Jambi, 2025 – Krisis kemanusiaan yang menimpa etnis Rohingya di Myanmar kembali menjadi sorotan akademik. Dalam makalah ilmiah yang disusun oleh mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Jambi, Intan Nuraini Maha, tergambar secara jelas bagaimana pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dan dugaan genosida yang dilakukan terhadap etnis Rohingya menjadi tantangan besar bagi penegakan hukum internasional.
Sejak diberlakukannya Undang-Undang Kewarganegaraan Myanmar tahun 1982, etnis Rohingya secara sistematis dilucuti hak-haknya. Mereka tidak diakui sebagai warga negara dan mengalami diskriminasi struktural yang memengaruhi akses terhadap pendidikan, pekerjaan, layanan kesehatan, serta kebebasan bergerak. Dalam beberapa tahun terakhir, tindakan kekerasan oleh aparat militer Myanmar kian masif. PBB dan Amnesty International bahkan mengkategorikan tindak kekerasan tersebut sebagai genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Intan menyoroti bahwa instrumen hukum internasional sebenarnya telah tersedia, seperti Konvensi Genosida 1948 dan Statuta Roma, yang memberikan landasan untuk menindak pelaku genosida. Namun, dalam praktiknya, proses penegakan hukum ini menghadapi banyak hambatan, terutama karena Myanmar tidak mengakui yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional (ICC) dan menolak kerjasama dalam proses penyelidikan.
“Efektivitas hukum internasional tidak hanya bergantung pada eksistensinya, tetapi pada kemauan politik negara-negara anggota untuk menegakkannya,” tulis Intan dalam makalahnya. Ia juga menyoroti peran Dewan Keamanan PBB yang kerap terhambat oleh veto dari negara-negara kuat, seperti China dan Rusia, yang selama ini dikenal mendukung Myanmar.
Di sisi lain, Indonesia, meskipun belum meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951, tetap menunjukkan kepedulian kemanusiaan dengan menerima pengungsi Rohingya di Aceh. Intan menilai bahwa Indonesia dapat memainkan peran lebih aktif dalam isu ini melalui jalur diplomatik, kerja sama regional, serta penguatan regulasi nasional terkait pengungsi.
Makalah ini juga menegaskan pentingnya ASEAN mengambil posisi tegas dalam isu ini. Prinsip non-intervensi yang selama ini dipegang teguh terbukti menjadi penghambat dalam memberikan perlindungan efektif kepada kelompok minoritas yang rentan.
Kesimpulan dari penelitian ini menegaskan bahwa perlindungan hukum internasional terhadap etnis Rohingya hanya akan berhasil jika disertai komitmen global untuk mengesampingkan kepentingan politik dan mendahulukan kemanusiaan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI