Mohon tunggu...
I NYOMAN MAHA BUDHI SUJANA
I NYOMAN MAHA BUDHI SUJANA Mohon Tunggu... Mahasiswa S2 Pendidikan IPA

Mahasiswa Pascasarjana yang mendalami kajian Pendidikan Sains. Memiliki minat pada pengembangan kurikulum, filsafat sains, dan analisis kebijakan pendidikan. Saya menggunakan platform ini untuk menuangkan hasil refleksi, analisis kritis, serta eksplorasi ide-ide baru di persimpangan antara sains, teknologi, dan masyarakat.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Apakah Idealisme Masih Relevan di Dunia Pendidikan yang Serba Praktis?

5 Oktober 2025   08:25 Diperbarui: 5 Oktober 2025   08:25 6
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Logika bertemu kebijaksanaan manusia. 

Pendidikan idealis menekankan pembentukan karakter sebagai prioritas utama. Mata pelajaran seperti matematika dan sains tidak hanya diajarkan sebagai alat untuk memecahkan soal, tetapi juga sebagai cara melatih logika, ketekunan, dan kekaguman pada keteraturan alam semesta. Sastra dan sejarah diajarkan untuk membangun empati, memahami kompleksitas manusia, dan belajar dari kebijaksanaan masa lalu.

Tidakkah ini terdengar seperti visi pendidikan yang diusung oleh Bapak Pendidikan kita, Ki Hajar Dewantara? Konsep "Taman Siswa" yang ia dirikan bukanlah pabrik pencetak pegawai kolonial. Ia adalah sebuah "taman" tempat anak-anak tumbuh sesuai kodratnya, dimana guru (pamong) bertugas menuntun, bukan memaksa. Falsafah Ing Ngarso Sung Tulodo (di depan memberi teladan), Ing Madyo Mangun Karso (di tengah membangun semangat), dan Tut Wuri Handayani (di belakang memberi dorongan) adalah cerminan murni dari pendekatan idealis. Guru adalah teladan nilai, bukan sekadar penyampai informasi.

Tentu saja, dunia pendidikan tidak hanya diisi oleh idealisme. Ada pandangan lain seperti pragmatisme yang bertanya, Apa manfaat praktisnya? atau realisme yang menuntut, Fokus pada fakta yang ada di depan mata. Keduanya penting. Kita tidak bisa mendidik anak untuk sekadar menjadi pemikir ulung tanpa kemampuan praktis untuk bertahan hidup. Pendidikan memang harus relevan dengan tuntutan zaman. Namun, pragmatisme dan realisme tanpa fondasi idealisme bisa berbahaya. Ibarat sebuah kapal canggih dengan mesin yang kuat (pragmatisme) dan navigasi GPS yang akurat (realisme), tetapi tidak memiliki kompas penunjuk tujuan dan pelabuhan akhir (idealisme). Kapal itu mungkin bisa berlayar sangat kencang, tetapi ia berlayar tanpa arah, terombang-ambing di lautan, dan bisa berakhir menabrak karang. Idealisme memberikan mengapa nya, sebuah tujuan luhur yang membuat semua usaha belajar menjadi bermakna.

Lalu, bagaimana menerapkannya di era digital? Semangat idealisme bisa diwujudkan dalam hal-hal sederhana. Seorang guru koding, misalnya, tidak hanya mengajar baris-baris perintah, tetapi juga membuka diskusi tentang etika digital, privasi data, dan tanggung jawab seorang programmer. Seorang guru ekonomi tidak hanya membahas cara memaksimalkan laba, tetapi juga menanamkan nilai-nilai keadilan sosial dan ekonomi berkelanjutan. Di era informasi tak terbatas, peran guru sebagai kurator nilai dan fasilitator berpikir kritis menjadi jauh lebih penting daripada perannya sebagai sumber informasi.

Menemukan Kembali Keseimbangan yang Hilang

Pada akhirnya, pendidikan bukanlah sebuah pilihan antara idealisme atau kepraktisan. Keduanya bukanlah dua kutub yang saling meniadakan. Sebaliknya, pendidikan yang utuh adalah yang mampu menyeimbangkan keduanya. Kita butuh pendidikan yang membumi, yang menyiapkan generasi muda dengan keterampilan relevan untuk menghadapi tantangan zaman. Namun, kita juga butuh pendidikan yang melangit, yang mengajak mereka untuk merenungkan makna hidup, menumbuhkan nurani, dan bercita-cita membangun dunia yang lebih baik.

Pendidikan tanpa idealisme akan menghasilkan robot-robot pintar yang kosong jiwa. Sebaliknya, idealisme tanpa pijakan pada realitas akan menghasilkan para pemimpi yang tak mampu berbuat apa-apa. Tugas kita bersama guru, orang tua, pembuat kebijakan, dan masyarakat adalah merajut kembali benang merah antara keduanya.

Mari kita bayangkan kembali rapor anak-anak kita. Di samping deretan angka-angka yang membanggakan itu, mungkin kita perlu ruang untuk menilai hal-hal yang tak terukur: seberapa besar rasa ingin tahunya, seberapa dalam empatinya, seberapa kuat kejujurannya, dan seberapa gigih ia saat menghadapi kegagalan. Karena pada akhirnya, yang akan membuat Indonesia menjadi bangsa yang besar bukanlah sekadar para pekerja terampil, melainkan manusia-manusia berkarakter luhur yang menjadikan pengetahuan sebagai jalan menuju kebijaksanaan. Idealisme mungkin tidak selalu praktis dalam jangka pendek, tetapi ia adalah investasi terbaik untuk masa depan kemanusiaan kita.

Referensi:

  • Driyarkara (1980): Pendidikan adalah proses memanusiakan manusia muda dengan menekankan nilai moral dan humanisasi.

  • HALAMAN :
    1. 1
    2. 2
    3. 3
    Mohon tunggu...

    Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
    Lihat Pendidikan Selengkapnya
    Beri Komentar
    Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

    Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun