Mohon tunggu...
I Nyoman  Tika
I Nyoman Tika Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

menulis sebagai pelayanan. Jurusan Kimia Undiksha, www.biokimiaedu.com, email: nyomanntika@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Imlek dan Dinamika Politik yang Melingkupinya

10 Februari 2024   16:35 Diperbarui: 10 Februari 2024   23:02 206
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Barong Landung-Dok: Alit Mahardika 

Mereka menggunakan versi penanggalan Tiongkok, yang sudah ketinggalan zaman bahkan di Tiongkok, yang menyatakan bahwa tahun Imlek ditandai dengan tahun kelahiran Konfusius pada tahun 551 SM. Inilah salah satu unsur yang dianut oleh umat Konghucu di Indonesia untuk melegitimasi agama Konghucu sebagai agama institusional. Yang lainnya adalah kanonisasi Konfusius sebagai Nabi, yang memperoleh dekrit dari Surga untuk menyebarkan 'Injil' di kalangan orang Tionghoa, serta perlakuan mereka terhadap teks Konfusianisme (Empat Kitab dan Lima Kitab Klasik) sebagai Kitab Suci agama.

Pada tahun 2000, Presiden Abdurrahman Wahid menetapkan Imlek sebagai hari libur nasional opsional. Dua bulan kemudian, Menteri Dalam Negeri menghapuskan Instruksi Menteri tentang Konfusianisme tahun 1978 dan mengembalikannya sebagai agama keenam yang diakui secara resmi di Indonesia. Sejak tahun 2000, MATAKIN telah menyelenggarakan perayaan Imlek tahunan formal yang mengundang para pemimpin nasional, seperti Presiden, dan tokoh Tionghoa terkemuka untuk hadir. Perayaan tahunan ini memiliki arti penting bagi masyarakat Tionghoa, karena dianggap sebagai pembaharuan komitmen pemerintah terhadap agama dan budaya Tionghoa di Indonesia. 

Untuk mengingatkan etnis Tionghoa akan 'asal usul' Imlek, organisasi seperti MATAKIN menerbitkan artikel di surat kabar dan majalah beberapa hari sebelum Imlek. Ironisnya, tidak ada satupun artikel MAKATIN yang diterbitkan dalam bahasa Mandarin, dan tidak ada satupun publikasi berbahasa Mandarin di Indonesia yang menyebutkan 'tradisi' tersebut. Kaum 'totok' yang berpendidikan Tionghoa, yang mempertahankan ke-Tiongho-an mereka melalui budaya dan bahasa Tionghoa serta ikatan transnasional dengan Tiongkok dan orang-orang Tionghoa lainnya di luar negeri, tampaknya menganggap 'tradisi' tersebut tidak relevan dan/atau tidak diperlukan.

Masyarakat Tionghoa-Indonesia yang tidak menganut Konfusianisme mempertanyakan kelayakan statusnya sebagai agama dan berpendapat bahwa Imlek adalah murni festival etnis/budaya. Faktanya, etnis Tionghoa Kristen, Katolik, bahkan Muslim merayakan Imlek sebagai hari raya etnis dan budaya. Mereka merasa dikucilkan ketika penganut Konghucu mengklaim Imlek sebagai perayaan keagamaan. Bagi mereka, Imlek hanya menjadi hari raya Konghucu karena adanya kebutuhan strategis agar dapat diakui sebagai hari raya resmi, seperti hari raya keagamaan lainnya; bukan karena secara historis merupakan hari raya keagamaan.

PENCARIAN IDENTITAS 

Politik Imlek tidak berhenti pada perdebatan apakah itu festival keagamaan atau budaya. Ketika Imlek semakin dikomersialkan, beberapa orang berpendapat bahwa simbol-simbol budaya Imlek telah menjadi bagian dari budaya populer, dipelajari dan dilakukan tidak hanya oleh orang Indonesia Tionghoa, tetapi juga orang Indonesia dari latar belakang etnis lain. Etnis Tionghoa lainnya secara strategis telah menggunakan simbol-simbol ini, dan secara agresif mengkomodifikasikannya untuk menunjukkan pengakuan pemerintah terhadap identitas Tionghoa dan status setara mereka.


Namun, meningkatnya visibilitas produk-produk budaya Tionghoa -- dan konsumsi produk-produk tersebut oleh masyarakat non-Tionghoa di Indonesia -- tidak boleh dianggap naif sebagai tanda penerimaan baru terhadap etnis Tionghoa. Retorika asimilasi Orde Baru masih mempunyai pengaruh yang kuat di Indonesia. Para ideolog Orde Baru mengonstruksi identitas tunggal, yang berarti semakin banyak orang Tionghoa, semakin berkurang ke-Indonesia-annya, dan sebaliknya. 

Kemunculan kembali simbol-simbol ke-Tiongho-an dapat diinterpretasikan sebagai kembalinya gagasan esensialis mengenai ke-Tiongho-an, yang memperkuat mitos populer, 'sekali menjadi orang Tionghoa, tetap menjadi orang Tionghoa'. Secara politis, hal ini mungkin berarti bahwa kesetiaan orang Tionghoa-Indonesia semakin dipertanyakan karena mereka kini menjadi 'lebih banyak orang Tionghoa' dan dengan demikian 'kurang Indonesia'. Sementara itu, persoalan-persoalan mendesak yang dihadapi oleh Tiongkok sebagian besar masih belum terselesaikan. Selamat Tahun baru Imlek, moga rahayu ***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun