Mohon tunggu...
Inu Wicaksana
Inu Wicaksana Mohon Tunggu...

Saya seorang psikiater (dokter spesialis jiwa) lulusan Bag.Kedokteran Jiwa FK UGM, sekarang bekerja di RSJ Magelang, selain di RS Panti Rapih Jogyakarta. Sewaktu masih dokter umum bekerja di Puskesmas Viqueque Timor Timur. Selain psikiatri, berminat dan pemerhati budaya, psikososial, filsafat dan seni. Kegemaran melukis, memotret (seni foto), membaca buku filsafat, budaya, antropologi, dan sastra. Menulis banyak artikel di bidang kesehatan jiwa, juga beberapa cerpen, puisi dan esay seni rupa dan sastra. Satu buku saya adalah "Mereka Bilsang Aju Sakit Jiwa". Blog saya : inukeswa.wordpress.com ; inuwicaksana.blogspot.com; inuadiksi.blogspot.com; wicaksanamentalhealth.blogspot.com; dan inuwicaksana.com. Tinggal dan praktek di Jogyakarta, di Cendana Smart Mind Centre Jogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Antara Bekerja dan Bermain

16 Desember 2013   17:19 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:52 253
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13871885641971011775

Ia seorang laki-laki 35 tahunan, seorang wartawan lokal yang kemudian ditarik ke pusat oleh harian tempatnya bekerja. Di Jakarta ia mendapat tugas banyak yang cukup melelahkan. Meliput di Istana kepresidenan, gedung MPR/DPR, pengadilan-pengadilan korupsi tingkat tinggi.Ia hampir-hampir tak bisa istirahat, karena dikejar “deadline”. Belum lagi atasannya (redaksi) yang suka mencemooh hasil liputannya dan membanding-bandingkan dengan teman-temannya wartawan.

Ia menjadi stres karena terbebani dengan pekerjaan jurnalistik itu. Stres yabg terus menerus menjadikannya sering pusing dan nyeri tengkuk, nyeri dada, mual-mual dan sesak napas. Gejala psikosomatik yang membuatnya sering tidak masuk kerja, ditambah karena ia tak bisa menghindari beban kerja yang berat itu, ia mengalami depresi taraf sedang dengan kecemasan.

Melihat kondisinya itu, pimpinan redaksi menyuruhnya istirahat 3 bulan, pulang ke rumah orangtuanya di daerah, dan berobat ke psikiater sampai sembuh. Ia diperbolehkan masuk kembali sesudah mendapat surat dari psikiater yang menyatakannya telah siap bekerja kembali. Bersama istrinyaq ia datang ke praktek saya di poli psikiatri RSU Swasta di Yogyakarta. Saya melihat kondisinya baik, gejala depresi taraf sedang dan kecemasannya serta gejala-gejala somatiknya mereda karena ia telah tinggal sebulan di rumah orangtuanya di Yogya yang jauh dari ancaman pekerjaannya.

Tapi di bulan ketiga ketika segala kesepakatan dalam psikoterapi saya telah terbentuk, dan ia harus balik ke Jakarta lagi, mendadak gejala-gejalanya timbul lagi. Ia merasa berat bergerak, melangkah atau melakukan suatu apapun. Ia minta saya membuatkan surat perpanjangan waktu istirahat untuk kantornya di Jakarta.

Sama halnya dengan mas Har, sebut saja demikian, laki-laki 37 tahunan. Ia lulusan SPG “tempo dulu” yang telah menjadi guru SD di desanya. Sejak kecil mas Har telah bercita-cita menjadi guru, tapi setelah jadi guru ternyata pekerjaan itu sangat membebaninya. Ia merasa berat harus berdiri di depan kelas, mengajar murid-murid yang sukar dikendalikan. Harus mengajar segala pelajaran.

Pekerjaan guru SD membuatnya pusing, mudah capek dan sulit tidur. Untuk pindah ke pekerjaan lain, juga sulit, karena orangtua tak meninggalinya sawah ladang. Akhirnya mas Har berhenti jadi guru dan mencoba jadi tukang ojek. Tapi masyarakat mencemooh dia, guru kok jadi tukang ojek. Mas Har berhenti bekerja sama sekali dan melamun saja di rumah, menghindari orang. Ms Har lari dari kenyataan, memenuhi pikirannya dengan fantasi-fantasi indah dan akhirnya tertawa-tawa sendiri, berbicara sendiri.

Karena bapak telah tiada, ia dibawa ibunya yang telah tua ke Poli Psikiatri RSUD Muntilan, dan saya periksa. Saya berikan antipsikotik dan anjuran untuk aktif berkegiatan, meski hanya bantu-bantu ibu di rumah, dan bersosialisasi. Ia rajin kontrol tiap bulan selama setahun, kemudian berhenti. Empat tahun kemudian ia muncul di Poli RSJ Magelang, karena gejalanya kumat lagi. Selama 4 tahun ia tetap tidak bekerja apa-apa selain membantu ibu di rumah, karena semua jenis pekerjaan selalu dipandangnya sebagai beban.

Sesungguhnya kebanyakan dari kita menganggap pekerjaan itu, betapapun mulianya, sebagai beban kehidupan. Hal ini bila terlalu berat, dan toh harus dijalani, sering membuat orang stres berkepanjangan yang bisa berkembang menjadi bentuk-bentuk gangguan kejiwaan. Tapi tidak punya pekerjaan, juga bisa membuat orang stres yang bisa berkepanjangan dan membentuk gangguan kejiwaan pula.

Untuk memecahkan hal ini, Fred Gratzon telah menulis dalam bukunya “The Lazy Way to Success”, yang menganjurkan merubah konsep pandangan bekerja menjadi “bermain”, dan pekerjaan menjadi “permainan”. Ia anti dan benci bekerja. Ia anjurkan manusia itu harus “bermalas-malasan” untuk mencapai kesuksesan. Bekerja secara rutin setiap hari memeras otak dan enerji kita habis-habiskan. Kita tidak memperoleh apa-apa selain kecapaian. Kita semakin tua, dan waktu kita habis untuk bekerja tanpa memperoleh hasil apapun.

Tapi bila kita bermalas-malasan, kita menyimpan imajinasi daya pikir otak dan enerji untuk kemudian melakukan permainan-permainan yang membangkitkan kreativitas kita. Permainan itu adalah pekerjaan pokok kita sehari-hari yang kita pandang sebagai permainan. Setiap hari akan timbul ide-ide baru untuk menyikapi pekerjaan kita. Kita tidak akan stres bila kita kalah atau gagal karena itu toh kita anggap hanya sebagai permainan belaka.

Bermain-main di tempat kerja bukanlah sebuah “oksimoron”. Sikap bermain-main sangat penting bagi pemikiran kreatif dan lingkungan yang menyenangkan selalu lebih produktif ketimbang lingkungan kerja yang penuh rutinitas. Orang yang menikmati apa yang dilakukannya selalu dipenuhi ide-ide baru. Kita juga akan tahu kalau kesenangan itu menular. Semu orang ingin bergabung dengan hal-hal yang menyenangkan.

Ganti aturan-aturan dan target yang mengikat dengan memberi kebebasan kepada orang-orang untuk bertindak kreatif – dalam kerngka nilai dan tujuan yang sama. Jangan kritik dan lecehkan gagasan-gagasan buruk. Ciptakanlah suasana yang mengasuh dan memberdayakan dimana semua orang merasa nyaman. Ini akan meningkatkan kreativitas.

Ciptakan budaya dimana orang tahu mereka punya hakuntuk menentukan dan membentuk nasibnya sendiri dan untuk diperhitungkan. Ini akan membuat orang bisa jadi dirinya sendiri dan membuat mereka senang serta bergairah dalam pekerjaan mereka.

Jangan terlalu menekankan logika. Logika melumpuhkan kreativitas. Sebuah ucapan dari Heraclitus, filsuf Yunani kuno ( 535-475 SM ) bisa menjadi acuan hal bekerja dan bermain ini : “Manusia bekerja nyaris menjadi dirinya sendiri ketika dia sampai pada keseriusan seorang anak yang tengah bermain”.****

Foto insert : Saya bersama lukisan Perenang Merah di Pameran Senirupa Jogja Art Festival 2009 , Taman Budaya, Jogyakarta - dok.pribadi.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun