Mohon tunggu...
ioanes rakhmat
ioanes rakhmat Mohon Tunggu... Penulis - Science and culture observer

Our thoughts are fallible. We therefore should go on thinking from various perspectives. We will never arrive at final definitive truths. All truths are alive, and therefore give life, strength and joy for all.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Apakah “Schadenfreude” Itu? Politiskah?

9 Mei 2016   22:51 Diperbarui: 10 Mei 2016   12:43 819
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

Image Schadenfreude. Senang melihat orang lain menderita. Sumber gambar BerlinRomExpress, 20 May 2012, pada https://berlinromexpress.com/2012/05/20/galli-della-schadenfreude/.

 

 

“Schadenfreude” adalah sebuah kata Jerman bentukan dari dua kata benda “Schaden” dan “Freude” yang masing-masing berarti “bahaya” atau “kerusakan” (Inggris: “harm” atau “damage”) dan “kegirangan” (Inggris: “joy” atau “pleasure” atau “delight”). Jika diinggriskan, Schadenfreude menjadi harm-joy. Kata benda gloating (atau glee) dalam bahasa Inggris juga mengungkap hal yang sama. Apa makna kata gabungan Schadenfreude?

“Schadenfreude” dipakai dalam psikologi untuk mengacu ke kondisi mental negatif seseorang yang bergembira dan senang bahkan tertawa terbahak-bahak kegirangan ketika dia melihat seorang lain sedang tertimpa azab atau duka atau mengalami keadaan sial atau bahaya atau petaka. Ada psikolog yang melihat “Schadenfreude” sebagai sisi gelap kodrat manusia.

Sikap “Schadenfreude” ini bukan sikap “bawah sadar” (meski bisa!), tetapi suatu sikap yang sangat disadari. Bahkan dalam banyak kasus, “Schadenfreude” sengaja diciptakan untuk berbagai tujuan, khususnya dalam pertarungan politik untuk mencemooh, melecehkan, merendahkan dan menjatuhkan pamor lawan di muka umum dengan cara-cara licik dan melawan hukum. Atau sebagai suatu tindakan pembalasan dendam karena iri hati dan kedengkian.

Ilustrasi yang terlampir di atas memberi sebuah contoh gamblang apa itu “Schadenfreude”. Si anak bertanya ke ayahnya, “Ayah, sebetulnya apa sih yang dimaksud dengan Schadenfreude?” Ketika sang ayah bersiap-siap menjelaskan, “Ehem... begini anakku...”, tiba-tiba sebuah pot bunga jatuh dari atas dan menimpa kepala sang ayah.... bleeetaaak.

Tentu saja sang ayah puyeng seribu satu keliling. Sakit sekali. Untung tidak sampai kelengar atau gegar otak. Nah, di saat sang ayah sedang kesakitan luar biasa, si anak malah melihat kejadiannya lucu. Si anak tertawa terbahak-bahak tak bisa ditahan, tidak punya empati sama sekali terhadap ayahnya sendiri. Satu kata saja: Sinting! Pertanyaan si anak telah dijawab sendiri olehnya tanpa disadarinya! Ketimbang jatuh kasihan lalu mendekap sang ayah sambil satu tangannya memijat-mijat kepala sang ayah, si anak malah memperlihatkan perilaku “Schadenfreude”.

Kita semua mungkin pernah terserang “Schadenfreude”. Bergembira melihat orang lain susah; susah karena macam-macam penyebab, misalnya sakit atau terkena musibah tak terduga; atau susah karena kita sendiri yang sengaja membuatnya susah.

Kita belum menjadi manusia kalau “Schadenfreude” masih ada pada kita hingga dewasa, betapapun penting atau tinggi kedudukan kita dalam masyarakat, dan betapapun kita sangat kaya raya.

Ketika sejumlah politikus atau sekelompok orang yang hidup enak senang dan gembira melihat sebagian keluarga nelayan yang, atas anjuran mereka, memilih tetap bertahan hidup susah dan serba rentan di dalam perahu-perahu kecil mereka ketimbang ikhlas pindah ke rusun-rusun yang disediakan Pemprov DKI di tahun 2016 ini, mereka, para politikus itu dan kelompok pendukung mereka, sebetulnya sedang terkena Schadenfreude sementara mereka sedang menyerang lawan-lawan politik mereka, khususnya pemimpin teratas kota DKI Jakarta.

Dalam bukunya yang berjudul The Joy of Pain: Schadenfreude and the Dark Side of Human Nature (Oxford University Press, 2013), Richard H. Smith bahkan melihat genosida atas enam juta orang Yahudi oleh rezim Nazi di bawah Hitler adalah suatu bentuk “Schadenfreude” bangsa Jerman terhadap bangsa Yahudi. Karena sangat banyak orang Yahudi yang berhasil dalam banyak kegiatan profesional pada masa itu, bagian terbesar bangsa Jerman menjadi iri hati dan dengki. Lalu genosida atas bangsa Yahudi berlangsung, dan bangsa Jerman tertawa senang melihat penderitaan dan kebinasaan jutaan orang Yahudi yang mereka datangkan sendiri lewat mesin politik dan militer Nazi yang brutal.

Seseorang yang jiwanya sudah matang, tidak akan terkena “Schadenfreude”. Sebaliknya, dia mampu ikut merasakan dukacita dan azab orang lain sedalam-dalamnya, siapapun dan di mana pun orang lain itu berada dan ketika apapun. Lalu dia mengusahakan berbagai pertolongan yang bisa membantu orang lain itu lebih ringan memikul azab mereka dan dapat hidup dengan lebih baik. Dia tidak akan pernah memanfaatkan azab orang lain untuk keuntungan dirinya sendiri atau untuk kepuasan batinnya sendiri.

Tapi ingatlah, menanggung dosa, azab dan duka tujuh milyar lebih manusia di abad ke-21 ini oleh anda sendirian, tentu saja suatu kemustahilan dari segala kemustahilan. Ini cuma khayalan seorang megalomaniak. Jadilah orang kecil yang berjiwa besar saja.

Cukuplah anda kalahkan kekuatan “Schadenfreude” di saat anda melihat satu orang manusia lain sedang tertimpa kemalangan di hadapan anda, apapun agama dan suku atau etnis atau kebangsaan, asal daerah atau warna kulitnya atau bahasa ibunya. Jika dia lapar, berikan separuh roti yang ada di tangan anda, atau anda berikan seluruhnya. Jika dia haus, berikan sebotol air yang ada pada anda semuanya. Jika dia tidak punya sebuah rumah yang layak dihuni, bangunkan sebuah rumah sederhana namun layak untuk dia tinggali. Jika dia sedang kedinginan di musim dingin yang menyengat dan menggigit, tanggalkan mantel anda dan berikan kepadanya.

Bebaskan diri anda dari Schadenfreude. Jadilah manusia kepada sesama manusia lainnya. Jangan bersenang-senang di atas penderitaan orang lain, atau karena penderitaan orang lain. Para pelawak dan pembanyol memang cakap membuat anda terbahak-bahak. Tetapi orang yang sedang terkena azab dan kemalangan, harus anda tolong dan bebaskan, bukan untuk membuat anda senang dan gembira dan tertawa terpingkal-pingkal. Buang jauh-jauh sisi gelap Schadenfreude dari dalam mental anda. Buatlah lebih bercahaya lagi sisi terang kebajikan diri anda.

Tetapi, masih ada sebuah pertanyaan yang anda musti jawab sendiri: Apakah “Schadenfreude” yang diungkap dan diarahkan masyarakat yang sehat terhadap para koruptor yang sudah dijatuhi hukuman penjara puluhan tahun dan dijadikan miskin total, adalah “Schadenfreude” yang etis dan menimbulkan efek jera dan efek takut kepada para calon koruptor lain?

Pertimbangkanlah! Ingatlah, koruptor kakap terbesar di dunia yang tercatat hingga saat ini berasal dari negeri anda, sosok yang pernah menjadi orang nomor satu di NKRI.

 Salam dalam kesunyian,
 Jakarta, 09 Mei 2016
 ioanes rakhmat

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun