Mohon tunggu...
ioanes rakhmat
ioanes rakhmat Mohon Tunggu... Penulis - Science and culture observer

Our thoughts are fallible. We therefore should go on thinking from various perspectives. We will never arrive at final definitive truths. All truths are alive, and therefore give life, strength and joy for all.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Seluk-beluk Orientasi Seksual LGBT (Bagian 1)

3 Mei 2016   17:21 Diperbarui: 19 Juli 2016   11:31 4306
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar 1. Eksorsisme atau ritual pengusiran setan terhadap seorang gay. Ini ekstrim, tak ilmiah, cuma takhayul dan kebodohan. Sumber gambar http://douglaswhaley.blogspot.co.id/2014_06_01_archive.html.

“Tidaklah lazim dalam alam ini homoseksualitas terisolasi sendirian.” (Frans de Waal)

Tulisan ini panjang, penting dan perlu diketahui, dibaca dan dipahami banyak orang dalam masyarakat Indonesia, dan disebarkan. Untuk dapat dipublikasi dalam ruang Kompasiana yang terbatas ini, saya membaginya dalam dua bagian terpisah. 

Bagian pertama fokus pada temuan-temuan sains modern tentang “orientasi seksual” (OS) LGBT. Bagian kedua menguraikan aspek-aspek keagamaan, politis dan yuridis kalangan LGBT. Silakan bagian pertama ini dinikmati dulu. Bagian keduanya terpasang di sini.

Untuk bisa menerima manfaat tulisan ini dengan penuh, anda harus melepaskan semua prakonsepsi anda tentang LGBT yang selama ini anda pertahankan berdasarkan doktrin-doktrin prailmiah keagamaan anda apapun yang sudah tertanam dalam benak anda. Saya ingin ingatkan, agama itu memiliki kekuatan untuk membuat anda yakin bahwa anda benar tapi dengan tetap salah. Inilah agama pembodohan. Rangkullah agama yang mencerdaskan. 

Pada tahun 1973 The American Psychiatric Association (APA) mencabut homoseksualitas dari Manual Statistik dan Diagnostik Penyakit Mental (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder atau DSM), dus posisi sebelumnya (1952) yang melihat homoseksualitas sebagai suatu penyakit mental dianulir./1/ Langkah progresif ini kemudian di tahun 1975 diikuti oleh The American Psychological Association (APA) dan The National Association of Social Workers (NASW) di Amerika Serikat.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) PBB pada 17 Mei 1990 juga mengambil posisi yang sama, yang sudah dicantumkan dalam pedoman klinis WHO tahun 1992 yang diberi judul ICD-10 (International Statistical Classification on Diseases and Related Health Problems-10). Kemudian, dengan dilandasi sejumlah pertimbangan penting yang diuraikan dalam sebuah kertas kerja Komisi HAM (HRC) PBB tanggal 24 September 2014, Komisi HAM PBB ini akhirnya memutuskan pada 26 September 2014 untuk mendukung dan mengakui sepenuhnya HAM kaum LGBT sebagai bagian dari “HAM yang universal”./2/

Tiga lembaga Amerika yang telah disebut di atas (APA, APA, dan NASW) memberi batasan-batasan yang jelas tentang konsep modern OS sebagai “suatu pola kelakuan atau watak yang menetap pada seseorang dalam mengalami ketertarikan seksual, romantik dan afeksional khususnya terhadap laki-laki, perempuan, atau sekaligus terhadap laki-laki dan perempuan.” Karena didorong orientasi seksualnya ini, seseorang “membangun suatu hubungan pribadi yang intim dengan mitra pilihannya untuk memenuhi kebutuhan cinta, persekutuan dan keintiman yang sangat kuat dirasakannya”, hubungan yang dipandangnya “memuaskan dan memenuhi semua harapannya dan merupakan suatu bagian esensial jati diri pribadinya”./3/

Dalam buku Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia (PPDGJ III) edisi 1993, Departemen Kesehatan RI, homoseksualitas tidak dipandang sebagai suatu gangguan jiwa./4/ Pada hlm. 288 buku PPDGJ III tercantum dengan jelas kata-kata ini: “Catatan: Orientasi seksual sendiri jangan dianggap sebagai suatu gangguan.” Menurut keterangan resmi mutakhir dari Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PP PDSKJI), terkait dengan OS LGBT, posisi yang disebut dalam PPDGJ III memakai pedoman ICD-10 dari WHO tahun 1992.  

OS ini khas, berbeda dari komponen-komponen seks dan seksualitas lainnya, seperti seks biologis (hal-hal yang mencakup anatomi, fisiologi dan genetika yang membuat seseorang menjadi laki-laki atau perempuan), identitas gender (penghayatan psikologis sebagai laki-laki atau perempuan), dan peran sosial gender (menyangkut perilaku maskulin atau perilaku feminin, yang definisinya diberikan berdasarkan norma-norma kultural yang berlaku dalam suatu masyarakat).

Biasanya OS ini dilihat mencakup tiga golongan, yakni heteroseksual (tertarik secara seksual romantik terhadap mitra seks dari lain jenis), homoseksual (tertarik secara seksual romantik terhadap mitra seks sejenis), dan biseksual (tertarik secara seksual romantik terhadap mitra seks lelaki dan mitra seks perempuan sekaligus). Sekarang ini OS dilihat dalam spektrum yang lebih berwarna-warni yang biasanya disebut sebagai spektrum OS LGBTIQ (Lesbian, Gay, Bisexual, Transgender, Intersex, Queer). Ini harus ditambah dengan OS hetero, menjadi HLGBTIQ.

Berikut ini, akan panjang-lebar diperlihatkan bahwa riset-riset mutakhir tentang OS ternyata telah berhasil menemukan bahwa bukan hanya heteroseksualitas (pria dan wanita hetero) yang memiliki basis biologis genetik, tapi juga OS lainnya yang digolongkan sebagai lesbian atau gay dan yang lainnya (yakni kalangan LGBT).

Sebelum kita masuk ke temuan-temuan sains modern tentang OS manusia, perlu diketahui bahwa homoseksualitas juga ditemukan sebagai suatu fenomena seksual yang alamiah dalam dunia hewan non-manusia. Bukan sebuah penyimpangan.  

Homoseksualitas dalam dunia hewan non-manusia

Perilaku homoseksual diperlihatkan oleh sejumlah 1.500 spesies binatang. Ini fakta yang tentu sangat mencengangkan bagi yang baru pertama kali tahu. Karena homoseksualitas pada binatang tentu bukan timbul karena pola pergaulan yang tidak bermoral, maka homoseksualitas pada binatang harus dipandang sebagai suatu pemberian alam, yang memperkaya warna kehidupan di planet Bumi ini. Ketika sepasang pinguin homoseksual sedang bercinta-cintaan, tidak ada ketentuan agama pinguin dan ketentuan hukum positif negara pinguin yang mereka langgar.

Gambar 2. Sepasang pinguin homoseksual. “Mari kita bergandengan tangan. Aku cinta kamu. Kamu cinta aku!” Sumber: Andrew Blackstone. Ten Animals That Practice Homosexuality. Listverse. http://listverse.com/2013/04/20/10-animals-that-practice-homosexuality/.

Perhatikan rangkuman artikel sangat informatif yang berjudul “Homosexual Behaviour in Animals” dalam Wikipedia yang ditulis pada alinea pembuka artikel ini:

“Perilaku homoseksual pada hewan-hewan adalah perilaku seksual di antara spesies-spesies non-manusia yang ditafsir sebagai homoseksual atau biseksual. Ini mencakup aktivitas-aktivitas seksual, percumbuan, percintaan, berpasang-pasangan, dan peran sebagai sepasang induk, di antara pasangan-pasangan hewan sesama jenis seks. Riset-riset menunjukkan bahwa berbagai perilaku homoseksual ini ditemukan di semua dunia hewan. Sampai 1999, sudah terdokumentasi 500 spesies yang menjalankan pola kehidupan homoseksual, mulai dari primata hingga ke cacing-cacing dalam perut. Menurut tim pengorganisasi pameran Against Nature? di tahun 2006, perilaku homoseksual telah teramati ada pada 1.500 spesies.”/5/

Sebelumnya, di tahun 1999, biolog Dr. Bruce Bagemihl telah menulis sebuah buku yang berjudul Biological Exuberance: Animal Homosexuality and Natural Diversity./6/ Pada masa itu, sudah ditemukan ada 450 spesies hewan non-manusia yang memperlihatkan perilaku homoseksual; bahkan digolongkan sebagai LGBT. Angka 450 ini termasuk ke dalam satu juta spesies yang sudah dikenal di Bumi. Tetapi jika penelitian dikaji lebih jauh, Dr. Bagemihl memperkirakan akan ditemukan antara 15 hingga 30 persen spesies hewan non-manusia yang berperilaku homoseksual dalam aneka bentuk, bahkan juga sebagai organisme biseksual dan transgender.

Para ideolog anti-LGBT ini hendaknya tahu bahwa Dr. Bagemihl adalah seorang gay yang sudah diakuinya dengan terus terang sejak dini. Dia tidak sakit jiwa. Pikirannya sehat. Cerdas. Jenius. Berprestasi cemerlang. Bukunya ini, yang ditulisnya setelah 9 tahun melakukan riset lapangan, memberi banyak pengetahuan baru tentang zoologi dan perilaku seksual hewan-hewan. Jika sebagai heteroseksual anda mencemooh karya Dr. Bagemihl hanya karena dia seorang gay, tanyalah diri anda sendiri, prestasi keilmuwan apa yang anda sudah sumbangkan ke dunia sains. NOL BESAR, bisa jadi.

Dengan naif banyak ideolog anti-LGBT menyatakan bahwa hasil kajian Dr. Bagemihl tentang homoseksualitas dalam dunia hewan non-manusia pasti tidak objektif, pasti bias, sebab dia menulis buku itu hanya untuk membenarkan dirinya sebagai seorang gay.

Ini tanggapan saya kepada mereka yang berprasangka keji itu: suatu temuan saintifik dalam bidang apapun baru absah disebut sebagai temuan saintifik jika temuan ini dicapai lewat metode pengkajian sains yang absah, yang dapat diulang kembali oleh para saintis lain kapanpun dan di manapun dengan hasil yang sama. OS seorang saintis, LGBT sekalipun, sama sekali tidak ada hubungannya dengan temuan-temuan ilmiah mereka yang memenuhi kriteria temuan ilmiah. 

Juga saya mau bertanya: Apakah seorang perempuan yang menjadi ginekolog, yang memiliki ilmu pengetahuan dan kemampaun teknis untuk menangani hal-hal yang terkait dengan semua organ reproduktif perempuan, termasuk payudara, akan tidak objektif dan bias dalam dia bekerja sebagai seorang ginekolog hanya karena dia perempuan?

Jika LGBT adalah realitas umum dalam dunia hewan non-manusia, mengapa orientasi homoseksual pada manusia (yang notabene adalah hewan mamalia cerdas) harus dipandang sebagai suatu penyimpangan akhlak yang harus dikutuk atas nama suatu ajaran agama?

Jadi, perlu ditegaskan bahwa orientasi homoseksual pada manusia juga sama alamiahnya dengan orientasi heteroseksual atau orientasi biseksual. Dengan demikian, heteroseksualitas tidak bisa dijadikan norma untuk menilai dan melecehkan apalagi mengkriminalisasi baik homoseksualitas maupun biseksualitas. Tetapi, adakah landasan-landasan ilmiah bagi pernyataan saya ini? Tentu saja ada.

Temuan-temuan sains modern

Belum lama ini, Ben Carson, seorang dokter di Amerika yang juga seorang politikus yang telah mencalonkan dirinya untuk menjadi presiden Amerika berikutnya― yang dengan terang-terangan telah menyatakan bahwa dia tidak yakin jika otoritas UUD Amerika berada di atas otoritas Alkitab/7/― menegaskan bahwa kondisi kehidupan di dalam penjara bisa mengubah seorang heteroseksual menjadi seorang homoseksual. Jadi, baginya, perilaku homoseksual itu mutlak bagian dari gaya hidup yang dipilih dengan sadar, bukan sesuatu yang dibentuk sunatullah semenjak seorang homoseksual berada dalam kandungan ibunya.

Jika itu alasan Carson, kondisi yang serupa juga bisa berlaku pada diri gay dan lesbian: jika mereka untuk waktu yang panjang tidak bisa bercinta dengan sesama jenis, maka demi pemuasan syahwat seksual mereka, mereka juga akan dengan terpaksa berhubungan seks dengan orang-orang heteroseksual, meskipun (dapat dibayangkan) tidak akan mengalami kepuasan puncak. Jika gaya hidup seksual corak ini dijalankan sangat lama, maka, memakai nalar Ben Carson, kalangan gay dan lesbian akan berubah menjadi heteroseksual. Apakah demikian halnya?

Ada baiknya kita ketahui apa persepsi orang Amerika tentang hal mengapa orang menjadi gay atau lesbian. Hasil survei Pew Research Center, 12-18 Mei 2015, menunjukkan data berikut ini:/8/

  • Ateis: 64% menyatakan homoseksualitas bawaan lahir; 24% menyatakan gaya hidup;
  • Katolik: 53% bawaan lahir; 35% gaya hidup;
  • Protestan kulit hitam: 25% bawaan lahir; 62% gaya hidup;
  • Protestan arus utama kulit putih: 60% bawaan lahir; 27% gaya hidup;
  • Protestan evangelikal kulit putih: 25% bawaan lahir; 62% gaya hidup.

Atas pertanyaan apakah ada konflik antara homoseksualitas dan kepercayaan-kepercayaan keagamaan, survei PRC yang sama menemukan fakta-fakta berikut:

  • Ateis: 89% menyatakan tidak ada konflik;
  • Katolik: 43% tidak ada konflik;
  • Protestan kulit hitam: 36% tidak ada konflik;
  • Protestan arus utama kulit putih: 63% tidak ada konflik;
  • Protestan evangelikal kulit putih: 25% tidak ada konflik.

Pernyataan Ben Carson tersebut, sudah bisa diduga sebelumnya, menimbulkan banyak reaksi negatif dan perdebatan, dan berakibat fatal pada reputasinya. Sinisme kepadanya meluas ke mana-mana. Untuk tampaknya memulihkan nama baiknya selaku seorang dokter, Carson belakangan membuat sebuah pernyataan berikut, yang kelihatannya tidak menolongnya, malah membuat kondisinya lebih buruk.

“Aku adalah seorang dokter yang dilatih dalam berbagai bidang pengobatan, yang diberkati dengan pekerjaan di lembaga pengetahuan medis yang mungkin terbaik di dunia. Beberapa orang dari antara kita yang memiliki pikiran-pikiran paling cemerlang telah mengikuti debat ini, dan hingga saat ini, menurut mereka dan saya, belum ada kajian-kajian definitif yang membuktikan bahwa orang dilahirkan dengan membawa suatu seksualitas yang khusus.”/9/

Dalam debat di seputar pernyataan Ben Carson itu, selain diakui bahwa faktor genetik sangat mungkin menentukan OS seseorang, juga diperlihatkan bahwa kondisi lingkungan dalam rahim, dan sejumlah faktor biologis lain, juga berpengaruh kuat pada pembentukan OS seseorang.

Karena itu, penting untuk selanjutnya saya sajikan apa yang saya telah temukan tentang berapa jauh sains sudah berhasil memahami OS manusia, apakah homoseksual, ataukah heteroseksual, ataukah biseksual, atau yang lainnya. Adakah hubungan biologi (genetik, neural/serebral, hormonal, fisiologis, dll.) dengan OS seseorang?

Molekul INAH3

Neurosaintis Simon LeVay di tahun 1991 menemukan bahwa suatu bagian di dalam hypothalamus otak manusia yang berhubungan dengan seksualitas, yang berupa sekumpulan molekul yang berukuran sebesar sebutir padi, yang dikenal sebagai INAH3, ternyata lebih kecil dalam diri kalangan gay dibandingkan dalam diri kalangan pria hetero. Dalam diri lelaki hetero, INAH3 lebih besar lebih dari dua kali lipat dibandingkan dalam diri gay. Saya kutipkan abstrak dari temuannya yang telah dilaporkan di jurnal Science tahun 1991, berikut ini.

“Hypothalamus anterior dalam otak ikut berperan dalam mengatur perilaku seksual yang tipikal lelaki. Isi empat grup dalam area otak ini (dinamakan Interstitial Nuclei of the Anterior Hypothalamus, atau INAH 1,2,3 dan 4) telah diukur dalam jejaring pascakematian dari tiga kelompok subjek: perempuan, lelaki yang diasumsikan heteroseksual, dan homoseksual. Tidak ada perbedaan yang telah ditemukan di antara kelompok dalam volume INAH 1,2, atau 4. Sebagaimana sebelumnya telah dilaporkan [oleh Laura Allen dkk dari UCLA], INAH3 lebih besar lebih dari dua kali lipat dalam diri heteroseksual pria dibandingkan heteroseksual wanita. Namun, INAH3 juga lebih besar dari dua kali lipat dalam diri lelaki heteroseksual dibandingkan lelaki homoseksual. Penemuan ini menunjukkan bahwa INAH3 bersifat dimorfik terhadap orientasi seksual, setidaknya dalam diri lelaki, dan menyarankan bahwa orientasi seksual memiliki suatu substrat biologis.”/10/

Gambar 3. Lokasi molekul INAH3 dalam otak manusia. Sumber: www.simonlevay.com. Ditampilkan kembali di http://borngay.procon.org/view.timeline.php?timelineID=000027. “History of the Born Gay Debate and Theories of Sexual Orientation” (2900-146 SM hingga 8 Oktober 2015).

Selanjutnya, di tahun 1993, LeVay menerbitkan bukunya yang berisi kajian-kajian terhadap seksualitas manusia, yang diberi judul The Sexual Brain. Ini sebuah buku yang sangat bagus. Dalam web The MIT Press, pada Overview atas buku ini, ditulis hal berikut ini.

The Sexual Brain mencakup kajian-kajian yang luas, antara lain teori evolusioner, genetika molekuler, endokrinologi, fungsi dan struktur otak, psikologi kognitif, dan perkembangan. Semua disiplin ilmu ini disatukan oleh tesis LeVay bahwa perilaku seksual manusia, dalam semua keanekaragamannya, berakar pada mekanisme-mekanisme biologis yang dapat dieksplorasi oleh sains laboratorium. Buku ini tidak menghindari kompleksitas bidang kajian ini, tetapi dapat langsung dihargai dan dinikmati oleh siapapun yang memiliki minat dan perhatian yang cerdas terhadap seks.”/11/

Dalam pendahuluan buku ini, LeVay menyatakan bahwa tujuan penulisannya adalah

“untuk fokus lebih persis lagi pada mekanisme-mekanisme otak yang bertanggungjawab bagi perilaku dan perasaan-perasaan seksual. Berhubung ada banyak perbedaan individual yang mencolok dalam seksualitas―paling kentara di antara pria dan wanita, tapi juga di antara individu-individu sesama jenis seks―salah satu perhatian besar buku ini adalah mencari basis biologis bagi keanekaragaman ini.…, dan memahami seks dari sudut proses-proses selular yang memunculkannya.”/12/

Tesis-tesis yang diajukan LeVay semuanya diuji berdasarkan bukti-bukti empiris yang dapat disediakannya baik dari bidang keahliannya sendiri maupun dari bidang-bidang lain. Karena pendekatannya yang empiris dan klinis ini, patutlah dia mengkritik pendapat-pendapat Sigmund Freud tentang seksualitas manusia. Tulisnya dengan nada yang tajam:

“Berhubung saya telah terlatih di dalam menggunakan metode-metode sains, saya makin skeptik bahwa ada hal apapun yang saintifik dalam ide-ide Freud tentang seksualitas meskipun dia berulang-ulang menegaskan bahwa semua pendapatnya saintifik. Dan akhirnya, berbagai temuan telah dihasilkan dalam area biologi seksual yang semuanya menunjuk ke segala arah yang baru dan menggairahkan. Freudianisme, pada sisi lain, kelihatan telah menjadi sebuah dogma yang terfosilisasi dan tidak dapat digoyahkan lagi.”/13/

Dalam bukunya ini, kembali dia membeberkan penemuannya di tahun 1991 atas INAH3. Ada dua temuan yang sudah dihasilkannya:

  • Pertama, INAH3 rata-rata dua sampai tiga kali lipat lebih besar dalam diri lelaki heteroseksual dibandingkan perempuan heteroseksual. Temuan ini mengonfirmasi temuan sebelumnya oleh Laura Allen dkk dari UCLA.
  • Kedua, dalam diri gay, INAH 3 rata-rata lebih kecil dua sampai tiga kali lipat dibandingkan dalam diri lelaki heteroseksual./14/

Apakah LeVay menyangkal bahwa faktor genetik ikut membentuk orientasi seksual manusia? LeVay di halaman 122 bukunya yang terbit 1993 menulis sesuatu yang bagian-bagiannya kerap dikutip orang dengan keluar dari konteks seluruh isi bukunya untuk mendalihkan bahwa sang neurosaintis ini tidak membuktikan bahwa homoseksualitas itu genetik.

Saya perlu ingatkan bahwa LeVay bekerja sebagai seorang neurosaintis, bukan sebagai seorang genetisis meskipun dia juga memanfaatkan banyak aspek dari genetika dalam bukunya ini. Yang dia telah tunjukkan adalah bagaimana neurosains telah bisa memperlihatkan bahwa homoseksualitas itu sesuatu yang bersifat serebral, terhubung dengan ukuran bagian tertentu struktur hypothalamus dalam otak manusia. Untuk temuannya ini dapat berstatus konklusif, itupun, katanya, harus menunggu dua sampai tiga dasawarsa ke depan (sejak 1993) ketika teknologi pemindaian (scanning technology) terhadap otak manusia yang hidup sudah berkembang dengan canggih.

Di bagian-bagian lain dari bukunya ini LeVay sama sekali tidak pernah menolak kemungkinan yang serius bahwa orientasi seksual seseorang juga genetik, sebagaimana segera akan juga saya tunjukkan. Cuma, di awal 1990-an pembuktian klinis tentang aspek genetik orientasi seksual manusia belum dimungkinkan. Pada kesempatan ini, saya merasa terbeban betul untuk menerjemahkan isi halaman 122 bukunya itu selengkapnya. Berikut ini. Bacalah dengan seksama./15/

“Bagi banyak orang, menemukan suatu perbedaan dalam struktur otak di antara kalangan gay dan kalangan lesbian sama dengan telah membuktikan bahwa para homoseksual ‘sejak lahir memang telah homoseksual’. Seringkali aku digambarkan sebagai orang yang ‘telah membuktikan bahwa homoseksualitas itu genetik’ atau semacam itulah. Aku belum membuktikan itu. Observasi saya dilakukan hanya pada orang-orang dewasa yang telah aktif secara seksual untuk kurun yang lama. Jika berdasarkan hanya pada observasi saya, maka tidaklah mungkin untuk menyatakan apakah perbedaan-perbedaan struktural otak sudah ada ketika orang dilahirkan, dan kemudian mempengaruhi mereka untuk menjadi gay atau heteroseksual, atau apakah perbedaan-perbedaan itu timbul saat mereka telah dewasa sebagai suatu akibat dari perilaku seksual mereka.

Dalam mempertimbangkan mana dari interpretasi-interpretasi ini yang lebih mungkin, baiklah kita kembali ke riset tentang hewan yang sudah dibicarakan dalam bab-bab sebelumnya. Sebagaimana sudah dibentangkan dalam bab 10, nukleus yang secara seksual dimorfik, yang terdapat di area preoptik medial pada tikus-tikus (yang dapat atau tidak dapat sejalan dengan INAH3 pada manusia), sangatlah rentan untuk mengalami perubahan selama masa kritis yang berlangsung beberapa hari sebelum dan setelah kelahiran seekor anak tikus. Setelah masa ini dilewati, nukleus ini sulit untuk berubah dengan cara apapun. Bahkan mengebiri tikus-tikus dewasa (dengan akibat menghilangkan sumber androgen tikus dan sangat melumpuhkan perilaku seksual si tikus) paling banter hanya menimbulkan sedikit efek pada ukuran nukleus itu.

Jika hal yang sama terjadi pada INAH3 dalam diri manusia, maka tampaknya dimungkinkan bahwa perbedaan-perbedaan struktural di antara orang homoseksual dan orang heteroseksual muncul selama periode awal terjadinya diferensiasi seksual pada hypothalamus. Jika kondisinya demikian, maka adalah mungkin perbedaan-perbedaan ini berperan dalam menentukan orientasi seksual seseorang. Namun kita juga tidak dapat menyingkirkan kemungkinan bahwa dalam diri manusia yang memiliki masa kehidupan lebih panjang dan korteks serebral yang telah berkembang lebih baik, perubahan-perubahan yang sangat kentara dalam ukuran INAH3 dapat terjadi sebagai suatu akibat dari perilaku saat sudah dewasa.

Nah, tentu saja eksperimen yang ideal adalah mengukur besarnya INAH3 pada bayi-bayi yang baru dilahirkan dengan menggunakan teknik-teknik pemindaian, lalu menunggu sampai mereka mencapai usia dewasa 20 tahun untuk menyelidiki orientasi seksual mereka. Jika ukuran nukleus tersebut pada waktu kelahiran sedikit banyak memprediksi orientasi seksual dasariah seseorang, maka para ahli dapat berargumentasi dengan lebih kuat bahwa ukuran nukleus dapat berperan sebagai suatu penyebab orientasi seksual seseorang. Eksperimen ini tidak dimungkinkan setidaknya untuk waktu sekarang ini, berhubung teknik-teknik pemindaian yang mampu menghasilkan gambar-gambar INAH3 dalam diri orang yang masih hidup masih belum ada.”

Itulah ilmu pengetahuan dan cara-cara kerjanya. Bersamaan dengan makin berkembangnya instrumen-instrumen penelitian, temuan-temuan lama pun akan makin teruji, bisa terverifikasi makin kuat, bisa juga terfalsifikasi. Pandangan-pandangan saintifik lama selalu diuji kembali, dan akhirnya pun akan dapat berganti. Sains itu dibangun di atas pundak sangat banyak generasi para saintis, bahu-membahu, yang memungkinkan para saintis makin luas memandang horison-horison masa depan kehidupan. 

Hormon-hormon seks dan faktor genetik

Ok, bagaimana, apakah LeVay memandang ada peran faktor genetik dalam penentuan seksualitas manusia? Atau dia sama sekali menafikannya? Apakah gen-gen mempengaruhi pembentukan orientasi seksual seseorang? Dalam pendahuluan bukunya, dia menyatakan bahwa

“Berdasarkan penemuan-penemuan ini dan penemuan-penemuan dari para peneliti lainnya, tampaklah masuk akal untuk bertanya apakah perbedaan-perbedaan bawaan kelahiran di dalam organisasi otak, setidaknya sebagian darinya berada di bawah kendali genetik, tidak dapat menjadi basis keanekaragaman di dalam fungsi-fungsi mental dalam diri manusia, termasuk fungsi-fungsi mental yang terkait dengan seks.”/16/

Dalam bab terpanjang bukunya, bab 12, yang membeberkan panjang lebar analisis-analisisnya terhadap orientasi seksual, LeVay pada bagian kesimpulannya menyatakan bahwa

“Sebagai rangkuman, aku harus menegaskan, pertama, bahwa faktor-faktor yang menentukan apakah seseorang akan menjadi heteroseksual, biseksual atau homoseksual, masih banyak yang belum diketahui. Namun kita sudah mendapatkan petunjuk-petunjuk bahwa orientasi seksual seseorang dengan sangat kuat dipengaruhi oleh kejadian-kejadian selama masa-masa perkembangan dini otak ketika otak sedang membuat pembedaan-pembedaan seksualitas yang berlangsung di bawah pengaruh molekul-molekul hormon-hormon seks (gonadal steroids).”/17/

Jadi, baginya, orientasi seksual berhubungan dengan pertumbuhan otak manusia dan hormon-hormon seks. Alih-alih menolak adanya faktor genetik yang membentuk orientasi seksual seseorang, LeVay mengambil posisi adanya interaksi antara faktor genetik (nature) dan faktor lingkungan kehidupan dan kebudayaan manusia (nurture) yang membentuk perilaku seksual orang dewasa. Dengan jelas, LeVay menyatakan bahwa “keadaan-keadaan pikiran manusia yang ditentukan masyarakat dan yang paling remang-remang sekalipun adalah suatu perkara gen-gen dan kimia otak juga.”/18/

Perhatikan pernyataan-pernyataan Le Vay lainnya berikut ini.

“Aku tidak tahu―dan juga orang lain manapun―apa yang membuat seseorang itu gay, biseksual atau heteroseksual. Tetapi aku sungguh percaya bahwa jawaban atas pertanyaan ini akan akhirnya ditemukan dengan melakukan riset biologi di laboratorium, dan bukan cuma membicarakan topik ini, yang merupakan cara umum yang kebanyakan orang telah lakukan hingga sekarang ini.… Mempercayai suatu penjelasan biologis terhadap orientasi seksual tidaklah sama dengan menegaskan bahwa bahwa orientasi seksual itu bawaan kelahiran atau ditentukan secara genetik. Seluruh kehidupan mental kita melibatkan proses-proses biologis.… Baik faktor bawaan kelahiran maupun faktor lingkungan kehidupan mempengaruhi kita dengan mempengaruhi struktur anatomis atau kimiawi otak.”/19/

Juga ini, yang ditulisnya pada bagian epilog bukunya itu (yang diberinya judul “Two Artificial Gods”):

“Sangatlah mungkin bahwa pengalaman kehidupan memainkan peran signifikan dalam membentuk dan menghasilkan detail-detail dorongan seksual seseorang. Namun di sini pun potensi-potensi bagi perbedaan-perbedaan bawaan kelahiran harus tidak diabaikan. Kita tahu, misalnya, bahwa pilihan-pilihan atas makanan kita dipengaruhi oleh faktor-faktor genetik; jadi, tidak ada alasan mengapa hal yang sama harus tidak terjadi juga pada pilihan-pilihan kehidupan seksual kita. Pastilah masa depan akan membawa kemajuan-kemajuan besar dalam pemahaman kita tentang mekanisme-mekanisme dan perkembangan seksualitas. Bidang yang paling memberi harapan untuk dieksplorasi adalah mengenali dan menemukan gen-gen yang mempengaruhi perilaku seksual dan studi-studi tentang kapan, di mana dan bagaimana gen-gen ini memberi efek-efek./20/

“Gen-gen gay” dalam sejarah evolusi spesies

Bahkan LeVay juga berbicara tentang “gen-gen gay” (gay genes) dari sudut pandang evolusioner “survival of the fittest” dan “the struggle for survival” dalam konteks reproduksi organisme versus kepunahan suatu populasi. Tulisnya,

“Kondisi homozygous [yakni kondisi adanya versi-versi seragam dari sebuah gen pada dua anggota dari sepasang kromosom] hanyalah suatu produk sampingan yang tidak diinginkan, yang muncul pada beberapa keturunan pasangan yang kawin di antara individu-individu heterozygous [yakni, yang gen-nya memiliki versi-versi yang berbeda dalam dua anggota dari sepasang kromosom]. Hal yang sama dapat terjadi pada gen gay: Suatu gen gay dapat terpelihara di dalam suatu populasi berhubung individu-individu heterozygous, selain tidak menjadi seorang gay, memiliki suatu keuntungan lain yang menyempurnakan sukses reproduksinya. Suatu kemungkinan lain yang terakhir adalah bahwa gen-gen gay, dilihat dari sukses reproduksi, sebetulnya merupakan gen-gen yang berbahaya, dan karenanya cenderung tereliminasi dari populasi; tetapi untuk beberapa alasan gen-gen varian diciptakan kembali dengan sangat cepat sehingga gen-gen yang tereliminasi digantikan dengan gen-gen yang baru.”/21/

Tetapi anda perlu tahu, dengan temuan teknik reproduktif mutakhir yang menggunakan gen SOX17, orang-orang yang mempunyai “gen-gen gay” tidak lagi perlu dinilai akan memunahkan kehidupan karena ketidakmampuan mereka untuk menghasilkan keturunan sendiri. Suatu tim ilmuwan dari Universitas Cambridge, Inggris, dan Weizmann Institute of Science, Israel, baru-baru ini telah berhasil menemukan sebuah teknik genetika untuk menghasilkan bayi manusia dari sel-sel kulit orangtua si bayi dengan menggunakan gen SOX17. 

Gen SOX17 digunakan untuk memprogram ulang sel-sel kulit manusia (dari pasangan seksual dewasa sejenis) untuk menjadi “sel-sel germ primordial” (“Primordial Germ Cells”, atau PGCs, yakni sel-sel pendahulu telur dan sel-sel sperma), yang kemudian akan berkembang menjadi janin-janin manusia. Proses ini dapat dijalankan untuk memberikan bayi-bayi baik bagi pasangan heteroseksual yang mandul maupun bagi pasangan homoseksual. Selain itu, teknik mutakhir reproduksi ini juga dapat menghilangkan mutasi-mutasi epigenetik yang menyebabkan terjadinya kesalahan-kesalahan pada sel-sel tubuh manusia ketika orang mulai menua, yakni dengan cara menyetel ulang dan meregenerasi sel-sel yang sudah tua./22/ Mungkin LeVay perlu diberitahu tentang temuan metode reproduktif mutakhir ini.

Di tahun 2011, LeVay menerbitkan sebuah bukunya lagi, Gay, Straight, and the Reason Why: The Science of Sexual Orientation. Dia juga menemukan bahwa otak gay bukan saja tampak berbeda dari otak heteroseksual, tapi juga berfungsi berbeda. LeVay juga menemukan bahwa pembawaan-pembawaan psikologis yang berbeda pada gay biasanya begitu rupa sehingga gay dapat bergeser ke OS lain jika dibandingkan dengan individu-individu heteroseksual dari jenis mereka sendiri. Tulis LeVay,

“Sukar untuk menjelaskan pergeseran ini hanya sebagai akibat dari kondisi sebagai gay saja. Sangat mungkin pergerseran OS kalangan gay ini menunjukkan adanya perbedaan-perbedaan dalam perkembangan seksual dini dalam otak, perbedaan-perbedaan yang berpengaruh pada satu ‘paket’ pembawaan-pembawaan psikologis gender, termasuk OS.”/23/

Dari fakta-fakta neural ini LeVay menyimpulkan bahwa ada proses-proses biologis yang terlibat dalam perkembangan otak yang berpengaruh pada orientasi seksual seseorang.

Bagian otak MPAC dan kromosom Xq28

Setelah LeVay menulis makalah perdananya yang terbit di jurnal Science, di tahun berikutnya, 1992, tim peneliti dari UCLA menemukan suatu bagian lain dalam otak yang berhubungan dengan seksualitas (yakni “midsagittal plane of the anterior commissure”, atau MPAC), yang ukurannya 18% lebih besar pada diri kalangan gay dibandingkan kalangan perempuan heteroseksual dan 34% lebih besar dibandingkan kalangan pria heteroseksual. Perbedaan-perbedaan anatomis ini, yang berhubungan dengan gender dan OS, sebagian melandasi perbedaan-perbedaan dalam fungsi kognitif dan lateralisasi serebral [pembagian dan ketidakseimbangan fungsi-fungsi bagian otak kanan dan bagian otak kiri] di antara kalangan gay, pria heteroseksual dan perempuan heteroseksual./24/

Gambar 4. Lokasi kromosom gay Xq28 dalam kromosom X manusia. Sumber: Glenn Wilson, Ph.D., Gresham College, London. “Born Gay? The Psychobiology of Sexual Orientation”. Slide 23 of 28, pada http://slideplayer.com/slide/2595211/.

Di tahun 1993, suatu kajian yang tidak terlalu besar (terdiri atas 38 pasangan gay bersaudara) yang dilakukan Dean Hamer menemukan adanya suatu hubungan OS dengan suatu bagian kromosom X yang dinamakan Xq28, yang dapat membentuk kecondongan OS seseorang ke homoseksualitas. Selain itu, Risch dkk juga menemukan kromosom otosomal (7, 8, 10) yang terlibat dalam terbentuknya homoseksualitas. Tetapi sejak itu, pencarian “gen gay” masih terus berlangsung. Suatu kajian yang jauh lebih besar (mencakup 409 pasangan gay bersaudara) yang dilakukan tahun 2004 oleh psikolog J. Michael Bailey dan psikiatris Alan R. Sanders tiba pada kesimpulan yang sama: ada hubungan antara Xq28 dan suatu bagian dari kromosom 8.

Di lain pihak, teknik menemukan “hubungan genetik” antara gen dan homoseksualitas kini mulai beralih ke pendekatan yang lebih luas, yang dinamakan “Asosiasi Luas Genom”, atau “Genome-Wide Association” (atau GWA) untuk menemukan “gen spesifik” yang berhubungan dengan homoseksualitas dalam suatu populasi./25/

Faktor lingkungan dalam rahim

Kondisi lingkungan dalam rahim juga dipikirkan berperan penting dalam membentuk OS, sebab sebagian faktor yang menentukan perkembangan suatu janin adalah peringkat dan campuran hormon-hormon yang melingkungi setiap janin selama masa kehamilan.

Di tahun 2006, psikolog Anthony Bogaert dari Universitas Brock di Kanada menyelidiki fenomena yang tidak pernah dapat dijelaskan, yakni fenomena urutan kelahiran yang kelihatannya ikut membentuk seksualitas: pria gay cenderung memiliki lebih banyak kakak lelaki ketimbang pria heteroseksual. Dengan menggunakan sejumlah 944 pria homoseksual dan heteroseksual sebagai sampel, Bogaert menemukan fakta-fakta ini: seorang anak sulung pria memiliki 3% peluang untuk menjadi gay, dan persentase ini naik 1% untuk setiap anak lelaki berikutnya sampai menjadi dua kali lipat (yakni 6%) pada anak lelaki keempat.

Mungkin sekali keadaan yang dibentuk oleh urutan kelahiran ini melibatkan juga sistem kekebalan tubuh sang ibu. Setiap bayi, lelaki atau perempuan, mula-mula diperlakukan sebagai sosok penyerbu yang masuk ke dalam tubuh sang ibu. Beranekaragam mekanisme bekerja otomatis untuk mencegah sistem tubuhnya menolak si janin dalam kandungannya. Bayi-bayi lelaki, dengan protein-protein lelaki mereka, dipersepsi sedikit lebih asing ketimbang bayi-bayi perempuan; akibatnya, tubuh sang ibu memproduksi lebih banyak antibodi khusus gender untuk melawan bayi-bayi lelaki itu. Setelah melewati banyak kali kelahiran bayi-bayi lelaki, rahim sang ibu menjadi lebih “terfeminisasi”, dan kondisi ini dapat membentuk seksualitas./26/

Perbedaan ciri fisik dan kebiasaan

Selain itu, panjang jari juga menunjukkan seksualitas manusia dibentuk oleh biologi. Telunjuk para pria heteroseksual kentara lebih pendek dibandingkan jari tengah mereka. Jari telunjuk dan jari tengah perempuan heteroseksual nyaris sama panjang. Jari seorang lesbian seringkali sama panjang dengan jari lelaki heteroseksual. Keadaan-keadaan ini telah lama secara informal diamati, tetapi suatu kajian yang dilakukan tahun 2000 di Universitas of California, Berkeley, tampak membenarkan pengamatan ini.

Kalangan lesbian juga tampak memiliki perbedaan-perbedaan pada bagian dalam telinga mereka, di tempat-tempat yang sebenarnya tidak dimungkinkan. Dalam diri semua orang, suara bukan hanya masuk tetapi juga meninggalkan telinga dalam bentuk yang dikenal sebagai emisi otoakustik, yakni getaran-getaran yang muncul dari interaksi kokhlea dan tambur telinga, dan getaran-getaran ini dapat dideteksi oleh instrumen-instrumen. Perempuan heteroseksual cenderung memiliki frekuensi emisi otoakustik yang lebih tinggi dibandingkan lelaki heteroseksual, tetapi para lesbian tidak.

Kajian-kajian lain telah mengeksplorasi adanya suatu hubungan antara homoseksualitas dan kebiasaan bertangan kidal. Pria gay lebih mungkin kidal atau memakai kedua belah tangannya. Diusulkan ada tiga faktor yang mungkin menghubungkan orentasi seksual dengan kidal atau bukan-kidal, yakni: lateralitas serebral dan hormon-hormon seks yang mempengaruhi janin-janin; reaksi-reaksi imunologis sang ibu terhadap janin-janin; ketidakstabilan perkembangan janin-janin. Penelitian kebiasaan bertangan kidal atau tidak, dan hubungan kondisi ini dengan homoseksualitas, telah dilakukan oleh suatu tim yang menggunakan metaanalisis terhadap 20 studi yang membandingkan peringkat kidal pada 6.987 homoseksual (6.182 gay, dan 805 lesbi) dan 16.423 heteroseksual (14.808 pria dan 1.615 wanita)./27/

Tentang kebiasaan kidal pada kalangan homoseksual, LeVay menyatakan bahwa kecenderungan lesbian dan gay untuk kurang konsisten memakai tangan kanan dibandingkan heteroseksual menyarankan bahwa fungsi serebral otak mereka dapat kurang kuat terlaterisasi. Faktanya, ada sejumah bukti langsung untuk mendukung ide bahwa fungsi-fungsi serebral kalangan gay lebih simetrik terdistribusi ke kawasan kanan dan kawasan kiri otak dibandingkan keadaannya pada kalangan heteroseksual. McCormick dkk telah menyarankan bahwa kidal terjadi karena peringkat hormon seks androgen yang luar biasa tinggi dalam janin-janin perempuan, tetapi luar biasa rendah dalam janin-janin lelaki./28/

Selain itu, ditemukan bahwa rambut pada bagian mahkota kepala pria gay cenderung tumbuh berlawanan arah dengan gerak jarum jam. Tetapi belum ada kesepakatan bulat mengenai hubungan gelungan rambut alamiah pada seksualitas./29/

Jelas, genetika atau biologi adalah faktor kuat dalam memunculkan OS manusia, termasuk manusia homoseksual. Ini fakta yang tidak boleh disangkal atas nama doktrin agama atau ideologi apapun. Jika OS itu genetik atau biologis, itu artinya jika seseorang menjadi homoseksual, kondisi OS-nya ini berada di luar kekuasaannya untuk menolaknya, sama seperti seseorang tidak bisa menolak apakah akan dilahirkan sebagai lelaki ataukah sebagai perempuan.

Dalam bahasa keagamaan―tentunya para agamawan yang kebanyakan membenci LGBT bisa memahami―kita katakan bahwa seseorang menjadi homoseksual adalah karena “takdir ilahi”, yang dia tidak bisa tolak atau lawan sejak sebagai janin. Atau, LGBT itu sunatullah.

Jadi, membenci LGBT pasti tidak dikehendaki Tuhan Allah, sang Pencipta mahabesar, al-Rahman dan al-Rahim. Kebencian apapun tidak sejalan dengan kerahiman dan kerahmanian Allah. LGBT sangat disayangi Tuhan Allah, seperti anda menyayangi sepasang biji mata anda sendiri.

Interaksi gen, epigen dan lingkungan kehidupan

Tetapi, tentu saja, genetika atau biologi bukan segala-galanya yang membentuk jatidiri seksual anda. Semua aspek kehidupan kita tidak hanya genetis atau biologis (nature), tetapi juga dibentuk oleh pendidikan dan pengasuhan (nurture), lingkungan sosial kita hidup sehari-hari (social life environment), kebudayaan kita, kondisi ekologis, gaya hidup, dan tentu saja teknologi. Kemauan gen tidak otomatis akan menjadi terwujud. Semua faktor ini berinteraksi, ada yang berpengaruh sangat kuat dan ada yang sedang-sedang saja, dan ada yang lemah. Interaksi berbagai faktor ini juga sangat ditekankan oleh LeVay.

Kelly Servick dengan tepat menyatakan bahwa “Setiap kecondongan pembawaan genetik mungkin sekali berinteraksi dengan faktor-faktor lingkungan kehidupan yang mempengaruhi perkembangan suatu orientasi seksual.”/30/ Tidak ada lingkungan kehidupan yang statis, tanpa gerak dan perubahan lagi.

Karena itu, saya memandang, seksualitas manusia juga dinamis, bukan sesuatu yang sudah jadi dan final begitu dilahirkan hingga ajal, sama halnya dengan segi-segi lain dari diri kita, misalnya kecerdasan dan kearifan, kematangan emosional, serta bentuk tubuh dan perawakan. Oleh teknologi, tubuh dan perawakan serta penampilan kita (mau sexy, jantan, atau biasa-biasa saja) dapat dibentuk.

Begitu juga gen-gen kita sekarang sudah dapat direkayasa, di-edit, dimodifikasi, lewat teknik mutakhir yang dinamakan “DNA-editing” (CRISPR-Cas9), untuk menghasilkan spesies Homo sapiens yang berpenampilan lain, makin cerdas dan makin kuat. Teknik DNA-editing ini yang dipraktekkan pada suatu organisme di saat masih sebagai embrio, menghasilkan perubahan genetik pada embrio ini yang nanti akan tampak dalam bentuk tubuh dan sifat mental ketika embrio sudah menjadi organisme utuh dan tumbuh dewasa, dan perubahan genetik ini bersifat menetap dan akan diteruskan ke generasi-generasi selanjutnya.

Teknik pengeditan DNA embrio telah terbukti aman bagi organisme-organisme yang dihasilkannya, bahkan hingga masuk ke usia dewasa― suatu keadaaan yang berbeda jika dibandingkan teknik kloning tradisional yang sudah lama dikenal.

Sejauh sudah diketahui, teknik mengedit DNA ini (yang sama mudahnya dengan mengedit sebuah makalah dengan MS Word!) sedang ramai diterapkan pada hewan-hewan. Babi-babi mungil (micropigs) salah satu hasilnya, selain sapi-sapi jenis baru yang berdaging tebal, minim lemak, dan tak bertanduk. Tetapi, baru saja saya ketahui, teknik DNA-editing ini ternyata sudah diterapkan juga pada janin-janin manusia oleh para ilmuwan China! Yang belum jelas betul, lewat teknik ini mereka mau menciptakan jenis manusia baru yang bagaimana.

Gambar 5. Babi-babi mungil (micropigs) yang kini sudah menjadi teman bermain anak-anak dalam rumah dan bahkan teman makan semeja. Berat dewasa kurang lebih 10 kg. Harganya kini dipatok 1.600 USD per ekor, dengan warna-warni tubuh yang bisa dipesan. Sumber: New York Post. “Germany’s Memleben Zoo welcomes newborn, micropigs”. 25 September 2013, pada http://nypost.com/2013/09/25/germanys-memleben-zoo-welcomes-newborn-micro-pigs/#3.

Dalam jagat raya ini, segalanya mengalir, impermanen, berubah. Tanpa perubahan, sesuatu akan mati. Definisi-definisi lama tentang seksualitas juga berubah. Perubahan di zaman modern kini ibarat sebuah kereta listrik magnetik supercepat yang sedang melesat ke depan. Jika anda mau menghambat atau menghentikan perubahan, anda akan digilas lumat oleh kereta perubahan ini.

Menghadapi berbagai perubahan apapun yang ditimbulkan oleh sains modern, anda harus pertama membuka diri, kemudian memahami betul-betul perubahan-perubahan yang sedang terjadi, lalu memberi tanggapan teduh, positif, pro-aktif, cerdas, terpelajar.

Anda dapat bertanya ke saya tentu saja, apakah ada bukti bahwa OS setiap orang itu dinamis, cair, tidak statis, atau tidak baku, begitu mereka dilahirkan. Ya, saya menyatakan hal itu justru karena bukti-buktinya ada.

Institut kesehatan masyarakat nasional yang terkemuka di Amerika Serikat, yang dinamakan The CDC (The Centers for Desease Control and Prevention), telah melakukan survei nasional atas 9.000 responden dari berbagai jenis OS selama tahun 2011 hingga 2013.

Para peneliti CDC menemukan bahwa ternyata pria hetero juga suka bereksperimen seksual anal dengan sesama pria yang juga hetero, meskipun keduanya sama sekali bukan homo dan juga bukan biseksual. Mereka menegaskan bahwa baik perempuan maupun lelaki keduanya sama-sama memiliki seksualitas yang cair, tidak baku, dan mereka terdorong juga untuk mengadakan hubungan seksual dengan sesama jenis kendatipun kedua belah pihak sama-sama bukan gay dan juga bukan lesbian dan bukan biseksual. Mereka menandaskan bahwa OS itu ternyata mendiami kawasan abu-abu, ketimbang kawasan hitam atau putih.

Dalam kasus ini, harus jelas buat kita bahwa eksperiman bebas dalam berhubungan seks sama sekali bukan sebuah OS! Dalam banyak bidang kehidupan, kita suka mengadakan berbagai eksperimen bebas karena rasa ingin tahu atau kuriositas kita, dari hal-hal kecil sampai ke hal-hal besar. LGBT dapat berhubungan seksual dengan hetero, atau sebaliknya, karena mereka ingin tahu saja di mana nikmatnya dan di mana tidak nikmatnya hubungan seksual eksperimental ini. Manusia adalah organisme yang bebas melakukan eksperimen dalam hal apapun. 

Kehendak bebas atau freewill manusia adalah juga salah satu faktor ekstragenetik (yang umumnya dinamakan faktor epigenetik) yang ikut menentukan perilaku seksual seseorang. Perilaku seksual itu, jika dilihat dari sudut ini, jadinya bukan suatu bakat yang tidak bisa diubah lagi hingga orang wafat, juga bukan suatu takdir ilahi yang tidak bisa ditolak. Perilaku seksual itu, jadinya, memang urusan keputusan bebas pribadi masing-masing pasangan apapun yang terlibat, selain faktor-faktor biologis juga ikut memberi andil kuat. Kemauan gen bukan segala-galanya untuk segala hal dalam kehidupan organisme manapun dalam jagat raya ini.

Hal yang terpenting adalah ini: Jika LGBT ditolak, dibenci dan dimusuhi oleh para ideolog anti-LGBT, justru karena para heteroseksual juga bisa berubah sementara menjadi LGBT sejalan dengan kehendak bebas mereka, maka, konsekwensinya, para heteroseksual manapun juga harus senantiasa dicurigai, diawasi dan dikuntit, dan juga perlu harus dibenci dan dimusuhi dan diperangi. Harap anda catat: setiap heteroseksual juga LGBT potensial!

Lalu, siapakah yang harus mengawasi dan menguntit kalangan hetero yang juga LGBT potensial ini? Tuhan Allahkah? Lalu, Allah dalam agama yang mana? Juga, Apakah Allah mempunyai OS? Ataukah justru Allah melampaui atau mentransendir semua kategori OS sehingga dia juga merangkul semua OS yang ada dalam alam ini dengan kasih sayang? Dunia semacam inikah yang kita inginkan, yang sangat dibuat rumit dan repot oleh masalah OS yang sebetulnya lebih merupakan masalah personal, sejauh tidak menimbulkan ekses tindak kriminal dan penyebaran berbagai penyakit kelamin yang berbahaya dan mematikan seperti HIV/AIDS dalam masyarakat dan dalam setiap rumah tangga?

The CDC selanjutnya menyimpulkan demikian:

“Hal yang benar adalah bahwa satu-satunya orang yang tahu tentang segala sesuatu mengenai identitas seksual diri sendiri dan pilihan-pilihan seksual sendiri adalah diri orang-orang itu sendiri. Lepas dari sudah berapa banyak studi dan laporan yang sudah dibuat, aktivitas seksual dan orientasi seksual akan selalu merupakan isu-isu personal yang rumit, yang sangat mungkin menghasilkan beranekaragam pengalaman yang berbeda bagi setiap orang, dan berisi beranekaragam perasaan dan kisah yang tidak dapat diungkap hanya dengan angka-angka.”/31/

Kaitan antara gen dan lingkungan atau ekologi kehidupan dan gaya hidup dalam membentuk OS seseorang juga ditemukan dalam kajian-kajian yang terfokus pada “penanda-penanda epigenetik” (“epigenetic markers”, atau EM). EM menunjuk pada perubahan-perubahan kimiawi (metil-metana) pada DNA yang berdampak pada ihwal bagaimana gen mengekspresikan diri (dalam ilmu genetika, mekanisme ini dinamakan “DNA methylation”), tapi tidak berdampak pada informasi genetik dalam gen sendiri. EM ini dapat diturunkan ke generasi selanjutnya, tapi juga dapat diubah oleh lingkungan kehidupan dan gaya hidup.

Faktor genetik dan faktor epigenetik berinteraksi dalam semua aspek biologis manusia, juga dalam pembentukan OS setiap individu. Studi klinis mutakhir yang dilakukan genetikus Eric Vilain dkk dari Universitas California, Los Angeles (UCLA), telah menemukan interaksi antara gen dan epigen dalam pembentukan OS. Vilain menegaskan bahwa dia tidak terkejut ketika menemukan bahwa selain faktor genetik, faktor epigenetik juga terhubung dengan OS seseorang./32/

Sebuah kajian mutakhir tentang orientasi seksual juga menunjukkan bahwa tingkat keandalan memprediksi orientasi seksual dengan berbasis gen sangat signifikan, mencapai angka 70 persen. Kajian ini dilakukan pada orang dewasa. Tim peneliti menemukan bahwa proses metilasi (methylation) atau perubahan epigenetik pada DNA (yang dilakukan sel-sel untuk membuat gen-gen tertentu berada pada posisi “off”) berperan signifikan dalam menjadikan seseorang berorientasi seksual LGBT. Proses metilasi epigenetik ini dapat dipicu oleh efek-efek hormonal dalam rahim saat janin sedang mengalami pertumbuhan, atau tak lama sesudah kelahiran karena pengaruh lingkungan. Metilasi epigenetik pada DNA ini diteruskan ke generasi-generasi berikutnya, sejalan dengan gaya dan lingkungan kehidupan orangtua atau kakek dan nenek si individu./33/

Sejalan dengan itu, Simon LeVay menyimpulkan bahwa “Orientasi seksual adalah suatu aspek yang cukup stabil dari kodrat manusia, dan bahwa kalangan heteroseksual, gay dan biseksual telah ada di semua kebudayaan. Hal ini menyarankan bahwa faktor-faktor biologis yang umum terdapat di seluruh umat manusia dapat bertanggungjawab bagi kemunculan individu-individu yang memiliki OS berbeda-beda. Namun kita perlu juga berpikir berbeda tentang OS dalam diri pria dan wanita, dan bahwa faktor-faktor kultural juga berpengaruh besar pada bagaimana homoseksualitas diekspresikan dalam masyarakat-masyarakat yang berlainan dan di sepanjang sejarah manusia. Dengan kata lain, penjelasan-penjelasan berbasis ide-ide biologis tentang OS manusia memiliki keterbatasan-keterbatasan juga, tidak seperti yang kita harapkan.”/34/

Jadi, meskipun gen itu punya peran yang sangat krusial dan kuat dalam seluruh biologi seorang insan, namun gen memang bukan segala-galanya yang menentukan OS. Epigen yang bekerja dalam DNA dan dapat diubah oleh lingkungan dan gaya hidup juga ikut membangun OS setiap individu. Berhubung lingkungan dan cara hidup yang juga ikut menentukan OS atau, lebih tepat, perilaku seksual seseorang, lazimnya terus berubah, dinamis, maka OS atau perilaku seksual juga mustinya dinamis, cair, tidak baku selamanya.

Kesalahan fatal: mereparasi LGBT!

Jika seksualitas manusia itu dinamis, maka terbuka kemungkinan bahwa perilaku hetero- dan homo-seksual juga bisa bersifat sementara, bukan suatu perilaku yang menetap selamanya. Jadi, sebagaimana semua perilaku seksual bisa berubah, dari heteroseksual ke homoseksual, begitu juga sebaliknya: homoseksualitas bisa berubah sendiri, atau diubah dengan sengaja lewat sains dan teknologi, atau lebih lumrah, lewat gaya hidup setiap orang.

Belum lama ini (2009) para peneliti dari The National Association for Research and Therapy of Homosexuality (NARTH) menegaskan bahwa “adalah mungkin baik bagi pria maupun bagi wanita untuk berubah dari homoseksual ke heteroseksual” dan bahwa “terapi untuk reorientasi seksual kelihatan bermanfaat dan tidak berbahaya, sehingga harus terus disediakan bagi orang-orang yang mencarinya.” Tapi NARTH juga menegaskan bahwa “klien yang tidak merasa tertekan oleh orientasi seksual mereka harus tidak diarahkan untuk mengubahnya oleh para profesional kesehatan mental.”/35/

Meskipun demikian, tentu harus diajukan sebuah pertanyaan kepada NARTH: Lantaran OS bukan suatu penyakit, apakah terapi reorientasi seksual diperlukan, atau malah membahayakan? Soal ini akan segera saya jawab di bawah ini.

Saya harus segera menambahkan info lebih jauh yang sangat penting. Sekarang ini, terutama karena alasan perintah Tuhan dan juga karena tak punya pengetahuan yang benar tentang spektrum OS LGBT, banyak pihak dengan paksa meminta kalangan LGBT untuk menjalani terapi “reorientasi” atau terapi “konversi” atau terapi “penyembuhan” atau terapi “reparasi” untuk mengubah mereka jadi heteroseksual. Seolah bagi mereka, menjadi heteroseksual atau menjadi LGBT hanya suatu soal perilaku mekanik menaikkan atau menurunkan sebuah tuas panel listrik atau menekan sebuah tombol OFF dan ON bergantian, bergantung kebutuhan syahwat sesaat yang liar.

Kalangan yang sedang memaksakan kehendak mereka pada kelompok minoritas LGBT memandang OS LGBT sebagai suatu penyakit yang harus disembuhkan, bahkan sebagai suatu gangguan jiwa, dan juga sebagai kutukan Tuhan seperti dulu orang memandang penyakit kusta. Lebih edan lagi, ada banyak orang memandang LGBT sebagai orang-orang yang sedang kerasukan setan, atau malah tidak termasuk spesies Homo sapiens. Mereka melihat manusia normal itu hanya manusia heteroseksual, lelaki dan perempuan, Adam and Eve, bukan Adam and Steve atau Adam dan Hawa, bukan Adam dan Siwa. LGBT kata mereka bukan ciptaan Tuhan meskipun mereka, anehnya, juga keturunan Adam dan Hawa.

Kalangan pembenci LGBT tidak tahu bahwa nyaris semua lembaga kesehatan yang diakui dunia dan nyaris seluruh pakar seksologi yang terkemuka sudah menemukan banyak bukti klinis lintasilmu bahwa LGBT sama normal dan sama sehat dengan orang heteroseksual. LGBT bukan orang sakit. Mereka sehat dan juga sama happy dan sama normal dengan kalangan hetero jika mereka hidup wajar sehari-hari dan tidak dibebani tekanan sosiopsikologis dan berbagai stigma negatif dari masyarakat heteroseksual.

Bahwa terapi reorientasi atau konversi atau penyembuhan atau reparasi terhadap LGBT sangat berbahaya dan merusak mental dan daya hidup kalangan LGBT dan tidak berdasar pada ilmu pengetahuan yang lengkap tentang orientasi seksual, sudah dinyatakan dengan tegas oleh seluruh lembaga kesehatan dunia dan oleh para pakar medik dan pakar seksologi yang profesional, sebagaimana dapat dibaca pada artikel yang berjudul “The Lies and Dangers of Efforts to Change Sexual Orientation or Gender Identity”./36/ Dalam sumber yang memuat banyak info ilmiah penting tentang LGBT ini, dimuat antara lain pernyataan ini:

“Fakta terpenting tentang ‘terapi reparatif’, yang kadang juga disebut sebagai 'terapi konversi', adalah bahwa terapi ini didasarkan pada suatu pemahaman tentang homoseksualitas yang telah ditolak oleh semua profesional utama kesehatan umum dan kesehatan mental. American Academy of PediatricsAmerican Counseling AssociationAmerican Psychiatric AssociationAmerican Psychological AssociationNational Association of School Psychologists, dan National Association of Social Workers, yang semuanya mencakup lebih dari 477.000 profesional kesehatan umum dan kesehatan mental, bulat berpendapat bahwa homoseksualitas bukan suatu gangguan mental, dan dengan demikian tidak memerlukan suatu ‘penyembuhan’”.

Dalam artikel yang sama, kita baca tentang hasil penelitian lapangan yang dilakukan Universitas Negara San Francisco tentang kekuatan mental kalangan LGBT yang tertekan dan ditolak jika dibandingkan kalangan LGBT yang dapat hidup happy dan wajar dan diterima. Ditemukan fakta bahwa “dibandingkan dengan kaum LGBT yang tidak ditolak oleh orangtua dan pengasuh mereka karena mereka memiliki identitas gay atau transgender, orang LGBT yang ditolak dengan kuat memiliki peluang kemungkinan 8 kali lipat untuk bunuh diri, nyaris 6 kali lipat mengalami depresi berat, lebih dari 3 kali lipat menggunakan obat-obat terlarang, dan lebih dari 3 kali lipat kemungkinan terkena HIV dan STDs.”

Psikiater terkenal dari APA, Saul Levin, menyatakan bahwa “usaha mengubah OS seseorang lewat apa yang dinamakan ‘terapi konversi’ dapat dan sering menimbulkan bahaya yang real. Faktanya, risiko-risiko yang terkait dengan ‘terapi konversi’ mencakup rasa cemas, depresi, bunuh diri, isolasi sosial, hilangnya kemampuan untuk membangun hubungan yang akrab, dan berbagai tindakan lain yang mau merusak diri sendiri.” Lebih jauh Levin menegaskan bahwa “penting untuk dicatat tidak ada bukti bahwa usaha-usaha untuk mengubah OS seseorang pernah berhasil, pun ketika si individu dengan ikhlas ingin OS-nya diubah.”/37/

Sangat penting diketahui bahwa kalangan LGBT (khususnya tipe distonik, yakni LGBT yang tidak merasa berbahagia dengan keadaan diri mereka sendiri) juga potensial menjadi homofobik terhadap LGBT lain. Akarnya ini: tekanan sosiopsikologis yang sangat kuat, yang mereka alami dari orangtua dan saudara-saudara mereka di rumah, mereka pendam dan desak kuat-kuat ke dalam alam bawah sadar mereka. 

Karena LGBT distonik jenis ini tidak ingin melawan dan melukai perasaan orangtua dan saudara-saudara mereka, mereka berusaha semampu mereka untuk hidup seolah mereka hetero, sesuai kehendak keluarga mereka. Akibatnya, mereka menyangkali dan menolak dengan kuat jati diri mereka yang sebetulnya LGBT. Inilah “self-rejection” atau “self-denial” yang mereka paksakan atas diri mereka sendiri. Akibat selanjutnya, mereka juga membenci diri mereka sebagai LGBT. 

Tekanan sosiopsikologis yang dipendam ini, dan kebencian dan penolakan serta kemarahan mereka terhadap diri mereka sendiri, akhirnya mereka harus salurkan juga demi keseimbangan jiwa mereka kepada sesama LGBT dalam masyarakat; alhasil, LGBT jenis ini juga menjadi homofobik. 

Dalam relasi-relasi sosial, kultural dan religius, dan juga dalam urusan-urusan politik penyelenggara pemerintahan setempat, katarsis psikologis LGBT yang semacam ini membuat mereka tidak ragu untuk memperlihatkan sikap homofobik yang sangat garang, tindak kebencian dan kata-kata yang brutal, terhadap sesama LGBT, dan juga dalam banyak kebijakan politis dan dalam perlakuan diskriminatif terhadap kalangan LGBT. 

Sudah banyak penelitian yang memperlihatkan bahwa homofobia dalam diri LGBT timbul karena sikap dan kelakuan orangtua dan anggota keluarga yang represif, otoriter dan antipatetis terhadap para LGBT. Ini tentu saja suatu fakta yang mungkin sekali sangat mengagetkan bagi banyak orang yang selama ini menduga bahkan menuduh bahwa orang-orang yang membela LGBT sebetulnya adalah LGBT juga. Realitasnya ternyata kebalikannya./38/

Ambil beberapa contoh saja. Pendeta gereja evangelikal di Amerika Serikat, Ted Haggard, sangat anti-gay dalam khotbah-khotbahnya dan dalam sikap dan kelakuannya. Tapi di tahun 2006 Haggard terbukti terlibat skandal seksual dengan seorang gay. Begitu juga mantan ketua Young Republican National Federation, Genn Murphy, yang dikenal sebagai ideolog anti-LGBT dan perkawinan sejenis, telah dituduh melakukan serangan dan kekerasan seksual pada 2007 terhadap seorang pria berumur 22 tahun. Homofobia di kalangan LGBT juga menjadi penyebab dibunuhnya Matthew Shepard pada 1998. 

Nah, jika diperhadapkan pada semua data dan fakta di atas, semua klaim NARTH tentang reparasi LGBT memang harus sungguh-sungguh diragukan, atau lebih tegas lagi, harus ditolak. Ketimbang bersikap negatif terhadap LGBT, kita sebaliknya harus bersikap positif.

Situasi dan Kondisi di Indonesia

Di negeri kita Indonesia, Menko Polhukam Luhut Binsar Pandjaitan belum lama ini, 12 Februari 2016, menyatakan bahwa kaum LGBT ada untuk diayomi dan dilindungi sebagai sesama WNI yang minoritas, bukan untuk dibenci, diusir atau dibunuh./39/ Saya ingatkan kembali, bahwa para pakar kesehatan dan seksologi bangsa kita sendiri, atas nama Depkes RI, di tahun 1993 sudah menyatakan bahwa homoseksualitas bukan suatu penyakit gangguan jiwa.

Sayangnya, di tahun 2016 posisi yang sudah betul ini diubah oleh PDSKJI seratus delapan puluh derajat! Perubahan ke posisi yang tidak ilmiah ini dimulai oleh psikiater dan direktur Pencegahan dan Pengendalian Masalah Kesehatan Jiwa dan NAPZA di Kemenkes RI, dr. Fidiansyah SpKJ MPH, pada acara Indonesia Lawyers Club di TV One 16 Februari 2016. Dalam acara itu, dia menyatakan kepada publik bahwa OS LGBT adalah suatu gangguan jiwa sebagaimana, menurutnya dengan keliru, telah dinyatakan dalam buku tebal PPDGJ III yang sudah dirujuk di atas. Reaksi-reaksi keras berbagai kalangan terhadap pemelintiran fakta sains yang telah dilakukan oleh dr. Fidiansyah ini tentu saja bermunculan hingga akhirnya memaksanya minta maaf; namun dia juga tetap bertahan bahwa dia benar dengan pendapat keagamaannya bahwa LGBT tidak diridohi Allah SWT! Beliau tentu lupa bahwa psikiatri itu sains empiris, bukan agama! 

Lalu aneh juga, seorang menteri yang diberitanggungjawab untuk bidang riset dan teknologi NKRI, Muhamad Nasir, belum lama ini sempat mengeluarkan sebuah larangan bagi semua bentuk kegiatan yang terkait dengan LGBT di semua kampus di seluruh Indonesia (misalnya seminar, diskusi, konsultasi dan konseling). Tapi bagi mahaguru psikologi Universitas Indonesia, Prof. Sarlito Wirawan Sarwono, sikap Menristek ini hanyalah sebuah reaksi bertahan (defense mechanism) yang mewakili salah satu unsur saja dalam masyarakat yang melihat kaum LGBT sebagai suatu ancaman yang membahayakan masyarakat. Selanjutnya, Prof. Sarlito menegaskan bahwa “Saya yakin LGBT di Indonesia tidak akan punah, karena LGBT itu sebagian dari sunatullah juga.”/40/

Tidaklah mengejutkan jika pada 9 Maret 2016, ketua American Psychiatric Association (APA), Ms. Renée Binder, bersama Saul Levin, atas nama APA telah menulis sebuah surat resmi kepada PDSKJI terkait soal LGBT di Indonesia. Lewat surat itu (yang ditujukan ke Dr. Tun Kurniasih Bastaman), APA mendesak PDSKJI untuk meninjau kembali posisi PDSKJI  yang menyatakan bahwa homoseksualitas (atau LGBT) tergolong suatu gangguan jiwa atau suatu penyakit mental, lantaran posisi PDSKJI ini tidak memiliki bukti ilmiah apapun yang mendukung. Selanjutnya APA menegaskan bahwa “ada suatu komponen biologis yang kuat yang membentuk OS, dan bahwa OS dapat dipengaruhi oleh interaksi faktor-faktor genetik, hormonal dan lingkungan kehidupan. Pendek kata, tidak ada bukti ilmiah bahwa OS (baik heteroseksual, homoseksual, maupun yang bukan) adalah suatu pilihan bebas individual.”/41/

Jika ada kalangan di NKRI yang memandang LGBT sebagai suatu abnormalitas, suatu gangguan jiwa, suatu kutukan Tuhan, saya, positif saja, mendorong mereka untuk mendirikan banyak klinik terapi LGBT, jika memang kalangan yang anti-LGBT ini dimotivasi oleh cinta kasih kepada LGBT. Lalu kita wait and see, akan adakah “pasien” yang akan dengan ikhlas, rela dan happy mau datang berobat, gratis sekalipun. Atau semua klinik mereka akhirnya terpaksa ditutup karena tidak ada satu pasien pun yang datang untuk berobat. Alhasil, para penyandang dana dari Timteng atau dari Amerika untuk klinik-klinik itu semuanya akan akhirnya mencak-mencak, keki banget, setelah mereka gagal mengubek-ubek NKRI.

Atau, sebagaimana sudah diungkap di atas, terapi reparasi LGBT hanya sementara saja akan menampakkan “kesembuhan” pada seorang pasien LGBT labil tipe distonik yang selalu resah dan tidak percaya diri; tetapi sekian waktu kemudian si pasien ini ternyata malah akan dapat makin depresif, dan kondisi mentalnya yang memburuk ini dapat berakhir dengan bunuh diri.

Jadi, menurut saya, LGBT tipe distonik tidak memerlukan terapi reparasi atau terapi konversi. Yang mereka butuhkan adalah pemberdayaan lewat pendampingan yang sinambung sehingga akhirnya mereka dapat dengan positif menerima kenyataan bahwa mereka memang LGBT, lalu dapat hidup riang dan gembira sekalipun mereka LGBT. Lebih penting lagi, mereka dapat bekerja mencari nafkah dengan halal dan terhormat, dan dapat mencapai cita-cita mereka.

Pada sisi lain, masyarakat juga perlu dengan bertahap dibimbing dan disadarkan sehingga akhirnya mereka juga dapat menerima kalangan LGBT sebagai sesama manusia yang sama bermartabat dan sama terhormat seperti kalangan hetero.

Bagaimanapun juga, anda perlu mengantisipasi bahwa pro dan kontra terhadap kalangan LGBT di negara kita sekarang ini akan membuka banyak peluang bisnis baru reparasi LGBT yang akan dikelola oleh lembaga-lembaga keagamaan konservatif dari berbagai agama. Sejauh saya tahu, telah ada sebuah komunitas di negeri ini yang diberi nama Peduli Sahabat yang mengklaim mampu mereparasi OS LGBT untuk pulih kembali ke OS heteroseksual.

Belum lama ini, 24 Februari 2016, Prof. Franz Magnis-Suseno dari Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta, menyatakan bahwa usaha “mau menyembuhkan atau membina ke jalan yang benar mereka yang berkecenderungan alami [sebagai LGBT] adalah tidak masuk akal.” Selanjutnya, Prof. Magnis menegaskan bahwa “kita mesti menyepakati bahwa segala diskriminasi terhadap mereka yang homo harus diakhiri. Orientasi seksual tidak relevan untuk kebanyakan bidang kehidupan. Dari seorang pejabat tinggi dapat diharapkan bahwa dia bisa membedakan antara wawasan tingkat taman kanak-kanak dan wawasan universitas. Justru universitaslah tempat di mana diskursus kompeten dan terbuka terhadap implikasi perbedaan orientasi seksual harus dibicarakan. Para rektor universitas wajib berat menjamin kebebasan akademik.”/42/

Saya juga mau ingatkan bahwa dalam bab terakhir bukunya, Gay, Straight, and the Reason Why: The Science of Sexual Orientation, LeVay mengusulkan segi-segi lain dari seksualitas manusia, khususnya OS homoseksual, yang perlu diteliti dalam kajian-kajian mendatang. Ini adalah sebuah sikap ilmiah tulen, sikap yang tidak melihat temuan-temuan ilmiah sendiri apapun sudah final, yang tidak menyisakan segi-segi lain yang harus diteliti lebih lanjut.

Tidak ada sains yang sudah final. Sains selalu membutuhkan penyelidikan lebih lanjut, yang bisa menfalsifikasi temuan-temuan sebelumnya atau malah memperkuat. Sejauh ini, LeVay menemukan semua temuan kajian OS homoseksual sebelumnya valid, terverifikasi. Meskipun demikian, sebagai sains, kajian-kajian tentang homoseksualitas tidak akan berhenti, kapanpun juga.

Salah satu bidang yang kini paling menantang dalam kajian terhadap seksualitas manusia adalah menemukan “gen-gen homoseksual”, seperti yang diharapkan LeVay. Penemuan bagian Xq28 dalam kromosom X pasti akan disusul dengan temuan-temuan lain yang lebih revolusioner, antara lain lewat teknik GWA yang sudah disinggung di atas.

Tidak usah terkejut jika tidak lama lagi para pakar genetika dan seksologi juga akan sepakat bulat bahwa orientasi seksual setiap orang memiliki basis genetik yang sangat kuat, dengan mereka mengajukan bukti-bukti yang makin kokoh.

Sama tuanya dengan usia Homo sapiens

Jadi, dari ilmu pengetahuan, kini kita tahu OS HLGBT terbentuk dari interaksi sejumlah faktor yang sudah diobservasi, yakni faktor-faktor genetik, epigenetik, biologis, serebral, hormonal, fisiologis, psikologis; dan lingkungan kehidupan juga ikut memberi andil. Semua hal lain yang menyangkut bentuk fisik dan keadaan mental dan pembawaan serta kebiasaan hidup kita juga dibentuk oleh faktor-faktor yang sama.

Informasi genetik, bagaimanapun juga, berperan besar dalam membentuk diri seseorang (fisik dan mental) dalam segala aspek kehidupan. Alis mata anda, atau kumis anda, atau seluruh rambut di kepala anda, apa warnanya, bagaimana bentuknya, bahkan sampai ke soal ubanan dan kebotakan, semuanya telah ditemukan memiliki basis genetik yang kuat./43/

Karena OS itu berbasis biologis dalam arti luas, tentu saja sejak manusia cerdas (Homo sapiens) ada di muka Bumi, OS HLGBT tentu juga sudah ada. Jauh sebelum kejadian yang menimpa kota Sodom dan kota Gomorah yang melibatkan Nabi Lot (atau Luth)―yang kisahnya (cari tahu sendiri, apakah ini kisah faktual atau kisah fiktif!) selalu dijadikan landasan skriptural untuk mengecam dan mengutuk homoseksualitas―OS LGBT sudah pasti ada.

Suatu saat nanti, kalau paleobiologi sudah semakin maju, para saintis akan bisa menemukan bukti-bukti biologis bahwa OS LGBT sudah ada sama tuanya dengan usia keberadaan manusia di muka Bumi. Yang sekarang sudah diketahui adalah bahwa homoseksualitas juga ada pada 1.500 spesies hewan non-manusia. Ini lagi menunjukkan bahwa OS homoseksualitas adalah sunatullah.

Kapan manusia cerdas pertama muncul di muka Bumi? Menurut kitab suci tertua teisme (yakni Tanakh Yahudi), Adam dan Hawa adalah pasangan manusia pertama pria dan wanita yang diciptakan Allah langsung besar tanpa memiliki udel.

Menurut literalis Katolik yang hidup di abad ke-17, uskup agung Almargh yang bernama James Usher, setelah dia menghitung-hitung hari-hari, kejadian-kejadian dan silsilah-silsilah yang dikisahkan dalam Alkitab (baginya Alkitab adalah sebuah kitab sejarah yang ajaib dan serba akurat), jagat raya atau “langit dan Bumi” diciptakan Allah persis pada hari Minggu tanggal 23 Oktober 4004 SM. Jadi, sekarang ini di abad ke-21 jagat raya baru berusia 6.000 tahun.

Sedangkan menurut sains modern, jagat raya kita yang tercipta lewat big bang sudah berusia 13,8 milyar tahun. Sistem Matahari kita sendiri, dus juga planet Bumi, sudah berusia 4,54 milyar tahun. Selama ini dipandang bahwa kehidupan sangat sederhana pertama kali muncul di Bumi 3,8 milyar tahun lalu, yang selanjutnya berevolusi tahap demi tahap. Tetapi, baru-baru ini suatu tim pakar geokimia dari UCLA telah menemukan bukti-bukti bahwa sangat mungkin kehidupan sederhana telah muncul di planet Bumi setidaknya 4,1 milyar tahun lalu. Kehidupan sederhana yang berhasil ditemukan ini terkandung dalam grafit atau carbon murni (yang mencakup carbon-12 hingga carbon-13) yang sudah memiliki kemampuan melakukan fotosintesis./44/ Sudah kita ketahui bahwa carbon adalah unsur esensial utama kehidupan.

Kalau pendapat James Usher diikuti, berarti Homo sapiens baru muncul di Bumi ya juga kurang lebih 6.000 tahun yang lalu. Atau kita bulatkan saja, baru muncul 10.000 tahun lalu. Tetapi dari ilmu pengetahuan, yang memakai bukti paleo-DNA mitokondrial, kita tahu dengan pasti bahwa Homo sapiens (kita semua, manusia cerdas dengan anatomi tubuh modern) muncul 300.000 tahun lalu di Afrika, bukan di Taman Eden di kawasan Mesopotamia 10.000 tahun lalu. Kalau kita telusuri sedikit jauh ke belakang, anekaragam hominid yang menjadi moyang terdekat Homo sapiens muncul 400.000 tahun lalu.

Dengan memakai temuan sains ini, lebih jauh kita dapat katakan bahwa LGBT pasti juga sudah ada 300.000 hingga 400.000 tahun lalu, jauh sebelum kisah Nabi Lot ditulis. LGBT sudah ada sama tuanya dengan usia keberadaan Homo sapiens di muka Bumi, tapi baru dipelajari dan dikaji secara ilmiah di abad ke-20 M.

Dari tempat asalnya di Afrika, Homo sapiens HLGBT dulu sekali menyebar dan bermigrasi ke segala arah hingga akhirnya berada di seluruh muka Bumi, termasuk di tanah Arab di Timteng, juga di nusantara Indonesia dan di semua tempat lain di muka Bumi.

Kalau mau dirunut lebih jauh, jauh kebelakang lagi, ya unsur-unsur kimiawi esensial yang membangun dan membentuk tubuh kita (carbon, hidrogen, nitrogen, oksigen, fosforus dan sulfur) berawal-mula dari debu-debu kimiawi bintang-bintang yang meledak (supernovae) di angkasa luar, milyaran tahun lalu. Pada level partikel dan atom, tidak ada suatu hal apapun, termasuk OS apapun, yang membedakan manusia yang satu dari manusia yang lainnya. Kita semua, siapapun kita, kapanpun dan di manapun, satu asalnya: debu-debu kimiawi supernovae.

Penutup

Jadi, pesan saya kepada para ideolog anti-LGBT, jangan anda picik memandang LGBT hanya milik dunia Barat. Jangan mungkin karena kebencian pada Barat, anda melampiaskan kebencian ini kepada kaum LGBT sebagai kompensasi dan demo kemarahan anda pada Barat.

LGBT itu manusia, dan LGBT WNI itu sesama warganegara yang wajib kita dan pemerintah NKRI sayangi dan lindungi karena mereka sungguh-sungguh manusia Indonesia. Jumlah mereka sangat sedikit dan juga tak akan berkembang pesat selama puluhan tahun ke depan, dan, khususnya, karena mereka rentan dizalimi oleh kalangan hetero yang jumlahnya ratusan juta kepala.

Kalangan hetero di dunia ini bak seekor gajah besar yang bisa dengan sangat mudah menginjak mati seekor semut LGBT. Jika anda memang seekor gajah besar hetero, jadilah gajah besar yang baik hati, yang bisa berkawan dan bercakap-cakap santai dengan semut-semut. Semut-semut kecil tidak akan bisa membuat sakit si gajah besar sekalipun mereka menggigit kakinya kuat-kuat karena mereka diinjak.

LGBT di dunia ini minoritas dan mereka juga, jangan takut, tak bisa membuat yang hetero jadi LGBT, karena jadi LGBT bukan pilihan sendiri, tapi berbasis genetis dan biologis. Pengaruh lingkungan bisa ada, tapi jauh lebih lemah dibandingkan sunatullah gen dan biologi secara umum. OS LGBT juga bukan penyakit menular. Bukan cacar air. Bukan virus HIV/AIDS. Bukan herpes. Bukan TBC. OS LGBT juga bukan kanker, suatu penyakit pembunuh yang kini sudah ditemukan sangat mungkin bisa menular ke orang lain./45/ 

Sejauh menyangkut LGBT sintonik―yaitu LGBT yang happy, relaxed, punya harkat dan martabat, kehormatan diri, percaya diri dan hidup mereka teraktualisasi―OS LGBT juga adalah sesuatu yang normal saja, bagian dari sunatullah, sesuatu yang genetik dan biologis, sama seperti OS hetero.

Kalau anda yang hetero bertanya dengan nada curiga mengapa mereka menjadi LGBT, ajukanlah juga pertanyaan yang sama kepada diri anda dengan curiga, mengapa diri anda hetero. Ketika anda mengacungkan satu jari telunjuk anda ke orang lain, ingatlah bahwa tiga jari anda lainnya dengan ditopang oleh jempol juga terarah kepada diri anda sendiri.

Jadi tidak ada alasan atau basis ilmiah apapun untuk orang kini memandang LGBT, baik yang sintonik maupun yang distonik, sebagai suatu gangguan mental yang perlu diobati atau orang LGBT dipandang rendah, sakit jiwa, atau dikutuk Allah atau malah bukan manusia.

Nah, sebagaimana ada banyak hetero yang sakit jiwa dan hidup tak setia pada satu suami/satu istri, menikmati freesex, suka nonton pornografi urakan, suka pesta seks gila, terkena dan menularkan HIV/AIDS, depresif, mau bunuh diri, hal yang sama juga bisa terjadi pada LGBT. Jadi, dalam hal ini hetero tidak lebih unggul dari LGBT, khususnya LGBT yang berjiwa labil yang dinamakan LGBT distonik.

Juga, sebagaimana banyak hetero berhasil jadi orang termashyur karena kecerdasan otak, kinerja dan prestasi mereka dalam berbagai bidang kehidupan dan pekerjaan, dan khususnya dalam dunia sains-tek dan senibudaya, hal yang sama juga terbukti bisa diberikan kaum LGBT kepada dunia dan umat manusia, sejak dulu hingga kini, khususnya LGBT tipe sintonik, yaitu LGBT yang percaya diri, hidup terbuka pada realitas dirinya dan dunia luar, gembira, merdeka, bermoral, bekerja dengan wajar dan penuh optimisme, dan punya marwah diri.

Jadi, daripada melakukan usaha sia-sia dan tak ilmiah untuk mereparasi LGBT, hal yang jauh lebih diperlukan adalah menemukan para LGBT sintonik yang cerdas di matematika atau dalam IPA, lalu mereka dimotivasi dan diberi beasiswa untuk sekolah setinggi-tingginya hingga akhirnya mereka menjadi para ilmuwan dunia yang terkenal.

Pada sisi lain, pemberdayaan dan pendampingan jangka panjang perlu diadakan bagi LGTB distonik untuk akhirnya mereka dapat juga menjadi LGBT sintonik yang dapat menjalani kehidupan mereka dengan teraktualisasi.

Jika ada rekan-rekan saya yang LGBT, yang saya kenal pribadi atau yang saya kenal lewat berbagai medsos, jalanilah kehidupan anda dengan relaks, kalem, cerdas, riang, jangan mata keranjang, jangan suka freesex. Pilihlah satu saja mitra hidup sejati, setia sampai mati satu sama lain, dan kerja keras dan kerja cerdaslah untuk dapat penghasilan halal.

Jika ini jalan hidup teman-teman LGBT, maka anda semua adalah LGBT yang punya self-esteem, punya harkat dan martabat diri. Apalagi jika anda punya IQ tinggi. Bangun dan kembangkan sains dan teknologi di negeri kita supaya lewat anda yang LGBT, Indonesia dapat menjadi negara maju yang mampu bersaing di arena global dalam dunia sains dan teknologi. Jika anda LBGT yang percaya diri, happy, relaxed, dan mampu mempertahankan harkat dan martabat anda dengan agung, maka dalam psikologi anda digolongkan sebagai LGBT tipe sintonik. 

Saya menganjurkan semua LGBT dan para ideolog anti-LGBT membaca dua buku ini yang membeberkan peran besar dan bermartabat yang pernah disandang para LGBT sejak zaman kuno dan seterusnya. Buku pertama karya Allan Bérubé, Coming Out Under Fire: The History of Gay Men and Women in World War II./46/ Buku kedua karya Robert Aldrich dan Garry Wotherspoon, Who’s Who in Contemporary Gay and Lesbian History: From Antiquity to World War II (2 jilid)./47/

Akhirnya, jika kalian LGBT, katakan serentak dengan lemah-lembut dan gembira, “We are proud of being dignified and noble LGBT humans!”

Salam dalam kesunyian,

Jakarta, 3 Mei 2016
ioanes rakhmat 

N.B. Bagian dua tulisan ini fokus pada aspek-aspek keagamaan, politik dan hukum kalangan LGBT. Kini sudah terpasang di sini. Bacalah dan bantu sebarkan demi pencerdasan masyarakat dengan lebih luas. Thank you.

Catatan-catatan

/1/ Lihat JAMA: Gay Is Okay With APA (American Psychiatric Association); tersedia online di http://www.soulforce.org/article/642

/2/ Lihat Suzanne Trimel (Direktur Komunikasi IGLHRC), “UN Human Rights Council Votes to Support LGBT Rights”, OutRight Action International, pada https://www.outrightinternational.org/content/un-human-rights-council-votes-support-lgbt-rights. Lihat juga kertas kerja HRC PBB tanggal 24 September 2014 (format PDF) pada https://www.outrightinternational.org/sites/default/files/HRC-27-L27-rev1.pdf.

/3/ Halaman 30. “Case No. S147999 in the Supreme Court of the State of California, In re Marriage Cases Judicial Council Coordination Proceeding No. 4365(…) –APA California Amicus Brief―As Filed”, padahttp://www.courtinfo.ca.gov/courts/supreme/highprofile/documents/Amer_Psychological_Assn_Amicus_Curiae_Brief.pdf

/4/ Lihat berita Heru Margianto, “Homoseksual Bukan Penyimpangan Seksual”, Kompas.com, 11 November 2008, pada http://nasional.kompas.com/read/2008/11/11/13081144/Homoseksual.Bukan.Penyimpangan.Seksual.

/5/ Tentang homoseksualitas pada hewan, dua links ini menyediakan banyak informasi berharga: http://en.wikipedia.org/wiki/Homosexual_behavior_in_animals dan http://en.wikipedia.org/wiki/List_of_animals_displaying_homosexual_behavior.

/6/ Bruce Bagemihl, Biological Exuberance: Animal Homosexuality and Natural Diversity (New York: St. Martin's Press, 1999).

/7/ Lihat J.T. Eberhard, “Ben Carson isn’t sure if the Constitution has authority over the Bible”, Patheos, 4 August 2015, pada http://www.patheos.com/blogs/wwjtd/2015/08/ben-carson-isnt-sure-if-the-constitution-has-authority-over-the-bible/. Lihat juga pada http://www.christianpost.com/news/ben-carson-asked-gotcha-question-does-the-bible-have-authority-over-the-constitution-142209/.

/8/ Lihat Pew Research Center, “Section 2: Knowing Gays and Lesbians, Religious Conflicts, Beliefs about Homosexuality. Mixed Views on Why People Are gay or Lesbian”, Pew Research Center, 8 June 2015, pada http://www.people-press.org/2015/06/08/section-2-knowing-gays-and-lesbians-religious-conflicts-beliefs-about-homosexuality/.

/9/ Lihat reportase Jeffrey Kluger, “No Ben Carson, Homosexuality Is Not a Choice”, Time, 6 March 2015, pada http://time.com/3733480/ben-carson-gay-choice-science/.

/10/ Simon LeVay, “A Difference in Hypothalamic Structure between Homosexual and Heterosexual Men”, Science, Vol. 253, No. 5023, 30 August 1991, hlm. 1034-1037, pada http://www.sciencemag.org/content/253/5023/1034.abstract.

/11/ Sumber https://mitpress.mit.edu/books/sexual-brain.

/12/ Simon LeVay, The Sexual Brain (Cambridge/London, MA/UK: MIT Press1993,1994), hlm. xi-xii. 

/13/ Simon LeVay, The Sexual Brain, hlm. xiii-xiv. 

/14/ Simon LeVay, The Sexual Brain, hlm. 120-121.

/15/ Simon LeVay, The Sexual Brain, hlm. 122. 

/16/ Simon LeVay, The Sexual Brain, hlm. xiv.

/17/ Simon LeVay, The Sexual Brain, hlm.129. 

/18/ Simon LeVay, The Sexual Brain, hlm. xii.

/19/ Simon LeVay, The Sexual Brain, hlm. 108-109. 

/20/ Simon LeVay, The Sexual Brain, hlm. 137.

/21/ Simon LeVay, The Sexual Brain, hlm. 129. 

/22/ Untuk makalah ilmiah penemuan ini, lihat M. Azim Surani, Naoko Irie, Leehee Weinberger, et al., “SOX17 Is a Critical Specifier of Human Primordial Germ Cell Fate, Cell, Vol. 160, Issues 1-2, 15 January 2015, hlm. 253-268, pada http://www.cell.com/cell/abstract/S0092-8674%2814%2901583-9; lihat reportase populer BBC Crew, “Two-dad babies could soon be a reality: Scientists have made human egg and sperm cells using skin from adults of the same sex”, Science Alert, 25 February 2015, pada http://www.sciencealert.com/two-dad-babies-could-soon-be-a-reality.

/23/ Simon LeVay, Gay, Straight, and the Reason Why: The Science of Sexual Orientation (New York, N.Y.: Oxford University Press, 2011), hlm. xiv-xv. 

/24/ Laura S. Allen dan Roger A. Gorski, “Sexual Orientation and the Size of the Anterior Commissure in the Human Brain”, The Proceedings of the National Academy of Science, USA, Vol. 89, August 1992, hlm. 7199-7202, pada https://timedotcom.files.wordpress.com/2015/03/7199.full.pdf

/25/ Lihat kolom Kelly Servick, “Study of gay brothers may confirm X chromosome link to homosexuality”, Science, 17 November 2014, pada http://news.sciencemag.org/biology/2014/11/study-gay-brothers-may-confirm-x-chromosome-link-homosexuality. Untuk makalah ilmiah kajian ini, lihat J.M. Bailey, Alan R. Sanders, E.R. Martin, et al., “Genome-Wide Scan Demonstrates Significant Linkage for Male Sexual Orientation”, Psychological Medicine, Vol. 45, Issue 07, May 2015, hlm. 1379-1388, pada http://journals.cambridge.org/action/displayAbstract?fromPage=online&aid=9625997&fileId=S0033291714002451

/26/ Lihat bab 10 buku LeVay, Gay, Straight, and the Reason Why: The Science of Sexual Orientation (New York, N.Y.: Oxford University Press, 2011). 

/27/ Lihat Lalumière ML, Blanchard R, Zucker KJ, “Sexual orientation and handedness in men and women: A meta-analysis”, NCBI. Psychological Bulletin, July 2000, No. 126 (4), hlm. 575-592, pada http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/10900997

/28/ Simon LeVay, The Sexual Brain, hlm. 118.

/29/ Lihat Rahman Q, Clarke K, Morera T, “Hair whorl direction and sexual orientation in human males”, NCBI. Behavioral Neuroscience, April 2009, No. 123 (2), hlm. 252-258, pada http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/19331448.

/30/ Kelly Servick, “Study of gay brothers may confirm X chromosome link to homosexuality”, Science, 17 November 2014, pada http://news.sciencemag.org/biology/2014/11/study-gay-brothers-may-confirm-x-chromosome-link-homosexuality.

/31/ Lihat Nicolas DiDomizio, “A Surprising Number of Straight Men Are Having Sex With Other Men, Says The CDC”, Connections.Mic, 8 January 2016, pada http://mic.com/articles/132129/a-surprising-number-of-straight-men-are-having-sex-with-other-men-says-the-cdc#.iZmKZqHq8.

/32/ Lihat Sara Reardon, “Epigenetic ‘tags’ linked to homosexuality in men: Twin study reveals five DNA markers that are associated with sexual orientation”, Nature, 8 October 2015, updated 12 October 2015, pada http://www.nature.com/news/epigenetic-tags-linked-to-homosexuality-in-men-1.18530.

/33/ Lihat Colin Fernandez, “The DNA test ‘that reveals if you’re gay’: Genetic code clue is 70 percent accurate, claim scientists”, Mailonline, 8 Oktober 2015, pada http://www.dailymail.co.uk/sciencetech/article-3265248/Homosexuality-imprinted-genes-Scientists-predict-gay-70-cent-accuracy.html.

/34/ Simon LeVay, Gay, Straight, and the Reason Why: The Science of Sexual Orientation, hlm. xii.

/35/ Lihat artikel “What Research shows: NARTH’s Response to the APA Claims on Homosexuality” dalam Journal of Human Sexuality 1 (2009) 1-128; ringkasan artikel ini tersedia online di http://www.narth.com/docs/journalsummary.html.

/36/ Lihat artikel rujukan “The Lies and Dangers of Efforts to Change Sexual Orientation or Gender Identity”, Human Rights Campaign, pada http://www.hrc.org/resources/the-lies-and-dangers-of-reparative-therapy

/37/ Lihat Saul Levin, “Homosexuality as a Mental Disorder Simply Not Backed Up by Science”, American Psychiatric Association, 10 March 2016, pada http://psychiatry.org/news-room/apa-blogs/apa-blog/2016/03/homosexuality-as-a-mental-disorder-simply-not-backed-up-by-science; lihat juga idem, “New York Move to Ban So-called ‘Conversion Therapy’ Welcomed”, APA, 10 Ferbruary 2016, pada http://psychiatry.org/news-room/apa-blogs/apa-blog/2016/02/new-york-move-to-ban-so-called-conversion-therapy-welcomed.

/38/ Lihat antara lain Cody DeHaan, Nicole Legate, et al., “Is Some Homophobia Self-phobia?”, University of Rochester News, 5 April 2012, pada http://www.rochester.edu/news/show.php?id=4040; Tralee Pearce, “Can homophobia sometimes mask same-sex  desires”, The Globe and Mail, 10 September 2012, pada http://www.theglobeandmail.com/life/the-hot-button/can-homophobia-sometimes-mask-same-sex-desire/article4103783/; Monica Dybuncio, “Homophobia may reveal denial of own same-sex attraction, study suggests”, CBS News, 10 April 2012, pada http://www.cbsnews.com/news/homophobia-may-reveal-denial-of-own-same-sex-attraction-study-suggests/; Jeanne Bryner, “Homophobes Gay? Study Ties Anti-Gay Outlook to Homosexuality, Authoritarian Parenting”, HuffingtonPost Live Science, 9 April 2012 (dimutakhirkan 10 April 012), pada http://www.huffingtonpost.com/2012/04/09/homophobia-homosexuality-gay_n_1412846.html; Michelle Healy, “Study Examines the Roots of Homophobia”, USA Today News, 6 April 2012, pada http://usatoday30.usatoday.com/news/health/story/2012-04-03/homophobia-psychology/54082202/1.

/39/ Lihat Stefanus Yugo, “Luhut: LGBT Punya Hak, Harus Dilindungi”, RimaNews, 12 Februari 2016, pada http://nasional.rimanews.com/keamanan/read/20160212/261397/Luhut-LGBT-Punya-Hak-Harus-Dilindungi.

/40/ Sarlito Wirawan Sarwono, “LGBT Gaul”, Gatra News, No. 14, tahun XXII, 5 Februari 2016, pada http://www.gatra.com/kolom-dan-wawancara/185467-lgbt-gaul

/41/ Saul Levin, “Homosexuality as a Mental Disorder Simply Not Backed Up by Science”, American Psychiatric Association, 10 March 2016, pada http://psychiatry.org/news-room/apa-blogs/apa-blog/2016/03/homosexuality-as-a-mental-disorder-simply-not-backed-up-by-science. Pranala ke naskah asli PDF surat APA tersedia dalam artikel Saul Levin ini. 

/42/ Frans Magnis-Suseno, “Perkawinan Sejenis Tak Berdasar”, Kompas.com, 23 Februari 2016, pada http://print.kompas.com/baca/2016/02/23/Perkawinan-Sejenis-Tak-Berdasar.

/43/ Lihat Nathaniel Scharping, “When Eyebrows Colllide: Scientists Map the Genetics of Facial Hair”, Discover Magazine, 1 March 2016, http://blogs.discovermagazine.com/d-brief/2016/03/01/gray-hair-genes-unibrow/#.Vthsmsu5Lgk.

/44/ Lihat reportase Stuart Wolpert, “Life on Earth likely started at least 4.1 billion years ago― much earlier than scientists had thought”, UCLA Newsroom, 19 October 2015, pada http://newsroom.ucla.edu/releases/life-on-earth-likely-started-at-least-4-1-billion-years-ago-much-earlier-than-scientists-had-thought. Sumber primer (abstrak) lihat Elizabeth A. Bell, Patrick Boehnke, T. Mark Harrison, Wendy L. Mao, “Potentially biogenic carbon preserved an a 4.1 billion-year-old zircon”, PNAS vol. 112, no. 47, pp. 14518-14521; contributed by T. Mark Harrison, 4 September 2015, pada http://www.pnas.org/content/112/47/14518.abstract. Naskah format Pdf tersedia di http://www.pnas.org/content/112/47/14518.full.pdf

/45/ George Johnson, “Scientists Ponder the Prospect of Contagious Cancer”, The New York Times, 22 February 2016, pada http://mobile.nytimes.com/2016/02/23/science/scientists-ponder-the-prospect-of-contagious-cancer.html.

/46/ Allan Bérubé, Coming Out Under Fire: The History of Gay Men and Women in World War II(edisi kedua; Chapel Hill: University of North Carolina Press, 2010; edisi pertama 1990).

/47/ Robert Aldrich dan Garry Wotherspoon, Who’s Who in Contemporary Gay and Lesbian History: From Antiquity to World War II (2 jilid) (London/New York: Routledge, cetakan pertama 2001).

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
  18. 18
  19. 19
  20. 20
  21. 21
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun