Sekarang apa yang bisa diperbuat daerah? Dengan cara apa daerah protes terhadap pusat?
Bagaimanapun akan sulit bagi kita melawan pusat. Apalagi dasar ketentuan yang dipegangnya adalah UU No. 33/2004. Untuk itulah maka salah satu bentuk perjuangan daerah yang konkret adalah dengan melakukan dukungan (support) terhadap lembaga legislatif, baik itu DPR, DPD, maupun DPRD untuk bersama-sama mendorong dilakukaannya review terhadap UU resentralistik tersebut.
Di samping itu, transparansi formula dana perimbangan dengan perhitungan yang akuntabel dan adil haruslah benar-benar bisa dijamin dalam sebuah peraturan pemerintah. Karena meskipun ditarik sejumlah konsultan untuk menghitung atau menganalisisnya, siapa yang bisa menjamin angka-angkanya secara pasti kalau ternyata rumusan atau formulanya tidak pasti?
Berdasarkan hasil pertemuan dengan Menteri Keuangan, akhirnya saya dapat simpulkan bahwa saat ini tak ada rumusan yang baku mengenai DAU, DAK, ataupun DBH. Semua itu ujung-ujungnya ternyata ‘deal’ alias lobby. Oleh karena itulah, seiring dengan perjuangan secara legal-formal, sangat perlu juga dibentuk tim lobby atau tim negosiator khusus untuk memperjuangkan hak Riau dalam APBN ini. Pemerintah daerah seharusnya memfasilitasi sebuah tim yang kompeten yang terdiri atas unsur legislatif, eksekutif, dan tim ahli yang memiliki kepakaran di bidang fiskal untuk melakukan berbagai pendekatan sehingga dana daerah bisa diperolah semaksimal mungkin.
Di sisi lain, dengan pengurangan dan penghapusan DAU ini, eksekutif dan legislatif daerah sudah semestinya menarik hikmah dan pelajaran. Kedua lembaga tersebut mulai sekarang harus menyamakan persepsi tentang arah dan prioritas pembangunan yang lebih efisien dan efektif. Jangan sampai anggaran yang ada lebih berorientasi pada kepentingan aparat saja, tapi semestinya lebih pada pembangunan yang dapat memberikan stimulus bagi pertumbuhan ekonomi.
Kalau kita hitung secara kritis, selama tujuh tahun otonomi daerah ini berjalan, berapa triliun sebenarnya uang sudah mengucur ke bumi lancang kuning ini? Seberapa besar dampaknya bagi pembenahan sarana pelayanan publik dan infrastruktur secara mendasar? Berapa persen PDRB Riau yang triliunan itu bisa dinikmati rakyat? Inilah pertanyaan besar kita.
Daerah saat ini mengalami problem kemandirian. Kita dikonstruksi untuk cenderung bergantung pusat akibat sisa-sisa rezim sentralisme yang masih bertahan hingga saat ini. Oleh karena itu, daerah harus mulai berupaya melepas ikatan yang membelenggu itu dengan melakukan sebanyak mungkin inovasi dan kreatifitas untuk memberdayakan dirinya.
Di samping terus melakukan berbagai upaya legal-formal itu secara teratur, terukur, dan tertib untuk memperjuangkan hak dana perimbangan yang adil, Riau juga harus menunjukkan prestasi lewat kinerjanya yang spektakuler. Perlakuan pusat ini seharusnya menjadi lecutan bagi pemerintah daerah agar lebih tertantang untuk maju dan menunjukkan kemampuannya untuk mengelola berbagai potensi daerah yang ada menjadi produk-produk andalan.
Riau jangan pernah lagi berperan sebagai anak manja yang hanya pintar merengek minta uang, tapi harus berubah menjadi seorang anak manis yang bisa menunjukkan prestasi demi prestasi. Secara perlahan namun pasti Riau harus mulai beranjak dewasa dengan memperlihatkan kemampuannya untuk mandiri.
Mari kita wujudkan Riau yang unggul, mandiri dan bermarwah. Wallaahu a’lam.
(www.blog.intsiawati.com )