosi dan akal dapat diibaratkan sebagai sebuah gunting yang memiliki dua bilah mata, yang harus bekerja bersama dan harmonis untuk bisa sukses menggunting sesuatu. Ada saatnya bilah mata emosi bergerak lebih dulu; dan ada waktunya juga bilah mata nalar bergerak duluan. Setelah itu, keduanya saling merangkul, merapat dan berkonvergensi.

Nah, selanjutnya Gardner ternyata juga dengan tegas menolak jika kemampuan orang untuk beragama atau untuk membangun kehidupan spiritual disebut sebagai kecerdasan. Baginya "KECERDASAN SPIRITUAL" itu TIDAK ADA, karena dua alasan berikut.

Alasan pertama, semua pengalaman spiritual adalah pengalaman fenomenologis yang sangat individualis, yang isi dan bentuknya bergantung pada latarbelakang ideologis religiokultural si individu. Kalau kemampuan beriman kepada Tuhan yang tidak empiris (atau kepada wujud-wujud lain yang dipercaya berada dalam alam gaib) digolongkan sebagai suatu kecerdasan, mustinya para saintis yang ateis, atas nama sains, juga memiliki dan mengakui kecerdasan spiritual ini, tapi kita tahu kenyataaannya tidak demikian.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun