Di tengah deru zaman digital, peran seorang guru telah bergeser secara dramatis. Ia bukan lagi sekadar penyampai materi di depan kelas, melainkan seorang fasilitator, motivator, bahkan teman belajar bagi generasi yang tumbuh bersama gawai. Setiap hari, para pendidik dihadapkan pada tantangan modern: kurikulum yang menuntut fleksibilitas seperti Kurikulum Merdeka, budaya serba instan yang menggerus kesabaran, hingga krisis karakter yang sesekali mencuat ke permukaan. Tuntutan ini memaksa kita untuk berhenti sejenak dan bertanya: Apakah pendidikan hanya soal menghafal rumus dan tanggal, atau ada makna lebih dalam yang perlu kita gali untuk membekali anak-anak kita di masa depan? Di sinilah relevansi filsafat pendidikan kembali menggema. Ia bukanlah sekadar teori usang yang berdebu di rak perpustakaan, melainkan sebuah kompas yang memberikan arah, makna, dan nilai pada setiap langkah yang kita ambil di dunia pendidikan. Filsafat adalah ruh yang memastikan proses belajar mengajar tidak menjadi aktivitas mekanis, tetapi sebuah perjalanan untuk memanusiakan manusia.
Urgensi untuk kembali membicarakan filsafat pendidikan di Indonesia terasa semakin mendesak. Pasca-pandemi, kita dihadapkan pada fenomena learning loss yang menuntut solusi kreatif, bukan sekadar penambahan jam belajar. Di saat yang sama, pemerintah menggulirkan Kurikulum Merdeka yang memberikan otonomi lebih besar kepada guru untuk merancang pembelajaran sesuai konteks dan kebutuhan siswa. Namun, kemerdekaan ini bisa menjadi pedang bermata dua jika guru tidak memiliki landasan berpikir yang kokoh. Tanpa fondasi filosofis, praktik di kelas bisa terjebak pada aktivitas teknis belaka, sekadar mengganti istilah tanpa mengubah esensi. Lebih jauh lagi, masalah degradasi moral---seperti perundungan, intoleransi, dan ketidaksopanan menjadi cerminan bahwa pendidikan kita mungkin terlalu fokus pada aspek kognitif dan mengesampingkan pembentukan karakter. Pendidikan tidak bisa dilepaskan dari akar budayanya. Ki Hajar Dewantara telah meletakkan fondasi luhur bahwa pendidikan harus menuntun segala kekuatan kodrat anak agar mereka mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya. Filsafat pendidikan, dengan demikian, adalah peta jalan untuk memastikan bahwa setiap inovasi dan praktik pembelajaran tetap berpijak pada tujuan mulia tersebut.
Dari Teori ke Ruang Kelas
Sering kali, kata "filsafat" terdengar rumit dan mengawang. Namun, bagi seorang pendidik, filsafat pendidikan adalah pertanyaan-pertanyaan paling mendasar yang membentuk seluruh tindakannya di kelas. Ia adalah fondasi tak terlihat yang menopang bangunan megah bernama pendidikan.
1. Pengenalan Filsafat Pendidikan
Secara sederhana, filsafat pendidikan adalah upaya untuk menjawab pertanyaan mengapa di balik apa dan bagaimana dalam mengajar. Sebelum memilih metode A atau B, seorang pendidik yang reflektif akan bertanya Mengapa saya mengajar? Apa tujuan akhir dari semua ini? Memahami filsafat pendidikan membantu guru untuk tidak sekadar menjadi teknisi kurikulum, tetapi menjadi seorang arsitek pembelajaran yang sadar akan tujuannya. Ada tiga landasan utama yang menjadi pilar filsafat ini:
- Hakikat (Metafisika) membahas realitas. Siapakah siswa itu? Apakah ia selembar kertas kosong yang siap diisi (tabula rasa), atau benih yang memiliki potensi untuk tumbuh? Cara kita memandang siswa akan menentukan cara kita memperlakukan mereka.
- Pengetahuan (Epistemologi) tentang bagaimana kita memperoleh ilmu. Apakah pengetahuan itu ditransfer dari guru ke murid, atau dibangun bersama melalui diskusi dan pengalaman? Ini akan memengaruhi apakah kelas kita akan didominasi ceramah atau dipenuhi proyek kolaboratif.
- Nilai (Aksiologi): Ini menyangkut etika dan moral. Nilai apa yang ingin kita tanamkan? Apakah disiplin, kreativitas, empati, atau kemandirian? Jawaban atas pertanyaan ini akan tecermin dalam budaya kelas yang kita bangun.
2. Peta Pemikiran Para Pendidik
Dari landasan tersebut, lahirlah berbagai aliran pemikiran (mazhab) yang menawarkan resep pendidikan yang berbeda. Memahaminya seperti memiliki beragam kacamata untuk melihat dunia pendidikan. Beberapa yang paling berpengaruh antara lain:
- Progresivisme: Dipelopori oleh John Dewey, aliran ini percaya bahwa belajar harus berpusat pada siswa, relevan dengan kehidupannya, dan berbasis pada pemecahan masalah. Kelas progresif akan terlihat dinamis, penuh diskusi, dan proyek-proyek nyata. Siswa belajar tentang lingkungan dengan turun langsung membersihkan sungai, bukan hanya membaca dari buku.
- Esensialisme: Tokohnya adalah William Bagley. Aliran ini menekankan penguasaan pengetahuan dan keterampilan inti (the essentials) yang fundamental. Guru adalah pusat pengetahuan, dan disiplin sangat dijunjung tinggi. Kelas esensialis sangat terstruktur, fokus pada penguasaan materi dasar seperti membaca, menulis, dan berhitung sebelum melangkah ke hal yang lebih kompleks.
- Perenialisme: Berakar dari pemikiran Plato dan Aristoteles, aliran ini meyakini bahwa tujuan pendidikan adalah untuk menggali kebenaran-kebenaran abadi (perennial) yang tidak lekang oleh waktu. Caranya adalah dengan mempelajari karya-karya agung dan ide-ide besar sepanjang sejarah manusia. Kelas perenialis akan banyak berdiskusi tentang nilai-nilai universal seperti keadilan, kebenaran, dan keindahan melalui karya sastra klasik.
3. Menjejakkan Teori di Lantai Kelas
- Filsafat ini bukan hanya untuk didiskusikan di menara gading, ia hidup dan bernapas di setiap interaksi di dalam kelas. Dampak langsungnya terlihat pada:
- Kurikulum: Apakah kurikulumnya kaku dan seragam untuk semua (esensialis), atau fleksibel dan bisa diadaptasi sesuai minat siswa (progresif)?
- Peran Guru dan Siswa: Apakah guru adalah satu-satunya sumber ilmu (esensialis), atau seorang fasilitator yang belajar bersama siswa (progresif)?
- Gaya Mengajar: Filsafat yang dianut guru akan membentuk gaya mengajarnya yang otentik. Guru yang progresif akan lebih nyaman dengan metode berbasis proyek, sementara guru yang esensialis mungkin lebih memilih instruksi langsung yang terstruktur.
Bayangkan seorang guru muda bernama Budi. Awalnya, ia hanya menjalankan modul ajar dari Kurikulum Merdeka secara harfiah. Namun, ia merasa ada yang kurang. Siswanya pasif. Setelah merefleksikan filosofinya, Budi sadar bahwa ia percaya setiap anak adalah penemu. Ia menganut pandangan progresif. Sejak saat itu, ia memodifikasi modulnya. Pelajaran tentang ekosistem diubah menjadi proyek membuat akuaponik sederhana di halaman sekolah. Hasilnya? Siswa tidak hanya hafal teori, tetapi mereka mengalaminya, merawatnya, dan bangga dengan hasil karya mereka. Inilah saat teori bertemu praktik.